Hujan Menuju Tuhan
Oleh : Nuke Suprijono
Dalam hidupku mungkin ada satu dari dua belas bulan yang paling membuatku trauma. Jika Tuhan membolehkan aku untuk melewatkannya, aku akan melompat tinggi-tinggi untuk menghindari bulan itu: Agustus.
Masih jelas dalam ingatanku meskipun sepuluh tahun sudah berlalu. Siang itu hujan turun sangat deras. Sebelumnya tidak ada suara angin kencang menderu. Warna biru cerah yang biasanya menghias langit tiba-tiba berubah jadi kelabu. Mungkin ini suatu pertanda akan terjadi sesuatu. Namun, aku tidak mau berpikir terlalu jauh. Aku lebih memilih menikmati daun-daun yang basah dan rerumputan yang mulai sedikit tergenang air di halaman belakang.
Saat itu, tadinya aku hendak menjemput Mia les piano. Akan tetapi, sambil menunggu hujan reda, sejenak aku bermaksud ke dapur untuk menyeduh kopi.
“Semoga hujan lekas berhenti atau minimal gerimis, tak apa,” gumamku sambil menuang air panas dari teko ke dalam gelas mug berwarna putih yang sudah kusiapkan. Sambil mengaduk kopi pikiranku menerawang jauh. Tiba-tiba aku teringat akan masa kecil, di mana saat hujan deras adalah saat paling dinanti. Setiap anak kecil di belahan bumi mana pun kukira akan suka bermain hujan.
Pelangi-pelangi alangkah indahmu.
Merah kuning hijau, di langit yang biru.
Terngiang kembali sebait lagu masa kecil itu. Ah, masa yang sangat menyenangkan. Di mana hanya bermain dan bermain yang ada dalam pikiran.
Begitu juga dengan Mia, anakku. Dia bahkan selalu menantikan saat turun hujan deras. Selama ini meskipun hujan gerimis, Mia selalu merengek memintaku untuk mengizinkan dia berbasah ria. Akan tetapi, jika hanya gerimis, itu hanya akan membuatnya demam, bukan? Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku amat sayang pada gadis berumur sepuluh tahun itu. Dia anakku satu-satunya.
Mia suka sekali hujan, dia pluviophille. Pernah pada suatu hari, saat aku melarangnya bermain hujan saat gerimis, Mia ngambek, marah padaku lalu berkata seolah-olah bernazar: jika turun hujan deras dia akan hujan-hujanan dan tidak akan berhenti bermain sampai muncul pelangi seperti dalam lagu anak-anak yang sering dinyanyikannya.
Kulempar pandanganku keluar jendela di ruang tengah. Duduk di atas kursi sofa empuk dengan kaki sedikit meringkuk. Hanya ditemani satu mug kopi hangat dan hujan yang sedang menangis keras.
“Pelukismu agung, si–” Baru saja terlintas lagi penggalan lagu itu dalam ingatan, tiba-tiba diri ini dikejutkan oleh suara manja Mia.
“Mama! Mia udah pulang, Ma!” teriaknya.
Mia, sejak kapan dia berada di halaman belakang? Bukankah dia sedang les piano? Pulang bersama siapa? Aku tidak salah dengar ‘kan? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran. Ah, aku harus segera melihatnya. Gegas aku menghampiri Mia lewat samping rumah.
Aku benar-benar melihat Mia di sana. Anak itu tampak bahagia sekali sambil melonjak kegirangan di tengah deras air hujan. Tertawa berderai, sesekali bernyanyi, dan berteriak seru.
“Miaaa, kamu sudah pulang, Nak? Siapa yang jemput, Sayang? Bareng siapa?” teriakku kencang pada sosok Mia di hadapan.
“Pelukismu Agung, siapa gerangan? Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan ….” Sambil terkekeh Mia terus bernyanyi dan menari di tengah hujan deras.
Aku kembali masuk ke dapur, bermaksud mengambil payung dan handuk untuk Mia. Tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di atas meja dapur berdering. Ah, siapa yang menelepon di saat hujan deras begini? Dengan sedikit kesal segera kuangkat ponselku untuk memastikan siapa yang menghubungi.
Kulihat nama Miss Vina di layar ponsel. Segera kugeser tombol hijau untuk memulai bicara, “Halo, Miss, ya, ada apa?”
“Bunda, maafkan saya! Saya teledor,” Suara Miss Vina di seberang sana terdengar bergetar. Apa maksudnya ini? Saat itu hatiku semakin tak keruan rasanya.
“Iya, Miss, kenapa? Ada apa?” tanyaku tak sabar.
“Maaf Bunda, Mia tak tertolong lagi. Kami sudah berusaha maksimal membawanya ke rumah sakit,” ujar guru les Mia itu terdengar parau.
Mendengar kabar duka itu diriku bagaikan tersambar petir yang menggelegar keras sekali. Aku berusaha memungkiri. Menolak kenyataan bahwa anakku celaka. Bagaimana mungkin? Bukankah Mia sedang bermain hujan di halaman belakang? Di ujung telepon samar-samar kudengar suara Miss Vina berteriak-teriak memanggilku. Aku berusaha sadar dan terus mendengarkan penjelasannya. Sambil berurai air mata yang menderas sama seperti hujan di luar sana.
Ternyata Mia mengalami pendarahan hebat setelah terpeleset tangga di depan ruang lesnya. Kepalanya terantuk pot bunga besar yang terbuat dari batu. Membuat nyawanya tak tertolong lagi meskipun orang-orang di sekitarnya sudah berusaha.
Sekarang sepuluh tahun sudah berlalu, tetapi setiap bulan Agustus, pasti bayangan-bayangan yang membuatku pilu itu selalu menari di pelupuk mata.(*)
Nuke Soeprijono, si alter ego yang ‘sedih’ saat turun hujan.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata