Sempurna (Terbaik ke-3 TL16)

Sempurna (Terbaik ke-3 TL16)

Sempurna
Oleh : KarnaJaya Tarigan
Terbaik ke-3 TL16

 

Aku tahu, Tuhan telah menciptakan alam semesta dengan sempurna. Semua elemen kehidupan diciptakan lengkap dan berpasang-pasangan. Ada lelaki, ada perempuan. Ada siang yang menghangatkan dan ada malam yang menyejukkan. Ada hujan yang menyemaikan benih-benih tanaman dan ada panas yang menumbuhkannya. Ada kehidupan yang memberi harapan dan ada kematian yang membunuh harapan itu sendiri, seperti selalu ada awal dan selalu ada akhir. Ada kebaikan dan keburukan yang selalu beradu kuat di dalam benak manusia. Aku tahu itu, meski setengah hati menerimanya.

***

Aku adalah satu-satunya putra Bapak yang diharapkan akan meneruskan garis keturunan keluarga kami suatu hari kelak. Ia begitu bangga akan diriku dan memberikan nama terbaik untukku ketika aku lahir. Bima, salah satu dari satria Pandawa. Nama yang bukan sembarang nama, simbol seorang lelaki yang gagah berani, teguh dan perkasa. Namun sebaliknya dari apa yang Bapak harapkan dari nama tersebut, aku adalah rumput liar yang tidak pernah diharapkan tumbuh di ladang pertanian. Tubuhku memang lelaki, tetapi tidak dengan jiwaku. Aku lebih merasa menjadi seorang perempuan yang jiwanya dititipkan Tuhan ke dalam tubuh seorang lelaki. Aku terpenjara dan terperangkap di dalamnya dan tidak pernah bisa keluar. Sebetulnya aku ingin menggugatnya, sebab ini bukan keinginanku, meski di sisi lain aku juga berusaha untuk mengerti, karena begitulah cara Tuhan menciptakan kesempurnaan. Bukankah sempurna menjadi “sempurna” karena adanya ketidaksempurnaan? Yang aku sesali kenapa aku menjadi bagian dari ketidaksempurnaan tersebut.

***

Aku tumbuh dan menjadi dewasa setelah mengalami masa-masa yang sulit. Kamu tidak tahu bagaimana pedihnya hatiku ketika menerima kenyataan bahwa Bapakmu sendiri ternyata tidak bisa menerima keberadaanmu. Aku menjadi contoh dari sesuatu yang tidak pernah diterima dan dikehendaki masyarakat. Mereka menyebut aku atau orang-orang yang senasib denganku dengan sebutan transeksual, atau lebih gamblang lagi, waria atau banci, atau yang lebih menyakitkan lagi, mereka menyebut kami, bencong.

Kamu juga harus tahu betapa sakitnya kuping ini, ketika aku yang kebetulan melintas di sebuah gang sempit yang ramai penduduk, beberapa anak-anak kecil yang sedang bermain tiba-tiba berteriak: “Banci. Banci. Ada banci lewat. Lihat, ada banci lewat,” seolah-olah banci adalah musuh masyarakat. Seolah-olah banci yang kebetulan lewat adalah hiburan yang paling menyenangkan.

Bahkan kadang orang dewasa yang telah mempunyai pikiran dan akal sehatnya sendiri tidak bisa menimbang-nimbang ucapannya sendiri. Pantas atau tidak. Betul atau salah. Mereka kerap mengolok-olok kami “banci kaleng”, meskipun itu sebenarnya hanya candaan.

Tidakkah mereka mengerti bahwa Tuhan menciptakan kami sebagai manusia sungguhan, manusia yang hidup dan memiliki perasaan. Bukan kaleng. Bukan rongsokan. Bukan sampah yang tak berguna.

**

Ah, sudahlah. Untuk apa aku memikirkan ini semua. Aku bisa gila. Bukankah hidup ini hanya untuk dijalani, bukan untuk disesali …. Lebih baik aku berpikir yang positif saja. Lebih baik aku bekerja keras untuk mengumpulkan banyak uang. Toh, aku sudah terperangkap dan tidak akan pernah bisa keluar lagi dari tubuh ini. Mau bunuh diri? Percuma, itu sia-sia. Toh, aku pikir-pikir hidup masih bisa dinikmati, dan masih banyak hal yang indah tersisa dalam hidup … seperti jatuh cinta misalnya …. Ya, aku pernah jatuh cinta pada Anton teman sekelasku, rasanya begitu indah, dadaku berdebar-debar, anganku melayang-layang setiap melihat senyumnya. Saat itu aku hanya bisa menyimpan kekagumanku dalam hati dan berharap, kapan ya aku akan mengalami rasanya pacaran? Duh, seandainya aku perempuan betulan, mungkin aku mengalami ciuman pertama, mengalami bagaimana rasanya pernah disentuh, dan dipegang-pegang payudaranya. Nina teman baikku pernah cerita. Ia bilang ia “basah” setelahnya ….

Aku tertawa cekikikan mendengar cerita itu dan ia tersenyum malu. “Memangnya basah itu apa?” tanyaku dengan lugu ….

“Ah, sudahlah. Lu kan banci. Kagak bakal ngerti!”

Sialan. Andai saja kami tidak bersahabat sejak kecil, sudah pasti aku marah besar kepadanya. Tapi cerita Nina selalu menempel di kuping ini. “Basah. Apa itu basah? Hihihihi ….” Barangkali jika aku punya vagina aku akan mengalami “basah” juga, ya …

**

Aku berlama-lama di depan kaca memandangi wajahku. Sekarang wajahku bertambah cantik, tidak seperti dulu lagi. Hidungku menjadi lebih bangir dan dadaku bertambah membusung, menantang. Beberapa lelaki yang pernah dekat denganku sangat senang bermain-main dan menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik kutangku. Tidak percuma aku menekuni pekerjaan merias pengantin dan merintis salon kecantikan. Bisnis ini menjadi besar dan mampu membiayai obsesiku untuk menjadi cantik. Satu kali operasi plastik untuk menyempurnakan bentuk hidungku dan satu kali operasi implan payudara adalah buktinya. Tidak percuma ‘kan, aku kerja keras.

Hanya saja, dari beberapa lelaki yang pernah dekat denganku, mereka lebih nampak seperti orang-orang yang kesepian atau memiliki kelainan. Aku jadi merasa gundah. Tidak bisakah aku mendapatkan lelaki baik-baik. Lelaki yang normal. Jujur saja, suatu hari aku ingin hidup bersama seseorang yang menerima diriku apa adanya. Mungkin enggak, ya?

Preet! Memangnya ada lelaki yang ingin kawin dengan lelaki? Pedang lawan pedang dong. Kalau pun ada itu cuma ada di luar negeri. Tapi aku pikir-pikir, aku sangat ngeri membayangkan kemaluan orang bule yang ukurannya luar biasa memasuki tubuhku lewat “pintu belakang”. Itu sangat mengerikan, seperti pentungan Pak satpam yang dijejalkan paksa. Oh, menakutkan sekali.

Beruntungnya kalian wahai perempuan sungguhan.

**

Pada suatu sore, seorang lelaki muda datang ke salonku. Ia tidak banyak berkata-kata, hanya memintaku untuk sedikit merapikan rambutnya yang mulai terlihat panjang. Astaga, ia tampan sekali. Apalagi ketika mata kami tak sengaja berpapasan. Aduh, tatapannya seperti mata elang yang menusuk tajam. Aku deg-degan. Aku tak pernah melihat lelaki yang modelnya seperti ini. Aku suka. Aku suka. Sukaaa …! Tapi bagaimana caranya agar ia menyukai aku ? Aku kan ….

Sebenarnya bisa saja aku menggunakan jurus-jurus temanku. Mereka biasanya akan lebih agresif jika menghadapi lelaki yang mereka inginkan. Mereka selalu memiliki banyak cara untuk menjadi dekat, meminta nomor handphone misalnya, atau menghujani laki-laki itu dengan rayuan murahan, “ Mas, kok kamu tampan banget sih …, Bang, kamu keren deh,” atau jika tidak tahu malu, mereka mengiming-imingi sejumlah uang, dan langsung saja mengajak lelaki tersebut bercinta.

Aku? Jujur saja aku tidak mau melakukan cara murahan seperti itu. Najis! Jijay! Lebay! Lebih baik aku pura-pura jual mahal. Enggak mau ah, kayak mereka. Norak. Tapi … ah, sudahlah. Lebih baik aku konsentrasi potong rambut. Urusan cinta memang utama tapi urusan uang jauh lebih penting. Uang bisa membeli segalanya.

Tapi itulah yang namanya takdir, kami dipertemukan kembali. Ia sering datang untuk mencukur rambutnya (mungkin itu alasan untuk ketemu aku, betul enggak sih ….) dan lama-lama kami jadi tidak canggung, mulai membuka diri, dan saling bertukar nomor handphone. Ia pun sering curhat lewat pesan instan dan bahkan mulai berani merayu hingga aku juga ikut berani menggodanya. Lalu ia “nembak” aku, aku menerimanya tanpa pikir-pikir, dan akhirnya kami pun mulai berkencan. Hmm, ternyata ia lebih hangat daripada yang kuperkirakan, lho. Ia teman yang sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Sisa waktu yang sedikit setelah selesai bekerja, semakin terasa begitu singkat saat bertemu dengannya. Lelaki itu juga begitu romantis. Kadang ia membawakan sepotong cokelat yang dibungkus kotak indah berpita, besok lagi dibawakannya sekuntum mawar indah yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Dan besoknya lagi dan lagi, ia selalu memberikan hadiah-hadiah yang tidak bisa diduga-duga. Ah, lama-lama cinta bisa membuat aku gila dan lupa segala-galanya. Lama-lama aku jadi ingin bercinta dengannya. Aduh, kenapa otakku jadi ngeres begini ….

**

Bercinta! Ya, pada suatu hari akhirnya kami bercinta, dan tentu saja kami melakukan dengan cara kami (ssstt, jangan tanya cara kami melakukannya). Hanya saja setelah melakukan itu, raut wajahnya sedikit kecewa. Tentu saja aku tahu apa yang disembunyikan olehnya. Aku kan bisa mengira-ngira. Mungkin aku bisa menyenangkan dia, memuaskan dia; membuat dia terbang, dan bahkan bisa membuat dia kejang-kejang, tapi tetap saja aku merasa tidak akan mampu mengalahkan sensasi luar biasa yang diciptakan perempuan sesungguhnya.

Aku jadi ingat dulu, sekali waktu aku pernah berpikir ingin melakukan vaginoplasty1 biar aku bisa jadi perempuan betulan. Tapi setelah aku tanya sana-sini, ternyata biayanya sangat mahal dan ini akan menguras seluruh uang tabunganku yang telah aku kumpulkan bertahun-tahun. Kurang banyak malah …. Ah, sudahlah. Aku hanya ingin membahagiakan dia. Mungkin hanya cara itu yang akan membuat dia senang. Apa pun akan kuberikan. Apa pun akan kupertaruhkan. Cuma dia. Demi dia.

**

“Basah, basah, basah seluruh tubuh ini. Ah, ah, ah, mandi madu ….”2

Aku sedang bersenandung di dalam kamar mandi. Setelah operasi itu berhasil, hampir setiap hari aku mandi basah, hampir setiap hari aku keramas. Ah, lelaki itu begitu perkasa, hampir setiap hari ia minta dilayani dan aku lelah dibuatnya.

Baru kali ini aku merasakan jadi “perempuan” meski tetap saja bukan perempuan sungguhan. Setidaknya saat melayani dia, aku betul-betul menjadi seorang perempuan sejati, bukan laki-laki yang berpura-pura, bersikap dan berdandan ala perempuan. Menurutku, sekarang aku sempurna, meskipun tidak sepenuhnya sempurna. Ah, masa bodoh, yang penting kami selalu bersama. Yang penting aku dan dia bahagia.

***

Lima bulan bersama lelaki itu sangat menyenangkan. Itu masa-masa terbaik dalam hidupku. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Namun di bulan berikutnya, ia mulai jarang datang. Ia hanya datang seminggu sekali dan itu pun hanya untuk mengajak bercinta. Bulan berikutnya, wajah dan tubuhnya yang selalu kurindukan menghilang, hanya pesan-pesan singkatnya yang hadir. Ia bilang ia sibuk dan banyak urusan. Ia bilang, ia pindah tempat kerja. Yang jelas sekarang ia mulai banyak alasan untuk menghindar. Ada apa, Sayang? Apa kamu sudah tidak merindukan kehangatan tubuhku? Apa kamu sekarang sudah punya kekasih yang baru? Mendadak aku jadi takut kehilangan, dan seharian kerjaku lebih banyak melamun saja. Aku sedih. Sedih banget. Untungnya Angel, Nessa, dan Vivian, ketiga anak buahku bisa menghiburku meski tidak sepenuhnya juga mampu mengusir kegalauanku.

Dan ternyata ia menghilang bukan tanpa sebab. Ia memang sengaja menghindar dariku. Kemarin Vivian tak sengaja melihat lelaki itu jalan-jalan bersama seorang perempuan yang mengenakan gamis di sebuah mal. Aku bertanya sekali lagi kepada Vivian untuk memastikan, apakah penglihatannya tidak salah, “Sumpah, demi Tuhan, Mbak, aku benar-benar ngelihat dia. Berani kesamber geledek aku …,” begitu katanya.

Dasar lelaki bajingan. Habis manis sepah dibuang. Awas kamu.

**

Lama menghilang, tiba-tiba ia datang mengetuk-ngetuk pintu, dan membangunkan malam yang beku setelah disiram derasnya hujan sejak sore tadi. Aku diam saja ketika tangannya yang kekar menerobos daun pintu. Aku diam saja ketika senyumnya yang palsu mencoba menghangatkan ruang. Aku begitu membencinya namun aku juga menginginkan dirinya. Aku jadi benci diriku sendiri. Aku benci. Benci …. Lalu ia duduk di sebelahku, meminta maaf karena telah meninggalkan diriku. Ia bilang, ayah dan ibunya sangat menginginkan seorang cucu. Ia bilang, ia takut tidak bisa membahagiakan mereka, dan ia bilang, ia terpaksa menikah dengan gadis pilihan orang tuanya.

Aku menangis, hatiku hancur. Selama ini yang kuinginkan cuma ia, tak ada laki-laki yang lain. Dan sekarang ia datang hanya untuk menyakiti hatiku.

Dasar lelaki, bukannya mengobati hatiku yang sedang terluka dan sedih, ia malah memeluk dan menciumi seluruh tubuhku, lalu menggendongku ke dalam kamar dan melucuti seluruh pakaianku, lalu … lalu ….

**

Lelaki itu berteriak kesakitan. Suaranya yang menggelegar memecah keheningan malam dan membangunkan tetanggaku yang sedang lelap tertidur ditemani bantal. Satu per satu mereka berdatangan, berkerumun dan bertanya dengan mata yang penuh selidik, “Ada apa. Ada apa?”

Tetapi lelaki itu tidak menjawabnya, kecuali berteriak dan terus mengaduh kesakitan sambil memegang pangkal pahanya yang penuh darah.

Di bibirku ada sedikit sisa darah, dan belum selesai aku menyekanya dengan ujung lengan baju tidur, tetanggaku yang lebih tanggap keadaan, segera meringkus kedua tanganku. Aku tidak bisa bergerak.

Kalian ingin tahu apa yang aku lakukan pada lelaki itu: Aku baru saja menggigit alat kelaminnya hingga putus. Aku benci penis lelaki itu.

Dan aku juga benci alat kelaminku yang baru. (*)

20 Agustus 2020.

1Prosedur bedah untuk membuat, mengkonstruksi, atau merekonstruksi vagina.

2lagu dan lirik, Fazal Dath dan Elvy Sukaesih.

 

KarnaJaya Tarigan, seorang penulis pemula.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply