Tuhan adalah Batas (Terbaik ke-4 TL16)

Tuhan adalah Batas (Terbaik ke-4 TL16)

Tuhan adalah Batas
Oleh : Evamuzy
Terbaik ke-4 TL16

 

Jika aku adalah sebuah kaca yang membatasi mereka, sudah kupecahkan diriku sendiri. Jika aku adalah sebuah pintu yang terkunci, maka akan kuputarkan kuncinya hingga terbuka pintunya, agar mereka berdua bisa bertemu lagi.

Sayangnya, Tuhan justru menciptakanku sebagai batas akhir pertemuan mereka, sebagai pemisah genggaman tangan keduanya. Seisi semesta takluk kepada Tuhan, begitu pun dengan diriku. Meskipun orang-orang selalu mengingatku dengan ketakutan yang sampai ke ubun-ubun.

Aku menerima anakku, bagaimanapun keadaannya. Aku menyayangi anakku, tidak peduli mata-mata mereka memandangnya. Aku mencintai anakku, bahkan jika taruhannya adalah nyawa.

Kalimat-kalimat ini selalu berputar-putar seperti planet-planet yang mengelilingi matahari tak kenal waktu, di kepala perempuan itu. Dia menimang bayi perempuannya dengan mulut tak berhenti melantukan selawat. Hari hampir bertemu pagi lagi, tetapi bayinya masih saja mengajaknya membuka mata. Dia memberi ASI sambil terkantuk-kantuk. Sementara sang suami sudah mengorok dengan posisi telungkup, dengan tangan memeluk bantal guling si bayi. Bayi yang menghitam warna kulitnya di tiga hari sepulang dari rumah bersalin.

“Besok pulangkan saja aku ke rumah Ibu-Bapak di kampung, Mas. Kalau aku yang dihina, aku masih terima. Tapi jangan bayiku yang tidak berdosa. Apalagi dari mulut mereka, saudara-saudaramu sendiri.” Perempuan itu menyampaikan keinginan di usia bayinya yang keenam bulan. Hatinya sudah tak kuat dipeluk penghinaan orang-orang yang menyebut bayinya: si hitam.

Anaknya bukan anak haram, semua dilakukannya sebagaimana mestinya. Bertemu pria baik—setidaknya menurutnya—dan menikah dengan baik-baik pula. Namun, Tuhan memang senang sekali mengajak bermain-main, terutama kepada mereka yang dengan kewarasannya ingin mendekat. Bayi si perempuan itu sering menjadi bahan olok-olokan.

Mereka tinggal di ibu kota, sang suami yang memboyongnya. Laki-laki itu memang asli orang sana, tapi bukan orang kaya, cuma kebetulan saja dilahirkan di kota besar. Sementara perempuan itu adalah seorang gadis desa, yang kepincut pria kota. Rumah kecil yang ditelan gedung-gedung tinggi sehingga sinar matahari saja tak bisa menyelinap masuk, adalah tempat tinggal mereka. Selama masa kehamilannya, sinar matahari pagi adalah hal kedua yang paling dia rindukan selain wajah keriput orangtuanya.

“Kalau begitu kamu harus bersedia terima risikonya. Kamu tinggal dengan ibu-bapakmu, sementara aku tetap di sini. Aku tidak terbiasa dengan pekerjaan kampung.”

Si perempuan tak keberatan. Asalkan hatinya tenang membesarkan buah hatinya. Sementara aku, Tuhan telah membisikkan sesuatu kepadaku. Aku menjawabnya, “Iya, aku sudah mengerti tugasku, Tuhan.”

Sekarang, aku tinggal menanti waktunya tiba, sambil tersenyum, sambil menyaksikan seberapa lebar dan tebal dia menyelimuti bayinya dengan doa-doa dan harapan.

***

“Adek cantik?”

“Cantik.”

“Seperti siapa?”

“Sepelti Ibu.”

Lantas, tawa keduanya mengisi kamar kecil mereka. Si bayi kini telah berusia tiga tahun. Dia terkikik geli, sang ibu menggelitikinya dalam pelukan.

“Matanya seperti siapa?”

“Ibu.”

“Hidungnya seperti siapa?”

“Sepelti punya Ibu.”

“Adek sayang Ibu?”

“Sayang.”

“Adek ingin jadi apa kalau besar nanti?”

“Jadi doktel, Ibu.”

Lalu, pipi si anak dicium ibunya, dibalas putrinya, dibalas ibunya, dibalas lagi oleh putrinya.

“Adek tetap di situ, ya. Jangan turun dari ranjang. Ibu sedang membersihkan sawang di langit-langit. Sembunyi di balik selimut, biar matamu tidak kelilipan.”

Si anak menurut. Suara kecilnya tak sampai ditelan selimut, dia bertanya, “Jadi Ayah sebental lagi sampai, ya, Ibu?”

Aku banyak melihat ibu menyusui bayinya, tetapi tidak ada yang lebih lama dari perempuan itu menyusui anaknya. Karena dia tahu, hanya air susunya saja yang bisa masuk ke perut kecil sang putri. Tubuh perempuan itu sampai kering kerontang, payudaranya melorot, dan dia tidak peduli.

Tuhan, sampai di sini aku ragu, tapi aku takut dicap tak patuh kepada-Mu. Kekukuhan hati perempuan itu menggoyahkanku. Jika Engkau tak percaya, coba tanyakan kepada langit-Mu. Atau, tentu saja langit-Mu sudah banyak bercerita, tentang petang, tentang fajar, dan malam-malam yang diisi perempuan itu dengan menghamparkan doa-doa di sana. Doa paling tinggi untuk sang putri. Menutup langit-Mu yang kelabu untuknya.

Tuhan, kenapa Engkau tak ciptakan aku sebagai Mikail saja? Yang kedatangannya paling dinanti karena dia perantara-Mu menyebar rezeki. Dia mungkin tidak pernah bertemu wajah-wajah masam. Atau, kenapa aku bukan Israfil saja? Yang saat ini masih duduk manis, meringis-ringis melihatku mencabut nyawa. Seperti saat ini, anak si perempuan itu Engkau buat demam tinggi tiga hari, semua makanan keluar lagi lewat mulutnya, kemudian yang terakhir adalah tugasku. Menarik rohnya melewati ubun-ubun.

Perempuan itu menjerit, dia teringat akan sesuatu: langit mengingkarinya, langit menulikan diri atas doa-doanya, Tuhan kembali mengajaknya bermain-main.

Aku teramat ingin menepuk bahunya, lalu bicara, “Maafkan aku. Tapi Tuhan bilang kepadaku, kau tidak pernah tahu akan segelap apa dunia pada lusa nanti. Anakmu aku simpan, aku peluk dari kegelapan itu, untuk menjadikannya sebagai cahaya paling terang untukmu nanti. Ingat dia dalam doa-doamu seperti biasa. Jangan tinggalkan langit yang masih setia menjadi tempatmu menghamparkan doa-doa itu. Langit selalu rindu suara merdumu yang menyebut namanya.”

***

Di tengah tangisnya yang menggugu, di atas sajadah yang digelarnya, perempuan itu tersentak. Sang suami melemparkan pisau yang diambilnya dari meja dapur, tepat di sampingnya yang masih bermukena, masih memegang mushaf di tangannya. Dia menoleh, matanya merah, mukanya basah.

Aku masih di sini, mengitari gubuk mereka. Mungkin untuk membawa perempuan itu bertemu dengan sang putri dalam waktu dekat, tapi Tuhan belum berbisik apa pun kepadaku.

“Kalau kau tak bosan menangis, ikut saja dengan anak kita sana! Pakai itu pisau. Kau pikir aku tidak sedih? Aku tidak seberuntung dirimu, aku jarang bertemu dengannya. Ini sudah seminggu, kau ingin menyulitkan jalan anakmu dengan terus-menerus menangis? Kalau Tuhan maunya begini, kita bisa apa?”

“Tapi aku rindu. Apa menangisi dia saja sudah tak boleh? Aku tidak meminta dia kembali.”

“Bacakan saja doa-doa seperti biasa, tak perlu menangis.”

Perempuan itu membuka daun jendela kayu kamarnya. Kamarnya yang sunyi, tidak ada lagi tawa renyah putri kecilnya. Sambil menatap langit tempatnya menghamparkan doa-doa, dia berkata lirih, “Tuhan, aku tidak menyalahkan batas yang telah Kau beri. Aku pun tidak menyesali doa-doaku. Aku hanya … rindu.”

Sang anak pun rindu, tapi sayangnya Tuhan tak menciptakan kesedihan di surga. Rindu memiliki muatan rasa sedih, tak berlaku di sana. Di surga Tuhan, dia hanya mengenal lari-lari kecil bersama bidadari dengan bahagia. Kadang dia seperti melihat wajah sendu sang ibu, tapi kemudian tangannya lekas ditarik oleh teman-temannya untuk kembali menciptakan tawa. Maka, keduanya hanya bisa menunggu waktu bertemu tiba.

Aku. Jika aku adalah sebuah kaca yang membatasi mereka, sudah kupecahkan diriku sendiri sekarang juga. Sayangnya, Tuhan justru menciptakanku sebagai batas akhir pertemuan mereka.

Kini, aku harus pergi dulu, Tuhan baru saja membisikkan sesuatu kepadaku, untuk menyelesaikan batas atas yang lainnya.(*)

Brebes, 20 Agustus 2020.

Evamuzy. Salah satu penulis kumcer Perempuan-Perempuan yang Menanam Benih di Langit.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply