Kampung Adat
Oleh : Siti Nuraliah
Terbaik ke-6 TL16
Karimun wajahnya memerah menahan amarah, dan dua tetua yang lain turut menerawang angkasa, menyapu pandangan pada langit-langit yang pekat yang ditaburi kelip-kelip bintang. Mereka baru saja selesai bertukar isi kepala. Tiga tetua Kampung Adat ini, mendapat laporan dari warga yang merasa terganggu dengan lalu-lalangnya tamu-tamu pendatang dari luar—yang sengaja berkunjung guna menikmati ketenangan dan keindahan alam yang jauh dari keramaian, atau tamu-tamu yang hanya sekadar penasaran—yang semakin lama semakin mengusik ketenangan jiwa-jiwa pemuja semesta, penikmat desau angin dan kesunyian, serta pencinta adat istiadat leluhurnya.
Ditambah lagi, selepas siang tadi, Karimun baru saja memeriksa sungai di hilir di Wilayah Anyaran. Dia geram, sampah-sampah plastik berserakan di pinggir-pinggir sungai, di akar pohon besar, dan di celah-celah batu alam. Membuat pemandangan sungai menjadi runyam. Karimun merasa nuansa kearifan lokal Kampung Adat mulai terkikis. Budaya leluhurnya mulai tergerus. Karimun yang tidak banyak bicara, memunguti sampah-sampah itu dan memasukkannya ke dalam tas yang dianyam dari daun pandan.
Kampung Adat, wilayahnya dibagi menjadi dua. Pertama, Wilayah Anyaran, sebutan ini untuk wilayah Kampung Adat bagian luar, pakaiannya serbahitam. Umumnya, mereka masih bisa diajak berkomunikasi oleh orang-orang dari luar Kampung Adat, meskipun ada pula beberapa yang menolak meski untuk sekadar bertegur sapa. Berbeda dengan Wilayah Kasepuhan, di wilayah inilah Karimun tinggal. Sebab hanya orang-orang pilihan saja yang tinggal di sana, wilayahnya pun sulit dimasuki oleh pendatang, hanya yang mendapat izin dari tetua saja. Selain itu, pembedanya adalah pakaian penghuni Wilayah Kasepuhan ini serbaputih. Di Kampung Adat, penghuninya tidak pernah membeli pakaian. Celana, baju, ikat kepala, semuanya hasil tenun sendiri. Ikan mereka tangkap dari sungai, dan sayur-mayur ditanam di kebun belakang gubuk-gubuk mereka. Tidak heran, jika banyak pengunjung yang penasaran ingin melihat langsung dan merasakan bagaimana jiwa dan raga yang menyatu dengan alam.
Rumah-rumah dengan atap dari ijuk dan serabut pelepah pohon, dinding kayu, dan bambu dengan tiang yang diikat dengan tali rotan. Lantai bambu berpanggung, dengan kolong-kolong tempat menyimpan hasil kebun: kelapa, ubi-ubi, dan jagung. Gabah-gabah mempunyai tempat istimewa, letaknya di tanah yang lapang. Orang-orang Kampung Adat membangun masing-masing gubuk yang ditutup rapat dengan kayu dan diberi pintu kecil di bagian atas. Mereka menyimpan hasil panennya di sana. Tidak ada sawah, yang ada hanyalah ladang-ladang yang padinya dipanen tanpa dirontokkan. Ini menjadi daya tarik tersendiri untuk mendatangkan pengunjung.
Kampung Adat adalah wilayah hutan yang keberadaannya sudah diakui negara, dan dilindungi undang-undang. Hutan yang awalnya tidak berpenghuni. Nenek moyang Kampung Adat adalah orang-orang yang melarikan diri dan bersembunyi sebab menolak berdamai dan berpindah agama pada zaman peperangan di masa Kerajaan Majapahit. Orang-orang yang menyembah roh dan pohon.
Karimun bergumam, “Orang-orang kota tidak paham bagaimana menjaga kelestarian alam, dan melindungi bumi.”
Dia berjalan memeriksa tiap-tiap gubuk kaumnya. Karimun kecewa, di beberapa gubuk itu sudah banyak yang memiliki peralatan mandi dan mencuci yang modern. Sikat gigi dengan pastanya, sabun, dan cairan pencuci piring. Penghuni Wilayah Anyaran sudah jauh melenceng melupakan leluhurnya. Karimun menggelengkan kepala.
“Bagaimana bisa, kalian mewariskan sungai itu kepada anak cucu kalian jika yang kalian pakai untuk mandi dan mencuci adalah racun yang merusak kealamian air?” Karimun berbicara lantang, orang-orang yang sedang menenun yang tidak menyadari kedatangan Karimun kasak-kusuk mengambil barang-barang yang teronggok di luar yang baru saja dilihat Karimun itu ke dalam.
Perempuan-perempuan Wilayah Anyaran, berlarian kembali keluar menghadap Karimun. Kepala mereka menunduk takut.
“Dari mana kalian dapat barang-barang itu?”
“Da … dari para pengunjung, Mbah,” jawab salah satu dari mereka.
“Apa kalian sudah tidak memakai alas makan dari tanah dan gelas bambu lagi?” tanya Karimun dengan suara gemetar penuh amarah.
Tidak ada yang menjawab, masing-masing mereka sibuk menahan debaran dada karena ketakutan.
“Apa kalian sudah bosan hidup berhutan dan mau melupakan leluhur kita?” tanya Karimun lagi.
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
“Sudah kubilang, jangan terlalu sering menerima pendatang-pendatang dari kota. Mereka hanya akan merusak lingkungan!” Karimun berbicara tegas.
Dengan tangan disilang ke belakang, Karimun pergi meninggalkan Wilayah Anyaran. Dia memutar otak agar cukup hanya Wilayah Anyaran saja yang berubah dan memiliki kebaruan dari kebiasaan nenek moyangnya. Dia berjalan menuju Wilayah Kasepuhan untuk menemui dua tetua lainnya.
Wilayah Anyaran yang sudah mengenal uang, mengenal makanan instan, dan beberapa orang ada yang sudah mengenal alat komunikasi menjadi bahan pikiran Karimun, agar jangan sampai kebaruan itu mengikis habis kebiasaan kaum Wilayah Kasepuhan juga.
Sebelum Karimun lebih jauh berjalan, dia memutar badan dan kembali berbicara lantang.
“Aku ingatkan kembali kepada kalian kaum Anyaran, jika kalian sudah tidak bisa hidup di hutan dan ingin keluar, segeralah datang kepadaku meminta izin. Aku akan mengizinkan dan tidak akan menahan-nahan.”
Karimun kembali berjalan, dia sadar sudah mengambil keputusan. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Dia terus berjalan menjauhi Wilayah Anyaran. Karimun menebaskan parangnya pada pohon-pohon. Ditanaminya jalan setapak itu dengan anak-anak bambu. Dan tumbuh suburlah bambu-bambu itu menjadi rumpun. Sehingga, tidak ada lagi jalan menuju Wilayah Kasepuhan. (*)
Banjarsari, 20 Agustus 2020
Siti Nuraliah adalah Alya Elhamdani Siddiq, perempuan sederhana yang kadang suka menulis, kadang suka membaca.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata