Postpartum Psychosis
Oleh : Tata Zee
Terbaik ke-7 TL16
“Kematian memang jalan yang mudah,” kata wanita yang duduk di lantai perahu. Respons itu dikeluarkannya setelah mendengar bahwa dirinya sudah mati. Saat ini, dia tengah melakukan perjalanan, berhadap-hadapan dengan seorang pria berpakaian serupa bangsawan abad pertengahan dari negeri Timur. Pria—mari kita sebut saja dia “pria bangsawan”—itu, tidak menyahuti ujaran si wanita.
“Aku bosan. Berapa lama lagi sih kita harus begini?” tanya si wanita. Gaunnya yang lebar, menggembung ketika dia mengubah posisi duduk dengan kasar. Perahu sedikit bergoyang, sehingga pria bangsawan membenamkan galah yang digunakan untuk mengayuh, dengan lebih dalam.
“Anda akan membuat perahu ini terbalik, Nona.” Akhirnya si pria bangsawan membuka mulut. Setelah itu dia memindahkan galah ke sisi kiri perahu dan membenamkannya lagi. Perahu kembali bergerak dengan seimbang.
Wanita bergaun ungu kemerahan itu bergelak sumbing. Lalu hening lagi. Hanya suara benaman dan tarikan kayuh perahu yang terdengar.
“Aku ingin pakai baju ala permaisuri negeri Timur,” begitu si wanita bicara setelah beberapa saat.
“Anda tidak punya apa pun lagi yang sebanding dengan itu untuk ditukar.”
“Menjengkelkan! Kalau begitu, katakan bahwa aku cantik memakain gaun ini!”
Pria bangsawan terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Setiap kemudahan yang Anda peroleh untuk bisa melewati rintangan ini, muncul karena pertukaran yang setara dengan perbuatan baik Anda. Kalau sampai perbuatan baik itu tak bersisa, maka ….”
“Aku akan pergi ke neraka dan tak pernah keluar dari sana. Iya. Aku sudah dengar itu darimu sebelumnya,” sahut si wanita sembari memalingkan muka. Dia lalu bersimpuh dan mendekatkan kepala di badan perahu. Bibirnya dimanyunkan. Matanya mengamati genangan air yang dihiasi gambar bergerak.
Di permukaan air, ada gambar bergerak yang tengah menceritakan bagaimana si wanita, yang dipanggil Sala itu, membantu seorang nenek menyeberang. Nenek itu kemudian tersenyum lebar sembari berterima kasih. Sala kemudian mencelupkan ujung jarinya. Hal tersebut membuat riakan dan memudarkan gambar di atas air itu.
“Saat pertama kali bertemu, kita ada di sebuah ruangan serbaputih yang bahkan tidak terlihat di mana sudutnya. Lalu kau berwujud seperti capung raksasa berkepala anjing. Sangat menjijikkan.”
Pria bangsawan masih bungkam. Hanya tangannya yang terus mengayuh sehingga menimbulkan suara menyenangkan dari percikan air.
“Lalu tiba-tiba kau bilang, kau bisa terlihat sebagaimana yang kuinginkan jika aku membayar.”
Suara percikan air akibat dayungan galah pria bangsawan masih terdengar. Kali ini berharmonisasi dengan suara tenang menyenangkan pria tersebut. “Benar. Lalu seolah tanpa berpikir, Nona langsung menginginkanku berpenampilan serupa bangsawan negeri Timur.”
Sala terbahak. “Benar. Benar. Aku menjadikan seorang bangsawan sebagai pelayanku. Pasti bayarannya sangat mahal!”
“Iya. Sangat mahal. Bayarannya setara satu kesempatan untuk bisa masuk surga.”
“Kau sudah memperingatkanku,” ujar Sala lagi dengan diakhiri tawa kecil. Posisinya masih sama, bersandar di badan perahu sembari lengannya mengulur dan ujung jemarinya menyibak air.
“Benar. Saya sampai bertanya tiga kali. Tapi, Anda bilang, Anda tidak bisa menarik kembali apa pun yang telah Anda katakan.”
Gambar bergerak di permukaan air kian buram akibat riakan. Sala lalu tertawa lagi sebelum menyahut, “Siapa menyangka bahwa menyeberangkan seorang nenek yang bahkan tidak kukenal, dicatat sebagai amalan yang sangat membantuku masuk surga?”
“Tentu saja semua makhluk hidup. Nenek itu disayangi langit dan bumi, sebagaimana dia menyayangi kucing-kucing liar.”
Jemari Sala yang menyibak air terhenti. Dia tertegun sejenak. “Oh, pantas saja.”
“Benar. Tapi, Anda menyia-nyiakan kesempatan itu hanya untuk ditukar dengan perahu dan pelayan guna membantu Anda menyeberangi batas Anda sendiri.”
Sala bergerak lagi. Kini dia mengubah posisi menjadi duduk tegak. Matanya mengamati wajah tampan tanpa ekspresi milik pria bangsawan. “Mau bagaimana lagi, kan? Meskipun kau bilang ini hanya genangan air biasa, tapi ini genangan air yang bahkan ujungnya tidak terlihat. Kalau ucapanmu benar bahwa aku harus menyeberang, menurutmu, apa aku ini akan kuat berenang hingga jauh?”
Pria bangsawan itu membalas tatapan Sala tanpa mengatakan apa-apa. Dia berhenti sejenak dari kegiatan mengayuh. Namun, tidak bertahan lama, pria itu kembali pada kegiatan yang telah dia setiai sejak awal mereka bertemu.
Sala mengembuskan napas kasar. “Ngomong-ngomong, kapan kita akan sampai? Sehari lagi? Dua hari lagi? Satu jam lagi?”
“Memangnya bagaimana Anda akan mengenali waktu?”
Sala terdiam. Gaun perempuan itu tidak memiliki lengan, serupa baju pengantin eksentrik. Dia lalu mengamati sekeliling. Sejauh pandangannya, tidak terlihat daratan. Suasana di sana juga sepi, tidak ada suara serangga yang menandai pergantian musim. Ketika mendongak, dia juga tidak bisa menemukan bintang-bintang maupun matahari. Mereka melakukan perjalanan dalam setting berlangitkan gambar-gambar bergerak acak, rangkuman dari kehidupan Sala selama ini. Dia lalu mengerti apa yang coba dikatakan pria bangsawan.
“Oke,” kata Sala tiba-tiba. “Kalau aku tidak tahu waktu, boleh aku tahu kita ini bergerak maju ke mana?”
Pria bangsawan menghunjamkan galah dengan lebih kuat. Perahu bergerak sedikit lebih cepat. “Apa menurut Anda kita ini sedang bergerak maju?”
Sala terkesiap. “Jangan bilang, karena waktu tak bisa didefinisikan, ruang juga?”
Pria bangsawan kembali tidak merespons. Hanya tangannya yang bergerak.
Sala kemudian berdiri. Dia mengamati pantulan di gambar dengan hati-hati. Di sana, gambar bergerak mengenai guru IPA ketika dirinya SMA, diputar. Sala sedang membantu sang guru memungut barang-barang yang terjatuh akibat dijaili oleh teman sekelasnya. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu.
“Ah, kau benar. Sebagaimana Pak Guru pernah bilang bahwa Einstein mengatakan, pergerakan benda-benda langit itu relatif karena kita tidak pernah bisa menetapkan secara pasti mana yang bergerak terhadap yang mana, sekarang kita dalam keadaan itu. Karena kau duduk menghadapiku, artinya sejak awal, bagimu, kita ini bergerak mundur.”
Pria bangsawan mengangkat sudut bibirnya sedikit.
Sala kembali menengadah. Dia melihat gambar bergerak di langit-langit berubah lagi. Kali ini tentang dirinya yang terjatuh di lantai rumah sakit. Kepalanya dibalut kasa. Obat-obatan berserakan di sekitar kakinya. Kemudian, seseorang datang membantu. Orang itu memeluk Sala erat.
Ketika gambar dirinya mengalirkan air mata, Sala juga ikut menangis. Bedanya, jika di gambar bergerak tersebut dia menangis histeris, saat ini, dirinya menangis bisu.
“Aku begitu malang, ya. Andai saja Ibu mengizinkan aku menjalani pilihan karier itu sebentar lagi saja, aku pasti masih berada di sampingnya sekarang.”
Pria bangsawan masih tidak memberikan respons apa pun. Dia hanya berkonsentrasi dengan pekerjaannya.
“Sejak kecil, aku selalu mengikuti keputusan dan keinginan Ibu. Begitu lulus kuliah, aku ingin bekerja dan merasakan kebebasan. Tapi, ibuku bilang, menikah itu lebih penting terutama karena begitu lulus, karierku terlalu baik. Kata beliau, aku akan membuat para pria minder kalau terus-terusan begitu.”
Gambar bergerak di langit-langit berubah lagi mengikuti pecahan cerita yang dibicarakan Sala.
“Padahal selamanya, aku hidup terkekang karena keputusanku memuaskan keinginan Ibu. Baru saja mencicipi kebebasan sebentar, aku kembali digiring ke dalam kerangkeng bernama pernikahan.”
Sala terduduk lagi. Beberapa saat kemudian, dia berbaring telentang. Matanya nyalang. “Ketika kita pertama bertemu, kau berkata padaku bahwa aku harus menyeberangi ambang ini agar jiwaku tidak tersesat, kan? Lalu kau bertanya apa yang kulihat di depanku, kan?”
Pria bangsawan mengangguk. Kali ini lebih cepat, berbeda dari semua reaksi yang dia berikan sejak tadi. “Benar. Tempat ini adalah ambang yang harus dilalui oleh manusia sebelum diberikan keputusan akhir. Tiap-tiap individu melihat tempat ini dengan citra yang berbeda. Dalam kasus Anda, dunia ini menjelma genangan air. Beberapa orang melihat jembatan. Beberapa lagi mengalami visualisasi jalur pendakian. Sedikit yang lain melihat sebuah garis yang hanya perlu sekali melompat untuk sampai pada keputusan akhir.”
“Benar. Lalu aku bertanya, kenapa bisa begitu, kan?”
“Iya.”
“Dan kau tidak mau menjawabku.”
“Kalau Anda menganggap diam sebagai jawaban tidak, maka terserah Anda saja.”
“Sekarang aku tahu kenapa bisa begitu.”
Seringai menghiasi wajah pria bangsawan meskipun tak ada respons verbal yang dia keluarkan.
Sala masih berbaring dengan tenang. Napasnya teratur. Dia bahkan merasa bisa menghitung setiap kedipan mata yang dilakukannya.
“Aku …,” ujar Sala dengan air mata yang masih berlinang, “mencoba bunuh diri ketika tahu aku mengandung, tetapi kemudian dipergoki Ibu dan akhirnya aku dirawat. Selang beberapa waktu—”
Suara air di sekitar mereka berubah. Dari yang awalnya laksana rinai menenangkan, menjadi serupa letupan gelembung air mendidih.
“—aku melompat ke depan kereta yang tengah melaju, setelah mengikat bayiku menggunakan batu besar lalu menenggelamkannya.”
Genangan air yang sejak tadi menopang perahu mereka, mendidih hingga menguap secepat kilat. Suara retakan tanah lalu terdengar di mana-mana. Lidah api muncul dari retakan tersebut, menyambar perahu dengan cepat. Pria bangsawan berubah wujud menjadi makhluk jangkung serbahitam dan bersayap. Dia melayang menyaksikan Sala yang meleleh sedikit demi sedikit.
“Sekarang Anda sudah sampai di tujuan yang sejak tadi Anda pertanyakan.”
Setelah seluruh tubuh perempuan itu luruh, tubuhnya akan kembali utuh hanya untuk dilelehkan sedikit demi sedikit lagi. Perempuan itu mengerang. Dia memanggil-manggil nama bayi yang ditenggelamkannya sembari menangis dan terus memohon pengampunan. (*)
Di antara bumi dan langit, 21 Agustus 2020.
Tata Zee, ingin menjadi penulis produktif.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata