Ketakutan-Ketakutan dalam Kepala Ibu
Oleh : Rachmawati Ash
Terbaik ke-17 TL16
Sekali ini aku datang terlambat. Pintu kereta api menumpahkan penumpang. Aku terseret arus, di tengah-tengah mereka. Aku berlari sepanjang koridor, naik-turun tangga. Terseok di antara para pegawai kantor yang kakinya bagai memiliki roda. Bunyi langkah yang bersemangat, menyerupai karnaval. Mengalir bagai sungai yang bermuara di trotoar, siap menyeberangi jalan.
Tadi pagi aku telah meninggalkan desa, melanggar perintah Ibu agar tidak pergi ke kota untuk mencari keberadaan ayahku. Perjalanan pertamaku menginjakkan kaki di ibu kota, tidak membuat gentar atau berniat mundur. Aku terus berlari sepanjang trotoar di seberang stasiun, bermaksud mencari ojek yang bisa mengantar pada alamat yang kutuju. Aku harus bertemu Ayah dan membawanya pulang menjenguk Ibu. Dalam hati, aku terus berdoa, semoga diberi kemudahan oleh Tuhan, meski Ibu dengan keras melarangku pergi ke kota menemui Ayah. Aku tidak bermaksud melanggar larangan Ibu, tetapi kondisi Ibu yang sakit-sakitan memaksaku menemui Ayah dan membawanya pulang untuk Ibu. Terlambat menemukan Ayah, mungkin akan membuatku menyesal seumur hidup.
Aku membungkuk, mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang mengenakan jaket berwarna hijau, karena tanpa kuminta dia berhenti tepat di depanku.
“Bisa saya antarkan, Mas?” sapanya sambil mengurangi kecepatan motornya, kaki kirinya bersiap turun dan mematikan mesin motor.
“Bukankah saya harus menggunakan aplikasi sebelum memesan ojek?” Aku berusaha mengikuti perkembangan zaman, meski aku lahir dan dibesarkan di kampung yang jauh dari segala yang berbau modern, tetapi aku tetap harus waspada saat berada di kota rimba.
“Tidak apa-apa. Saya aman, Mas. Kebetulan sebentar lagi magrib, dan saya akan pulang. Sementara off. Tapi jika Mas keberatan, bisa pesan online, saya berada di posisi paling dekat.” Kalimatnya menunjukkan kejujuran yang tidak perlu kuragukan lagi.
Kuulurkan secarik kertas berisi alamat yang kudapatkan dari seseorang, yang mengaku pernah bertemu ayahku di kota. Tukang ojek mengangguk dan memberikan helm kepadaku. Sedikit pun aku tidak merasa takut, lagi pula apa yang akan dilakukan seorang tukang ojek kapada lelaki kampung macam diriku?
“Akan butuh waktu agak lama, Mas. Sekitar setengah jam. Ini jauh.” Kata-katanya membuatku sedikit lega, karena dia paham alamat yang sudah lama sangat ingin kudatangi.
Aku tersenyum, segera duduk dan patuh di belakang punggungnya yang lebar. Lampu-lampu tampak lelah menyinari jalanan yang ramai. Lampu mobil yang lalu-lalang lebih menguasai penerangan jalan kota. Aku mengikuti tukang ojek menyusuri jalan, melewati beberapa belokan dan tikungan. Meninggalkan jalan kota yang sibuk tanpa jeda, menuju pada jalanan yang sedikit lebih lengang. Tidak ada bus ataupun kendaraan besar lainnya.
Suasana lebih sepi dari perjalanan sebelumnya. Tukang ojek menghentikan motor, memberiku isyarat bahwa aku telah sampai di alamat tujuan. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Sebelumnya, kuulurkan beberapa lembar uang untuknya.
Kulanjutkan langkah, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. Teraba olehku bungkus rokok yang masih meninggalkan beberapa batang tersisa. Aku mengamati sekitar, sedikit gusar, saat mataku menangkap rumah-rumah yang begitu besar dan berpilar-pilar bak istana. Mungkin, akan terusir rasa takut di hatiku jika aku mengisap sebatang rokok filter. Aku berhenti sejenak, menyalakan rokok, mengisap dan mengembus asap, sebelum melangkah kembali.
Sebentar lagi aku akan melewati pos satpam perumahan elite. Perlahan aku duduk di sebuah kursi besi di pinggir jalan. Kuembuskan asap rokokku, melayang-layang dan menghilang perlahan terbawa angin malam. Bulan berjalan perlahan, masuk ke dalam mulut langit yang gelap gulita. Bara api dari ujung rokok mengambarkan wajah Ibu yang sedang terbatuk-batuk di dalam kamarnya.
“Ibu sakit, bukan?” pertanyaanku lebih tertuju kepada psikisnya.
Aku menciumi punggung tangannya dengan hikmat. Seperti kuhirup seluruh masa muda yang berhamburan melewati tahun-tahun yang penuh perjuangan. Otot-otot di tangannya menegang, bagai dialiri arus listrik, pertanda gejolak emosi yang diwakili dari gerakan tubuhnya.
“Pergilah bekerja, tugasmu adalah mencari uang, bukan mengurus ibumu yang sakit-sakitan.” Kata-katanya di antara batuk yang datang sedikit-sedikit tetapi konsisten.
“Berhentilah merokok, Bu. Sakit paru-parumu sudah parah.” Aku berbicara dengan hati-hati, takut menyakiti hatinya karena laranganku.
“Kenapa? Takut uang hasil kerjamu habis oleh Ibumu?” tangannya mencari sesuatu, nyaris menumpahkan susu.
Kuberikan sebatang rokok, menyalakan api dan membakar ujungnya untuk Ibu. Susah-payah Ibu mengisap, sampai akhirnya terbit bunga api. Pipinya cekung oleh isapan yang kuat. Menimbulkan gelap-terang untuk sesaat. Seperti lingkaran di sekitar bulan yang terang benderang, lalu menghilang perlahan, sembunyi pada langit yang gelap kehitaman.
“Merokoklah, agar tampak jantan. Seperti ayahmu,” ucapnya menahan batuk.
“Iya, dari tadi aku ingin merokok.” Aku mengeluarkan sebatang dan menyulut ujungnya dengan korek. Kupikir kamar ini akan terbebas dari asap rokok. Tetapi, ternyata dengan merokok Ibu terlihat lebih bahagia. Mungkin bisa melupakan rasa sakitnya.
“Bu, kapan aku boleh menyusul Ayah ke kota? Sudah sebelas bulan Ayah tidak pulang mengunjungi kita. Sakit Ibu semakin parah. Aku harus menemui dan memintanya pulang.”
Angin dari jendela sesekali membuat arah asap rokok berubah. Alis mata Ibu sedikit terangkat. Batuk membuat kata-katanya tertahan untuk sejenak.
“Kalau kamu tidak ingin melihat ibumu menangis, maka jangan pernah pergi ke kota. Di sana adalah hutan rimba yang akan melumatmu hidup-hidup, Le.” Kalimatnya membuatku semakin penasaran.
“Sejak kecil aku selalu menurut kata-kata Ibu, tapi ….”
“Jangan membuat ibumu murka!” batuknya menjadi-jadi. Aku mengambil rokok dari pegangan Ibu. Meletakkannya menjadi satu dengan rokokku di piring di atas meja kamar.
Susah payah Ibu mengatur napasnya yang seolah terputus-putus. Kuelus-elus punggungnya untuk membantunya mendapatkan udara di sekitar. Dalam hati aku menyesal. Padahal aku tahu, setiap kali aku meminta izin menyusul Ayah ke kota, Ibu akan menangis atau marah tanpa sebab yang jelas. Seolah Ibu takut akan terjadi sesuatu yang bisa membunuhku. Setiap kali aku bertanya di mana tempat kerja Ayah di kota, Ibu akan melempar wajah sinis dan siap menerkamku jika tetap bertanya. Kata-kata yang keluar dari mulut Ibu seolah mendeskripsikan bahwa di kota adalah tempat yang mematikan, yang akan memakanku hidup-hidup.
Kalimat Ibu juga mengartikan bahwa Ibu tidak ingin kehilangan diriku untuk selama-lamanya. Ibu mendadak rapuh sejak aku memiliki keinginan untuk menyusul Ayah ke kota dan melihat kedaannya di sana. Padahal, aku tidak pernah berniat mengikuti Ayah dan bekerja di kota. Aku akan tetap pulang dan hidup di desa bersama Ibu untuk selamanya. Tetapi, setidaknya aku tahu apa pekerjaan ayahku dan bagaimana bentuk tempat tinggalnya. Kenapa Ayah selalu datang dengan mobil mewah, sepatu mengilap dan pakaian bagus. Tetapi, meninggalkan kami hidup sederhana di desa.
Ibu menyandarkan punggung di dinding kamar. Matanya menerawang, mengawasi langit-langit yang ada di atas kepalanya. Aku bisa melihat matanya dikedip-kedipkan, menahan agar air bening tidak merembes dari ujungnya. Sekali lagi, aku merasa bersalah, lalu ikut diam dan menatap asap rokok yang terus mengepul, mengeluarkan asap tidak beraturan di atas piring sisa makanan Ibu.
“Kota telah membuatku hancur. Aku mengenal cinta di sana, juga mengenal dunia yang sesungguhnya. Kota itu telah membuatku mendapatkan segalanya juga kehilangan segalanya.” Kalimat Ibu membuyarkan lamunanku.
Kuperhatikan tubuh Ibu yang bersandar di dinding. Persis di samping kepalanya, terbuka sebuah jendela. Dari sanalah angin malam berembus, melalui sela daun-daun jambu. Cahaya bulan dengan leluasa menembus masuk ke dalam ruangan. Tidak terang, tetapi mempertegas warna perak pada rambut di kepala Ibu. Aku memilih diam, takut menghentikan cerita Ibu yang sudah lama kunantikan, tentang larangannya kepadaku untuk pergi ke kota menyusul Ayah.
“Tanpa bekal, tanpa ilmu, aku pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dan memperbaiki kehidupan yang kere. Aku ingin dihormati orang lain. Kupikir, dengan pergi ke kota, aku bisa hidup enak dan pulang dengan membawa banyak uang.” Ibu kembali menengadah. Tentu, untuk menahan air mata tak tumpah dari matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Aku mendapatkan yang kuinginkan. Tetapi dengan segala keterbatasan, aku menemui jalan yang berbeda dari tujuan, aku bekerja di sebuah tempat hiburan malam. Lalu ….” Ibu menghentikan kata-katanya. Menutup pintu jendela dengan tangan gemetar. Sigap aku berdiri dan menyingkirkan tangannya dengan pelan. Membantunya kembali bersandar.
“Kamu masih mau mendengarkan cerita Ibu, Le?” kata-kata Ibu membuatku lebih cepat menutup pintu jendela, lalu tidak sabar duduk di samping Ibu. Di tepi ranjang, aku seperti anak kecil yang siap mendengarkan dongeng sebelum jatuh tertidur.
Dari mulut Ibu yang diselingi batuk-batuk kecil. Dikisahkannya awal mula Ibu mendapat pekerjaan dari temannya yang lebih dulu pergi ke kota. Ibu bekerja di sebuah tempat hiburan malam, sebagai pengantar makanan atau minuman untuk pelanggan. Dari sana, Ibu menjadi seorang perokok, kadang ikut minum-minum meski sakadar menghormati tamu atau demi selembar uang tambahan.
Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun terlewati. Waktu berjalan begitu laju, sampai Ibu merasa lelah dengan kebohongan yang ada dalam hatinya sendiri. Lalu, seorang pria langganan di tempatnya bekerja, mengajak menikah dan hidup bersama. Sesekali Ibu mengusap air mata yang menitik di pipinya, sebentar berhenti bercerita lalu batuk-batuk, membuat kisahnya terputus-putus keluar dari mulutnya. Aku masih diam, menyimak dengan tetap berbesar hati. Memang, sejak lama aku tahu bahwa ibuku memiliki kebiasaan yang berbeda dengan wanita lainnya di desaku. Ibuku suka merokok untuk mengusir rasa sakit atau kesedihan yang menyerangnya dengan tiba-tiba. Tetapi, tak pernah sekali pun aku berani menanyakannya. Aku tahu Ibu tidak akan menjawab pertanyaanku, justru akan mengembuskan asap lebih kuat dari mulutnya. Persis seperti pelacur yang kulihat di film pada layar TV.
Saat itu sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Malam itu, Ibu mengisahkan sendiri cerita masa mudanya tanpa kuminta. Aku memasang telinga dengan sungguh-sungguh. Ibu melanjutkan ceritanya, mengisahkan pertemuan dengan Ayah sampai lahirlah seorang anak laki-laki yang tentunya, adalah aku. Kadang Ibu tersenyum kadang Ibu menahan air mata agar tak terjatuh di pipi. Cerita demi cerita mengalir dari bibirnya yang tampak keriput. Aku hampir tidak percaya, tetapi cerita itu terus terngiang di telinga juga di hatiku. Saat mendengar akhir cerita Ibu, bahwa Ayah mengirim Ibu kembali ke desa kelahirannya bersama janin yang tumbuh di rahimnya, muncul pertanyaan yang melayang-layang di kepalaku. Mengapa Ayah mengirim kami ke desa, tidak mengajak kami hidup bersamanya di kota. Detik berlalu, menit berjalan, tetapi Ibu tidak melanjutkan ceritanya. Batuk membuatnya kepayahan, lalu aku memintanya rebah dan membiarkannya tertidur dengan batuk yang terus datang mengganggu kantuknya.
**
Betapa menggembirakan, saat dengan langkah gemetar aku mendapat petunjuk dari satpam bahwa aku telah sampai pada alamat rumah yang kucari selama ini. Aku memandang sekitar, hening, lalu melangkah untuk satu tujuan: menemui Ayah. Sepatuku memukul lantai paving block. Kurasakan getaran di seluruh tubuh. Menggigil oleh perasan ganjil. Telah jauh perjalanan yang kutempuh untuk sampai di rumah ini. Namun, baru setengah langkah, kutemukan kenyataan yang sulit dipercaya. Banyak karangan bunga berada di halaman rumah, bertuliskan huruf kapital: Mengucapkan Bela Sungkawa atas Meninggalnya Bapak Haris Ardianta.
Lampu kristal di ruang tamu yang menyebarkan sinar temaram ke seluruh permukaan benda, lukisan besar di dinding, dan hiasan batu onyx di sisi lemari hias, tidak mampu menerangi kegelapan yang menyusup ke dalam dadaku saat ini. Gemerincing batang-batang kristal yang beradu dengan angin, tidak membuatku tergoda dan ingin memiliki. Di mana Ayah?
Hampir lima menit mataku menyapu ruangan. Sisa-sisa keberanian membuatku bernyali memasuki rumah yang asing bagiku. Rasa ingin tahu membuatku tak tahan, ingin bertanya kepada orang-orang yang sedang duduk di lantai dan sibuk membaca doa. Apakah benar ini rumah ayahku? Apakah ucapan bela sungkawa pada karangan bunga itu benar untuk ayahku? Orang-orang seolah kompak mengenakan pakaian serba hitam, membaca yasin. Sebagiannya lagi hanya duduk dan bersalaman kepada seorang wanita seusia ibuku, sebelum berpamitan meninggalkan rumah duka. Pemandangan yang membuat perasaanku semakin teraduk-aduk.
Aku mendekati wanita itu, bersalaman. Bibirku hampir bertanya, apa hubungan wanita ini dengan ayahku. Apakah dia adik perempuannya? Atau kakak perempuannya? Sial. Aku tersengat oleh pandangan foto keluarga yang terpasang di dinding ruang tengah. Foto keluarga yang tampak bahagia: Ayah merangkul wanita yang ada di sampingku, diapit oleh dua laki-laki yang tersenyum begitu menawan. keduanya bahkan saat ini sedang duduk di samping wanita di sebelahku. Astaga! Wajah kedua laki-laki itu persis dengan wajahku. Para tamu yang datang dan pergi menyalami mereka, mengucapkan bela sungkawa atas kematian ayahnya.
“Maaf, kami datang terlambat. Tidak ikut ke pemakaman Pak Arya.” Seseorang menepuk-nepuk punggung lelaki di sebelah wanita seusia ibuku.
“Tidak apa-apa, terima kasih telah datang dan memberi penghormatan terakhir untuk Ayah kami.” jawab lelaki itu.
“Bapak sakit apa? Jam berapa dimakamkan?” tanya seseorang yang lainnya.
“Kecelakaan saat pulang dari kantor. Sudah dimakamkan tadi jam empat sore.”
Di mata mereka, tentu aku bukan siapa-siapa. Rasa sedih mengalir di dasar hati. Tiba-tiba, lantai yang kupijak terasa seperti bergelombang, Aku nyaris pingsan oleh dua hal: kematian Ayah dan kenyataan yang sulit kupercaya. Ayahku memiliki dua Istri. Entah, siapakah istri pertamanya. Wanita ini atau Ibuku? Atau, jangan-jangan benar yang dikatakan orang-orang desa, bahwa Ibu adalah wanita simpanan bos kaya raya.
Seketika aku ingin berlari, jatuh di pangkuan Ibu. Menumpahkan segalanya, segala-galanya.(*)
Rumah Sastra Griya Satria, 19 Agustus 2020.
Rachmawati Ash, wanita scorpio yang menyukai warna hitam, merah, dan biru. Lahir dan besar di kota panas, Semarang. Kecanduan menulis dan membaca romance.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata