Uang Tanah
Oleh : Rinanda Tesniana
Terbaik ke 23 TL-16
Aku berjalan menuju ruangan Pak Husin, telapak tanganku basah, pelipisku berkeringat, dan jantungku berdetak lebih cepat. Aku sangat cemas, karena tidak biasanya lelaki itu memanggilku.
Sebagai pesuruh, aku lebih sering berurusan dengan petugas kebersihan dari pada atasan.
Apakah aku berbuat kesalahan? Aku menebak-nebak. Memang, dia sering menyuruhku membersihkan ruang kerjanya, dengan alasan pekerjaan Mang Hasan—petugas kebersihan—tidak memuaskan. Selama ini, tidak ada masalah apa pun karena hal ini.
Aku mengambil napas panjang sebelum mengetuk pintu, dan masuk ketika ada jawaban dari dalam.
“Duduk, Jun,” perintahnya dengan suara ramah.
Aku menunduk sungkan. Sungguh, sebagai pesuruh aku tak terbiasa duduk di kursi empuk itu. Lebih baik aku berdiri saja.
“Duduklah! Santai.” Ia tertawa melihat sikap canggungku.
Aku memilih duduk di ujung kursi. Sangat tidak nyaman.
“Lihat ini.” Ia menunjuk gepokan uang yang tersusun rapi di atas meja kerjanya. “Untukmu!”
Darahku berdesir. “Uang apa, Pak?”
“Uang untuk keluargamu, Jun. Ambillah! Dari Pak Yahya, sebagai upah dari kejadian tiga bulan yang lalu,” bisiknya.
“Tapi, Pak, saya takut,” sambungku, pun berbisik.
Aku menatap lembaran uang merah di atas meja Pak Husin.
Aku masih ingat, ketika tiga bulan yang lalu Pak Yahya datang ke ruangan ini. Entah nasib baik atau sebaliknya, aku yang sedang membersihkan ruangan Pak Husin, ikut mendengarkan semua permintaan Pak Yahya.
Pak Yahya ingin membeli tanah milik Mak Siti. Satu-satunya harta perempuan tua itu. Tanah berukuran dua hektar tersebut memang tak berfungsi apa-apa, selain untuk tempat tinggal. Mak Siti, sesepuh kampung ini, tak paham bagaimana cara mengelola tanah, tapi bersikeras tidak mau menjualnya.
Sebagai warga asli yang tinggal di sini sejak lahir, aku tahu keluarga Mak Siti sudah tinggal di sana secara turun-temurun. Tanah itu memang milik keluarganya. Namun, Mak Siti tidak punya bukti apa-apa. Surat saja ia tidak punya.
Pak Husin memulai semuanya di sini. Ia membuat sertifikat kepemilikan tanah Mak Siti atas nama Pak Yahya. Tidak sulit baginya, semudah menghabiskan sebatang tembakau saja.
Aku menyaksikan sendiri, bagaimana culasnya Pak Yahya dan Pak Husin. Mereka merenggut semua milik Mak Siti dengan licik. Janda tua itu meraung-raung ketika Pak Camat datang membawa sertifikat tanahnya. Nama yang tertulis di dalamnya adalah nama Pak Yahya.
Mak Siti hanya punya dua pilihan, pergi atau dipenjara. Pada akhirnya, Mak Siti memilih duduk di pos ronda, sambil terus tertawa. Membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri.
“Ini bagianmu, tapi ingat, tutup mulut. Ini rahasia kita.” Pak Husin meyakinkan lagi.
“Pak, saya gak mau. Ini uang haram!” tukasku.
“Jangan sombong, Jun! Aku tahu gajimu itu, bahkan tak cukup untuk makan dua hari. Jadi, jangan sok sucilah.”
Kepalaku mendadak sakit. Teringat anak-anakku yang merengek tadi pagi, mereka sudah bosan makan ubi. Mereka ingin nasi, sementara, aku tidak memiliki uang lagi. Pekerjaanku sebagai pesuruh di kantor desa tidak menjanjikan gaji yang besar. Uang tiga ratus ribu sebulan, harus dibagi dua, sewa pondok dan makan untuk empat orang.
“T-tapi, Pak ….”
“Babi pun jadi halal kalau kita lapar,” ujar Pak Husin dengan lantang.
Ini uang haram! Namun, bayangan anak-anakku yang kelaparan kembali membuat batinku ragu. Benar kata Pak Husin, babi pun jadi halal saat kita kelaparan.
“B-berapa jumlahnya, Pak?” tanyaku gugup.
“Sepuluh juta. Ini baru tahap awal, Jun. Setelah proyek Pak Yahya selesai, kita dapat persen lagi. Lebih banyak dari ini.”
Sepuluh juta? Rasanya, tubuhku tidak lagi menginjak tanah. Dengan uang sebanyak itu, aku bisa membeli apa pun. Apa pun!
“Tapi, Pak, Mak Siti gila gara-gara uang tanah ini.”
“Ah, itu salah dia, Jun. Kalau dari awal dia mau bekerja sama dengan kita, kejadiannya tidak akan seperti ini,” kilah Pak Husin.
Pak Husin benar! Mak Siti nekat, padahal dia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mempertahankan tanahnya. Aku rasa, Pak Yahya berhak atas tanah itu. Toh, Mak Siti memang tak punya bukti kepemilikan. Jadi, uang ini bukan uang haram.
“Benar, Pak, sebanyak ini untuk saya?”
“Benar, Jun. Kita bagi rata.” Lelaki itu tersenyum. “Nih, kantong keresek buat bungkus uang kamu. Ingat, Jun, ini rahasia. Kalau sampai bocor, habis kamu!”
Aku mengangguk menahan gejolak di dada. Terbayang wajah Dian dan Dion yang tersenyum bahagia saat aku membawa uang ini pulang. Aku akan membelikan Ratna beras, tak hanya seliter seperti biasa, tapi sekarung.
Ternyata, pulang membawa uang banyak malah membuat langkahku berat. Rasanya, setiap berpapasan dengan orang, aku khawatir. Terlebih, aku berjumpa Mak Siti di perempatan. Dia menatapku lama, padahal biasanya acuh tak acuh.
“Mana tanahku, Jun?” tanyanya saat aku melintas.
“Tanah apa?” bentakku.
“Tanahku, Jun!” pekiknya.
Aku menutup telinga, berlari meninggalkan wanita tua yang pernah menjadi guru mengajiku itu.
Ini bukan uang haram! Anak-anakku perlu makan layak. Cukup sudah, keluargaku didatangi kader puskesmas tiap bulan, karena menurut mereka Dian dan Dion, anak-anakku, menderita gizi buruk. Aku tidak mau lagi.
Uang ini cukup. Cukup untuk makan, cukup untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik, cukup untuk membelikan Ratna—istriku—daster baru, cukup untuk membeli semua yang Dian dan Dion minta.
Ini bukan uang haram. Aku mendapatkannya karena rezeki dari Tuhan. Iya, ini rezeki. Pasti Tuhan tahu, aku tidak ikut campur mengenai tanah Mak Siti. Kebetulan saja aku berada di sana saat Pak Yahya datang. Iya, ini uang halal.
Anak-anakku lapar, semua halal, kata Pak Husin. Babi pun halal kalau kita lapar.
Ini halal, Jun. Halal!
Sampai di rumah, aku menyuruh Ratna membeli semua kebutuhan dengan uang ini. Anak-anakku harus kenyang.
“Uang apa ini, Bang?” tanya Ratna, matanya menatapku penuh curiga.
“Uang dari Pak Husin, Na. Upah karena Abang bantuin dia ngurus surat tanah,” jawabku pelan.
“Uang halal, ‘kan, Bang? Ratna tak mau anak-anak kita makan dari uang haram.”
“Halal, Na. Itu uang halal!” tegasku.
Ratna tersenyum senang. Bergegas dia ke warung untuk membeli semua kebutuhan makan.
Melihat lahapnya Dian dan Dion makan, hatiku bahagia. Mereka sampai makan tiga piring nasi. Tak apa, aku sudah membeli beras sekarung. Mau sepuluh kali tambah pun tak masalah.
Sesaat setelah menyelesaikan suapan terakhirnya, Dion muntah. Semua isi perutnya keluar entah mengapa. Wajah anak kesayanganku itu pucat. Tubuh kurusnya menggelepar di lantai seperti ikan kekurangan air.
“Dion kenapa?” Ratna menjerit panik.
Istriku meletakkan kepala Dion di pangkuannya. Tubuh Dion yang semula kejang, sudah tenang. Sangat tenang. Hingga aku sangka, Dion sudah mati.
“Bang …, Dion,” isak Ratna. “Dion gak ada napas!”
Aku mengecek denyut nadinya, nihil. Embusan napas pun nihil.
“Dion mati,” ratapku.
Dion mati karena makan nasi dari uang ini. Uang haram!
Aku berlari mencari Mak Siti, sambil membawa kantong keresek berisi uang sepuluh juta yang telah berkurang tiga ratus ribu. Ini uangnya, bukan uangku.
Aku akan mengembalikan uang ini pada pemiliknya untuk menebus nyawa anakku.
Dion akan hidup lagi. Semua isi perutnya yang memakan nasi dari uang haram itu sudah keluar. Dion akan hidup, asal aku kembalikan uang ini ke pemilik sesungguhnya, Mak Siti.(*)
Kota Istana, 18082020
Rinanda Tesniana, pembelajar di dunia literasi.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata