Sesal

Sesal

Sesal
Oleh : Siti Nuraliah

Yuni hanya bisa pasrah tatkala dokter memvonis suaminya tidak bisa sembuh. Hidupnya hanya tersisa beberapa bulan lagi. Sakit kanker yang sudah dua tahun lalu menggerogoti otaknya, kini menyisakan tulang yang hanya dibalut kulit keriput pada tubuhnya. Aku menyaksikan langsung bagaimana Yuni begitu frustrasi, tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa membantu. Sebab aku beberapa waktu ini hanya ditugaskan untuk menjenguk suaminya Yuni beberapa kali dalam sehari. Ia masih bernapas, dan belum waktunya tiba.

Yuni mencabut paksa perawatan suaminya di rumah sakit dan membawanya pulang. Ia merasa waktunya tidak lagi lama. Akan lebih pedih, jika suaminya meninggal dalam keadaan belum sempat bertemu anak-anaknya dan berkumpul seperti pada masa anak-anaknya masih bujang dan gadis. Yuni berikhtiar, semoga anak-anaknya mau menyempatkan pulang dan memberi waktu luang untuk ayahnya. Yuni pernah menonton film-film yang mengisahkan orang sakit, yang hidupnya hanya hitungan hari lagi itu mesti dibahagiakan di sisa hidupnya.

***

Di sebuah rumah mewah berlantai dua, seorang perempuan muda baru saja hendak memasuki mobil berpelat merah dengan tergesa-gesa. Suara sepatu berhak tinggi yang beradu dengan lantai marmer itu merupa bunyi-bunyian khas orang-orang berkelas. Handphone di dalam tasnya berbunyi beberapa kali. Ia baru akan menjawab nanti setelah berada di dalam mobil. Seorang lelaki berjas hitam membukakan pintu mobil untuknya.


“Sampai di kantor Bapak, kita tidak akan telat, kan, To?”

“Aman, Bu. Tenang saja.”

Lelaki berjas hitam yang bernama Parto itu melajukan mobil dengan perlahan, beberapa menit kemudian menarik gasnya membuat mobil yang dikemudikannya melaju dengan kencang. Handphone di dalam tas perempuan muda itu berdering kembali. Perempuan muda itu mengusap layarnya lalu menempelkan ke telinganya.

“Iya Bu, Ada apa?”

“Ayu lagi mau ke kantornya Mas Teguh, Bu. Ada rapat. Ini lagi di jalan, buru-buru.”

“Apa …?” suara perempuan muda itu sedikit berteriak, jalanan macet dan suara bising klakson membuatnya mesti menutup sebelah telinga dengan telunjuk.

“Kondisi Bapak memburuk?”

“Kenapa dibawa ke rumah? Biaya rumah sakit biar Ayu sama Kak Satria yang tanggung.”

“Belum bisa pulaaang, Mas Teguh lagi sibuk kampanye di sini.” Seperti tidak ada jawaban di ujung telepon sana. Ayu, perempuan muda ini berdecak sedikit kesal.  “Bu! Ya sudah, nanti Ayu telepon lagi, ya!”

Telepon ditutup, ia memasukkan kembali layar berukuran 5 inci itu ke dalam tasnya. Dan menghempaskan tubuh di sandaran jok mobilnya yang empuk.

Sementara itu, Yuni matanya berkaca-kaca. Ia hendak menelepon satu lagi anaknya. Namun, lagi-lagi aku mendengar pembicaraan ibu dan anak cikalnya itu. Raut wajah kecewa tergambar jelas di wajah Yuni, dari obrolannya aku mendengar Satria sibuk mengurusi pabriknya yang hampir bangkrut dan kalah saing. Aku memperhatikannya dari jarak dua meter. Aku mengusap wajah suaminya yang kian tirus. Mulutnya hendak terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu. Lidahnya sudah sulit untuk merangkai kalimat. Jari-jari tangan dan kakinya mulai dingin. Yuni menyadari suaminya yang mangap-mangap ingin bicara.

“A … Aaa … A ..” suaranya hampir tidak terdengar, Yuni mendekatkan telinganya ke bibir Doni, Suaminya.

“Ayu?” Yuni menegaskan apa yang ingin dikatakan suaminya. Doni menggerakkan sedikit kepalanya sambil berkedip lemah.

Yuni mengusap-usap kening Doni yang lengket berkeringat dan mengelapnya dengan tisu. Ia tidak tega jika harus mengatakan kalau Ayu tidak bisa pulang. Air mata Yuni luruh membasahi pipinya.

Aku menyingkir menyilakan jemari Yuni menyentuh wajah suaminya yang kian pucat. Dipeluknya kepala Doni yang sudah tanpa rambut itu dengan erat, seperti tidak rela ditinggalkan terlalu cepat.

“Saa … Saaattttrr… Sssatttri … Iiiaaa …” suara Doni habis. Kalimat itu diucapkannya dengan berat, suaranya terdengar sangat dalam, seperti tercekat di kerongkongan.

Hati Yuni menjerit-jerit. Ia menyesali cara mendidik kedua anaknya. Seharusnya ia tidak egois saat almarhum ayahnya ikut mengajukan daftar nama sekolah menengah pertama untuk anak cikalnya, Satria juga untuk Ayu anak keduanya. Ayah Yuni memilihkan sekolah berbasis pondok pesantren. Katanya, agar Satria menjadi gagah seperti namanya, Kesatria Prayoga.

“Laki-laki itu harus gagah, Yun. Harus berilmu, terutama ilmu agama. Masukkan saja Satria ke pesantren biar dia belajar berakhlak yang baik!”

“Kasihan, Pak. Masih apa-apa mama, apa-apa mama. Aku belum tega melepas dia.” Yuni menyela ucapan ayahnya.

“Dia kelak akan menjadi imam, menjadi ayah dan suami. Si Ayu juga, dia mesti dididik jadi perempuan yang pintar. Pintar jadi istri, pintar mengurus anak, pintar menghormati orangtua. Ibaratnya, seorang ibu itu madrasah pertama bagi anaknya. Kalau ibunya bodoh bagaimana bisa mengajari anaknya, kalau ibunya tidak berakhlak bagaimana bisa memberi contoh yang baik untuk anaknya. Kecuali memang anaknya membangkang, seperti kamu dulu yang tidak pernah menurut sama almarhumah ibumu.”

“Dan satu lagi, anak-anak yang berbakti dan saleh itu amalan yang tidak akan pernah terputus sampai kita mati, Yun. Sebab mereka akan selalu mengirimkan doa meski kita telah tiada.”

Yuni semakin tergugu, napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun mengingat percakapan masa itu dengan ayahnya. Ia sadar terlalu memanjakan kedua anaknya. Ia juga teringat, saat hendak kepergian ayahnya, hanya dirinya yang tidak sempat menyaksikan detik-detik napas terakhir hidup ayahnya. Dua kakak yang salah satunya hafal Al-Qur’an itu terus membacakan surat-surat pilihan dalam Al-Qur’an. Adik bungsunya yang satu tahun lagi lulus dari pondok pesantren termasyhur di Jawa Timur itu terus merapalkan doa-doa.

Hanya dia yang tidak bisa apa-apa, membaca Al-Qur’an ala kadarnya, dan hafal doa hanya beberapa saja. Bukan karena ayah ibunya bodoh. Pernah Yuni dimasukkan ke sekolah madrasah, tapi hanya betah satu bulan. Dipindahkan lagi, kabur lagi, begitu seterusnya sampai ayah ibunya membiarkan Yuni memilih pilihannya sendiri.

Pukul setengah enam sore, saat matahari hendak bermalam di ufuk barat. Aku mendapat titah dari Tuhan. Kutatap wajah Doni yang sudah seputih kapas, bibirnya pucat. Mulutnya kembali mangap-mangap. Matanya terbuka dan membesar, kepalanya mendongak, Yuni menjerit histeris, ditepuk-tepuknya pipi suaminya itu. Aku mulai kesal, mengapa dia lupa bacaan saat mengantarkan seseorang kembali menghadap Tuhan.(*)

Banjarsari, 22 Agustus 2020.

Siti Nuraliah adalah Alya El-hamdanie Siddiq. Perempuan sederhana, kadang suka menulis, kadang suka membaca.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply