Gelitik Dosa
Oleh: Dyah Diputri
Malam begitu gerah. Angin enggan menyapa meski setiup. Keringat mulai menitik dari pelipisku. Kutengok layar ponsel. Pukul satu dini hari.
Dalam keheningan malam aku berjalan ke ruang makan tanpa Erik sadari. Dia tidur terlalu lelap setelah bercinta tadi. Sementara aku sedang insomnia. Setiap kali aku mencoba memejamkan mata setelah memanjakan Erik, aku dibayangi mimpi buruk. Ketakutan membuatku tak berani larut dalam mimpi.
Puas menenggak air putih aku berjalan mendekati jendela. Kusibak tirai berwarna krem itu dan kubuka perlahan jendela kupu tarung tanpa menimbulkan suara. Rasanya lebih sejuk sekarang.
Iseng, kubuka Facebook yang sudah lama kuabaikan. Sepi, membuatku semakin mantap untuk menutupnya saja. Namun, saat melihat satu pesan, sekejap mata semestaku seakan-akan runtuh. Seluruh perjuangan menutupi sebuah masa lalu seolah-olah sia-sia. Aku tertegun memandang kegelapan malam dengan hati berdebar. Tuhan, godaan seperti apa lagi ini?
Dia Naraya. Erik mengenalkanku kepadanya semasa kami berpacaran. Sahabat yang kental dan tak terpisahkan, itulah Naraya dan Erik.
Entah drama seperti apa yang kumulai sejak mengenal Naraya. Aku begitu saja menganggapnya seperti kakak yang begitu mengerti perasaanku. Tentang Erik dan keluh kesahku kepadanya, Naraya begitu sempurna menginterogasi. Mungkin karena dia seorang playboy yang biasa mengutak-atik perasaan wanita. Entahlah! Yang jelas, aku nyaman di dekatnya. Bercurah hati, bercanda, dan bahkan menangis membisingkan telinganya walau via telepon. Bagiku, Naraya adalah pelampiasan ego mudaku kala itu. Tanpa hasrat, tanpa cinta.
“Aku tak mau hanya menjadi pendengar dongengmu, Sally!” katanya suatu kali.
“Lalu?”
“Ayo kita selingkuh!”
Aku terbahak mendengarnya. Mana mungkin aku akan main serong dengan sahabat kekasihku sendiri. Waktu itu candaannya berhasil membuatku sakit perut.
“Aku mencintaimu. Mana pernah kau tahu?”
“Ya, seperti kau mencintai seribu wanita di dunia ini!” tandasku.
“Kau tak ‘kan pernah percaya. Aku sudah menebak,” tuturnya, “hmmm, semua kulakukan untukmu. Termasuk menemanimu saat Erik teringat pada mantan kekasihnya. Oh, hei! Kau tak lupa, ‘kan? Kau hanya pelampiasan bagi Erik. Kenapa tak kau coba membalasnya. Aku siap, Sally, meski hanya menjadi yang kedua!”
Gila! Sungguh gila! Semua yang dikatakannya memang benar adanya. Sering aku menangis karena Erik tak berhenti memandang perih masa lalunya dengan Puji, mantan kekasihnya. Lalu sebagai pelampiasan, kupukul dan kutinju dada bidang Naraya hingga berakhir pelukannya kepadaku.
Perselingkuhan berjalan sesuka hati kami. Saat kubutuh, Naraya selalu ada. Begitu pun sebaliknya. Kata cinta tak terelakkan dari bibirnya. Aku? Aku tahu itu hanya basa-basinya. Kami hanya saling memanfaatkan genggaman tangan satu sama lain. Tak lebih.
Hingga pada akhirnya aku harus mengambil keputusan.
“Kita sudahi semuanya. Aku tak bisa terus-terusan membohongi Erik.”
Cepat, Naraya menarik tangan dan memeluk tubuhku dari belakang. Sesuatu berdesir jauh di lubuk hatiku.
“Pergilah, Naraya! Cari kebebasanmu seperti biasa atau mulailah mencari pendamping hidup! Seorang yang benar mencintaimu … yang akan mengubah hidupmu.” Pelan, aku melepas tangannya yang erat menempel di pinggangku.
“Itu kau,” bisiknya.
“Bukan. Bukan aku. Aku hanya sama dengan wanitamu yang lainnya. Begitu, ‘kan, kau pernah bilang?”
“Itu hanya kiasan, Sally. Kenapa kau tak pandai membaca isi hatiku?” Bisikan Naraya mendetakkan jantungku lebih cepat. Aku terlalu takut mengira-ngira tentangnya.
“Karena aku buta tentangmu! Apa yang kurasa belum tentu sama dengan yang kau katakan! Hatimu terlalu misteri, tahu!”
Aku pergi meninggalkan Naraya. Kemudian kejujuran tentang hubunganku dengan Naraya berhasil membuat Erik menitikkan air mata. Misiku sukses! Hatinya luluh sempurna tanpa bayang masa lalu di petikan jemariku. Hati yang semula tak acuh—biasa saja—mendadak jadi cemburu buta setiap kali waktu mempertemukan aku dan Naraya.
Anehnya, persahabatan mereka tak pudar hanya karena aku. Naraya tetap dengan image penuh tipu daya—seolah-olah dia tak pernah ada rasa—juga wajah playboy eksotisnya.
Erik pun tak mengambil keputusan dan kebijakan ekstrem atas hubungan persahabatan mereka. Erik hanya berani menggertak halus kepadaku agar tak terlalu dekat dengan Naraya. Terlebih semenjak kami menikah.
“Aku tetap merindumu, Sally. Bisakah kita bertemu di belakang Erik?”
Selalu begitu. Bergonta-ganti nomor kontak hanya untuk mengatakan itu di telepon. Kadang aku merasa rindu. Sebatas teman awalnya. Lamat-lamat kesibukan sebagai istri dan ibu dari Joyce membuatku tergoda untuk menikmati me time dengan hal yang tak wajar. Aku kerap menghubungi Naraya untuk menghilangkan penat. Kesepian karena hubungan jarak jauh dengan Erik menjadi pendorong berbeloknya kesetiaan.
“Cukup datang! Tanpa perlu kau goyahkan imanku!” pintaku pada Naraya.
“Mana mungkin, Sayang. Aku terlalu rindu untuk memilikimu.”
“Ingat batasan kita, Naraya! Aku hanya menganggapmu kakak … sahabat, tak lebih!” Aku mengancamnya.
“Kalau begitu lebih baik aku tak datang!”
Sial! Mana mungkin kutahan rinduku kepadanya. Aku sudah terlanjur basah, mencelupkan diri di sebuah permintaan kepadanya. Tak mungkin kukibaskan sisa rembesan air di bajuku begitu saja!
Naraya datang. Tepat kala Joyce, bayi delapan bulanku tidur pulas. Kemudian hanya tersisa kami berdua. Cukup lama hening dalam kebisuan hingga akhirnya Naraya tak tahan untuk mendekapku.
“Maaf …,” lirihnya.
Aku tak sanggup berkata. Hanya bisa kunikmati gemetar jiwa dan raga saat berada di pelukan orang yang tak semestinya. Sadar, aku istri Erik. Aku milik Erik sepenuhnya, tetapi bukan mudah untuk lepas dari kemelut hatiku sendiri. Aku rindu pada satu-satunya obat penenang.
Malam itu, surgaku terputus oleh nafsu. Zina yang tak pernah terampuni menjadi ladang sesal sepanjang hidupku.
Aku menangis, meronta, dan hampir gila. Perasaan berdosa menghantui setiap malam. Erik bertanya-tanya sekaligus curiga. Satu hal yang bisa kujelaskan kepadanya hanya kebohongan.
“Mungkin aku hanya mengalami baby blues syndrome.”
“Mau ke psikiater, Sayang?” tawar Erik.
“Tidak, aku hanya perlu istirahat. Bisakah kau menemaniku?”
“Tentu. Aku akan minta rolling. Biar aku selalu di sampingmu.”
Aku mengangguk lemah, tak berdaya dengan sejuta sesal yang mendera. Pelan tetapi pasti kuputuskan semua yang berhubungan dengan Naraya. Mengingatnya sama seperti menjerumuskanku ke dosa yang lebih besar. Aku fokus memperbaiki diri tanpa mengakui dosaku kepada Erik. Sungguh, aku terlalu takut akan kehilangannya.
Dua tahun sudah. Serapat mungkin aku memendam masa lalu, membuang getir rasa bersalah setiap kali memandang wajah polos Erik. Namun, momok itu kembali muncul di otak. Naraya mengirim pesan di Facebook–ku.
Aku telah menikah, Sally. Dengan wanita yang tak kucintai. Entah akan berapa lama aku akan menyakitinya dengan kepalsuanku. Hatiku masih ada padamu.
Sumpah! Pikiranku mendidih membacanya. Seringkali aku berdoa kepada Tuhan agar menghapus semua tentang Naraya. Mengapa? Mengapa ia harus hadir lagi membangkitkan pertanyaan-pertanyaan konyol di otakku? Mengapa aku tak bisa melupakannya walau kusadari aku sudah sangat mencintai suamiku? Mengapa pula Tuhan selalu membentangkan benang merah jika sudah pasti bukan cinta yang menguar di antara kami? Apa pula yang beradu dan kupilih salah satu dalam hatiku? Cinta, rindu, ataukah kebencian? Mungkin pulakah semua hanya pemuasan?
Aku berdiri dalam kebimbangan. Rasanya ingin kuremas ponsel dan kubuang, sebelum dering pesan mengagetkan lamunan.
Jangan coba menjauh. Kutahu kau masih memikirkanku.
Ah, persetan! Jariku akhirnya gatal untuk memberi balasan.
Dari mana kau tahu nomorku?
Erik.
Mana mungkin?!
Terserah kau percaya atau tidak. Aku hanya merindu.
Sejenak aku menghela napas. Aku menoleh kanan kiri, takut Erik terbangun dan memergokiku. Aku tak berbuat di luar kendali, hanya saja sedikit kebodohanku akan mampu menyulut emosi kecemburuannya.
Sudahlah. Kita sudah hidup sendiri-sendiri!
Kubalas untuk terakhir kali. Serta-merta kuhapus semua percakapan dengan Naraya. Kakiku gemetar, mata juga jelalatan mencari angka jam di ponsel. Aku berharap dia menyudahi perpesanan dan aku bisa kembali ke ranjang.
Tring!
Ijinkan aku memelukmu sekali saja.
Crazy! Aku mulai menyesal membalas pesannya sejak awal tadi.
Tak ada yang berarti. Semua palsu. Dan jangan pernah menggangguku lagi.
Bagaimana dengan kenangan kita?
Ya, ampun! Kenangan mana yang dia maksud? Amarahku mulai meninggi. Gerah semakin bertambah. Semakin aku memberinya celah, Naraya juga tak pantang menyerah. Aku paham siapa dia.
Kuhapus lagi jejak pesan. Kumatikan ponsel dan kubanting di sofa. Aku masuk kamar masih dengan perasaan waswas. Aku merebah di samping Erik. Suamiku begitu tampan dan … oh! Dalam temaram lampu kamar kutelisik wajahnya. Setengah mati dia mencoba menutup matanya yang sembap oleh air mata.
“Mas, apa kau menangis?”
Dia membuka mata, mencoba mengusap lelehan air mata di pipinya. Aku menahan tangannya, membuat tetesan lain yang tertahan malah ikut tumpah. Tatapan suamiku mencekat tenggorokanku.
Erik memegang ponsel dengan tangan kirinya. Kontan, aku mengambilnya. Penglihatanku menari-nari, menjelajahi aksara-aksara di layar gawai Erik. Mulutku menganga disertai tautan alis dan bulir hangat yang membuncah pelan dari peraduannya. Hatiku sakit! Kecewa!
“Kau tega, Mas!” Aku berbalik membelakanginya. Raut mukaku kini tertunduk—mungkin juga memerah. Malu, sempurnanya malu!
“Apa kau masih memikirkannya?” Erik menempelkan kepalanya di punggungku. Bisa kurasakan air matanya semakin deras dan panas.
“Untuk apa mengujiku sedemikian rupa? Tak cukupkah aku selalu di sisimu?”
“Hatimu … apa sedari dulu bukan milikku? Katakan! Apa yang tak kuketahui tentangmu dan Naraya?”
“Tak perlu kau tanyakan itu, Mas! Aku milikmu, selamanya milikmu! Kenapa harus kau uji aku seperti ini?”
Aku dan Erik terdiam setelah mengucap pertanyaan-pertanyaan yang tak menyambung satu sama lain. Erik meminta kepastian hati dan cintaku setelah mengujiku—menggunakan nama Naraya lewat pesan-pesan bualnya—tadi. Sementara aku mulai gugup sekaligus kecewa atas tindakan kekanakannya.
“Aku mecintaimu, Sally. Aku tak mau ada yang lain di hatimu.” Erik mengusap lembut pipiku, mencium kening pelan kemudian memeluk.
Tangis kami beradu. Hatiku menggigil tak keruan. Jangankan untuk menatapnya, merasakan sentuhannya saja perasaan bersalahku tak kunjung habis.
“Jangan mengujiku seperti itu, Mas. Aku tak suka,” ucapku lirih.
Erik kembali mengucapkan kata cinta. Untuk kesekian kalinya air mata menitik. Dalam genggaman tangannya, aku tahu … betapa ia mencintaiku. Itu yang menjadi satu-satunya alasan pertahananku akan gelitik dosa.
Dalam sandar kepada suamiku aku berdoa dalam hati, Tuhan, izinkan aku menebus dosaku padanya.
Malang, 16 Agustus 2020
DyahDiputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.