Hati yang Terluka

Hati yang Terluka

Hati yang Terluka

Oleh : Ina Agustin

 

Alifa lahir dan besar di rumah itu. Rumah yang awalnya memberikan kedamaian, kini bagaikan neraka baginya. Gelas dan piring melayang merupakan pemandangan sehari-hari. Aksi tampar-menampar pun sudah tidak asing lagi.

“Apa? Dua puluh ribu? Cukup apa duit segini?” protes Ratih.

“Memang segitulah uang yang kudapat hari ini. Mau diapakan lagi?!” Rahang Burhan terlihat mengeras.

“Kamu harus bekerja lebih giat lagi, dong! Anak kita banyak. Mana cukup duit segini!” Mata Ratih membelalak seperti seekor serigala yang hendak memangsa.

“Aku sudah berusaha keras! Memang segitulah yang kudapat hari ini!”

“Dasar, enggak becus cari duit!”

“Apa kamu bilang?!” teriak Burhan dengan napas memburu.

“Enggak becus cari duit!”

Plak!

Sebuah tamparan hebat mendarat di pipi kiri Ratih. Ratih tak mau kalah. Ia melihat sebuah piring, lalu dilemparkannya piring tersebut ke arah Burhan.

“Sudaah! Berhentilah bertengkar! Kasihan anak-anak,” seru Nenek Alifa.

Alifa dan saudaranya mengurung diri di kamar sambil menutup kedua telinga.

“Sabar ya Dek! Semoga Bapak dan Ibu segera berhenti bertengkar.” Alya menenangkan adiknya.

“Aku takut, Kak.” Alifa menangis tersedu-sedu.

Salah satu dari mereka pernah melerai pertengkaran orang tuanya, akan tetapi, Ratih selalu menganggap mereka hanya anak kecil yang tidak perlu ikut campur. Sejak saat itu tak ada lagi yang berani melerai, kecuali Nenek.

***

Burhan seorang wirausaha. Ia memiliki keahlian mereparasi alat elektronik seperti TV, kulkas, tape, dan lainnya. Lelaki berkaki jenjang itu membuka usaha sendiri berupa bengkel dengan nama “Gema Elektronik”. Sebuah bengkel elektronik yang terletak di pertigaan bunderan patung KB, Labuan-Pandeglang Banten. Hampir semua warga Labuan mengenalnya. Kepiawaian Burhan dalam ‘mengobati’ barang-barang elektronik, sudah tidak diragukan lagi.

Sepuluh tahun pertama, bengkelnya ramai pengunjung. Banyak orang membawa barang-barang elektronik mereka yang rusak untuk diperbaiki. Namun, seiring berjalannya waktu, muncullah beberapa tukang servis baru di sekitar Labuan. Sejak saat itu bengkel Burhan berangsur-angsur sepi, mengakibatkan pertengkaran antara dia dan istrinya. Pertengkaran yang memekakkan telinga, yang membuat anak-anak mereka ketakutan, terutama si bungsu Alifa.

“Tuhan, kapan peperangan ini berakhir?”

Cairan hangat mengalir dari kedua matanya. Gadis kecil berlesung pipi itu menghampiri neneknya.

“Nek, apa yang harus Alifa perbuat?” Alifa memeluknya.

“Sabar, ya, Sayang! Ada Nenek di sini.”

“Nenek jangan ninggalin Alifa, yah! Alifa sayang Nenek.”

“Nenek juga sayang kamu, Nak!” Nenek mengusap-usap rambut Alifa yang panjang.

Nenek Alifa berusia 78 tahun. Ia menderita penyakit diabetes. Terdapat luka di kaki kanan yang tak kunjung sembuh. Luka tersebut adalah luka bakar yang ia dapat saat masih gadis. Ia sering mengenakan kain panjang ketika di dalam rumah. Saat memasak air, ujung kain tersangkut kayu bakar yang sedang menyala. Butuh waktu lama membuka kain tersebut karena cara memakai kain itu dengan dililit-lilit menggunakan tali.

Akhirnya, kaki kanan nenek Alifa terbakar. Lebih tepatnya punggung kaki kanan hingga mata kaki. Kakinya dioperasi dengan cara mengambil daging dari bagian tubuh lain untuk ditempel menutupi lukanya tersebut. Luka tersebut berangsur-angsur membaik. Namun, selang beberapa tahun kemudian, luka itu kembali basah dan melebar.

Alifa selalu membantu Nenek mengambil obat-obatan. Ia juga suka membantu Nenek membersihkan luka bakarnya setiap kali hendak diolesi obat dan diperban. Ia membersihkan luka bakar itu walaupun terkadang  beberapa makhluk kecil menari-nari di permukaan lukanya. Yah, beberapa ekor ulam (belatung). Alifa mengambil makhluk-makhluk kecil itu dari permukaan luka Nenek tanpa rasa jijik sedikit pun.

Nenek adalah pahlawan bagi Alifa. Saat ini hanya Nenek yang bisa melerai pertengkaran kedua orang tuanya.

***

Malam ini peperangan kembali dimulai. Alifa dan semua kakaknya seperti biasa, mengurung diri di kamar. Mereka menutupi kedua telinga dengan bantal. Lagi-lagi Nenek menjadi pahlawan bagi semua cucunya. Nenek berusaha melerai mereka. Namun, saat Nenek keluar kamar, tiba-tiba sebuah benda yang terbuat dari kaca menghantam kepalanya. Perempuan yang rambutnya sudah memutih sempurna itu pun jatuh pingsan.

“Ibuuu! Maafkan aku, Bu. Aku tidak sengaja!” sesal Ratih sembari meraih tubuh ibunya.

Nenek segera dilarikan ke UGD terdekat. Mereka bergantian menunggui Nenek di rumah sakit. Alifa dan semua kakaknya pergi  sekolah seperti biasa. Sepulang sekolah barulah mereka ke rumah sakit untuk menunggui Nenek. Namun, ada kekhawatiran di hati mereka, karena sudah dua hari ini Nenek masih belum sadar, akhirnya Nenek dipindahkan ke ruang ICU.

*

Sepulang sekolah, Alifa mendapati rumahnya dipenuhi banyak orang.  Ada apa? Apa yang mereka lakukan?

“Sabar, ya, Alifa!” Bu Rina, tetangga Alifa mengusap pundaknya dengan raut wajah iba.

Alif melangkah menuju ruang tamu. Bapak, Ibu dan semua kakaknya menangis. Sesosok tubuh terbujur kaku terbungkus kain kafan. Hanya bagian wajahnya saja yang belum ditutup.

“Neneek!” Alifa mengguncang pundak jenazah neneknya, berharap sang nenek masih hidup. Cairan bening itu mengalir deras dari sudut matanya. Kini, pahlawan itu telah tiada. Pahlawan yang selalu membesarkan hati Alifa ketika kedua orang tuanya ‘berperang’. Alifa limbung. Badannya lemas, tangan dan kakinya gemetaran, jantungnya berdegup lemah. Keringat dingin bercucuran. Pandangannya gelap.

*

Alifa pikir setelah kematian Nenek, kedua orang tuanya berhenti bertengkar. Namun, ternyata mereka semakin menjadi-jadi. Peperangan tetap menghiasi rumah dari hari ke hari. Tak ada lagi yang bisa melerai pertengkaran mereka. Kakak-kakak Alifa pun hanya mampu diam. Mereka juga takut.

Saat malam tiba, adalah saat yang paling menakutkan bagi mereka karena peperangan kerap terjadi di malam hari.

“Dikit banget! Segini mana cukup!” Ratih melemparkan selembar uang kertas berwarna hijau.

“Hey, aku sudah berusaha, itulah yang kudapat!” bentak Burhan.

“Anak-anak belum bayar SPP, sepatu, dan tas mereka sudah rusak. Belum lagi untuk keperluan makan sehari-hari. Kamu jangan malas-malasan dong kerjanya! Kamu harus cari duit yang banyak!” bentak Ratih.

“Enak aja kamu bilang! Memangnya cari duit gampang apa? Kalau mau uang banyak, pergi TKW sana! Cari uang sendiri!” Wajah Burhan merah menyala, sorot matanya tajam.

“Apa kamu bilang?”

“Yah, pergi TKW sana! Aku sudah lelah bertengkar terus sama kamu gara-gara uang. Bukankah itu juga kemauan kamu? Kamu dulu hampir pergi TKW, tapi enggak jadi karena bertepatan dengan ayahmu meninggal. Sekarang kamu boleh pergi sana! Pergii!”

“Oke, siapa takut! Apa enaknya hidup sama suami miskin kayak kamu!” Ratih menunjuk-nunjuk wajah suaminya.

Deg!

Alifa dan kakak-kakaknya mendengar percakapan mereka di balik pintu kamar. Perih, sedih, cemas, kecewa bercampur jadi satu. Kakak-kakak Alifa hanya bisa pasrah. Alifa yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu, berharap semua hanya mimpi.

“Benarkah Ibu mau jadi TKW di luar negeri, Kak?” tanya Alifa pada Alya, kakak pertamanya.

“Semoga saja Ibu berubah pikiran. Sabar ya, Dek!” Alya mencoba menenangkan hati adiknya, walaupun dirinya sendiri merasa ragu.

***

Beberapa minggu kemudian. Sepulang sekolah, seperti biasa, Alifa salat zuhur dan makan siang. Gadis berkulit sawo matang itu melihat ibunya sedang beres-beres melipat baju dan dimasukkannya ke dalam tas besar.

“Ibu mau pergi ke mana? Kenapa bawa baju banyak banget?” Alifa penasaran.

“Ibu mau niginep di rumah teman beberapa hari. Kamu jaga diri baik-baik, ya!”

“Kenapa harus nginep?” tanya Alifa lagi.

“Sudah, jangan banyak tanya! Selesai makan, tidur siang sana!” bentak Ratih.

Alifa menuruti perintah ibunya. Dua jam kemudian, Alifa bangun. Namun, suasana rumah sepi. Ia tidak melihat kakak-kakaknya. Kenapa sepi sekali?

“Ibu! Kak Balqis! Kak Nisa! Kak Alya! Kak Tiara!” Lengang. Pada ke mana, yah? Kok mereka enggak ada di rumah?

Beberapa menit kemudian, datanglah semua kakak Alifa.

“Kakak semua habis dari mana? Oia, Ibu ke mana, Kak?”

“Alifa, yang sabar, ya!” Balqis mengusap pundak Alifa.

“Sabar kenapa, Kak?”

“Ibu kita sudah pergi ke tempat penampungan TKW. Ibu akan tinggal di tempat penampungan itu sekitar tiga bulan sebelum berangkat ke luar negeri,” jawab Nisa.

“Apa? Kenapa Kakak tidak mencegahnya?!” Alifa tergemap, seperti mendengar petir di siang hari yang terik.

“Maaf, Dek. Kakak semua sudah berusaha, tetapi tekad Ibu sudah bulat. Kami tidak bisa mencegahnya,” jelas Alya sembari mengusap embun dari kedua netranya.

“Tidaaak! Ibuuu! Jangan tinggalin Alifa!” Alifa menangis sejadi-jadinya.

 

Bionarasi

Ina Agustin, kelahiran tahun 1986 ini berdomisili di Kota Serang-Banten. Sebelumnya, sepuluh tahun sudah berprofesi sebagai guru. Sekarang, aktivitas sehari-hari sebagai IRT dan mengajar Tahsin Tahfiz di rumah, untuk anak usia SD. Ibu dari tiga anak laki-laki ini memiliki hobi membaca, menulis, dan membuat kudapan untuk keluarga. Motto Hidup : “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti! Fb : Ina Agustin; IG : inamujahidah1986; Email : inamujahidahhh@gmail.com

Editor: Respati

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

Leave a Reply