Air Mata Zahira (Episode 7)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
“Sini, Nak.” Zahira mengambil alih Samazha dari gendongan Aldean.
Semua orang menatap Zahira dengan heran. Namun, Zahira benar-benar tidak mau melangkah lebih jauh. Sudah cukup baginya untuk pertemuan hari ini. Zahira mulai mengerti dengan apa yang teman-temannya lakukan.
Entah mengapa, Samazha justru menangis ketika Aldean hendak mengalihkan gendongan pada Zahira. Ia terlihat sangat nyaman berada dalam dekapan Aldean. Sementara Zahira, ia menatap kedua bola mata Samazha dengan tatapan penuh haru.
Bagaimana tidak?
Bayi mungilnya terlihat sangat dekat dengan Aldean. Lelaki itu pun tampak sangat menyayangi Samazha.
“Ada apa, Ra?” tanya Figo tidak mengerti dengan apa yang Zahira lakukan.
“Kayaknya aku nggak bisa terlalu lama di sini. Nggak enak titip anak-anak sama Bibi.” Zahira berusaha tersenyum dengan ramah.
“Tapi, Ra. Kita—”
“Kita memang baru ketemu, tapi jika pertemuan ini salah, maka tidak perlu dilanjutkan!” seru Zahira menatap Tian, Figo dan Aldean secara bergantian.
“Ra, kita minta maaf karena semua terjadi dengan sangat mendadak. Tapi, Aldean benar-benar—”
Belum sempat Tian berbicara, Aldean segera mengalihkan gendongan Samazha kepada sang ibu. Lelaki itu membiarkan Samazha menangis dalam pelukan Zahira. Ia tersenyum dan mengecup singkat pucuk kepala Samazha dengan penuh rasa. Seketika, tangis Samazha terhenti.
“Pertemuan ini memang salah. Jadi, biarkan aku memperbaiki kesalahanku, Ra. Kalau kamu belum siap dengan pertemuan ini. Tolong beri waktu sebentar saja untuk aku berbicara.” Aldean benar-benar menatap Zahira dengan sangat lekat.
Hening seketika. Zahira sama sekali tidak memberi respons, justru dirinya berusaha mengatur napas. Kedua bila matanya memanas. ia sangat bingung dengan kejadian ini.
“Tetapi tidak sekarang. Salam untuk semua anakmu,” ujar Aldeean seraya berjalan meninggalkan.
Zahira memejamkan mata, ia merasa kecewa dengan diri sendiri. Mas Samudra baru saja meninggalkannya, tetapi kini Zahira bertemu dengan lelaki yang pernah singgah di hatinya. Meski lelaki itu—Aldean—sama sekali tidak lagi memiliki kesan khusus di matanya. Namun, lelaki itu tetaplah pernah membuat Zahira tersenyum.
Pergilah, Al. Hatiku masih dan akan selalu menjadi milik Mas Samudra, batin Zahira seraya mengecup Samazha.
Kini, setelah kepergian Aldean, keadaan menjadi lebih hening. Tian dan Figo merasa bingung untuk mencari topik pembicaraan. Mereka merasa bersalah atas rencana bodoh yang akhirnya justru membuat Zahira tersinggung.
Mereka hanya menunduk, semua terasa dingin seketika. Namun, Zahira menghela napas kasar. Ia berusaha untuk berpikiran baik terhadap kedua sahabatnya. Zahira tahu, Tian dan Figo hanya ingin melihat dirinya bahagia.
“Mau gini terus?” tanya Zahira memecah keheninggan.
“Itu, Ra … kita minta maaf atas—”
“Udah nggak perlu dibahas.” Zahira berkata cepat seraya memaksakan senyum.
“Kita nggak tau kalau—”
“Takdir berkata lain,” ujar Zahira dengan cepat. “Biarlah semua mengalir apa adanya. Luka kepergian Mas Samudra masih sangat menyakitkan. Cinta dan kasih sayang aku nggak akan pudar.”
“Kita salah, Ra … tapi, kita juga nggak mau denger kabar kalau kamu terus-terusan sedih.”
Zahira tersenyum. “Cukup kalian ada di sini, aku nggak akan sedih. Terima kasih, tapi aku bener-bener belum siap untuk … ah, jangan di bahas lagi.”
Tian dan Figo berusaha mencairkan suasana agar tidak lagi ada ketengangan di antara mereka hingga akhirnya perlahan semua kembali penuh dengan candaan.
***
Zahira memasuki pintu rumah yang didesain sangat unik. Perpaduan warna putih dan hitam membuat pintu tersebut terkesan sangat mempesona. Zahira ingat, Mas Samudra ada di sampingnya ketika ia pertama kali memasuki pintu rumah ini dulu.
Langkah kaki Zahira berjalan gontai sembari menggendong Samazha yang tengah terlelap. Ia meletakan Samazha dalam kamar si kecil, kemudian berjalan menuju ruang bermain.
“Yeay, Bunda pulang!” seru Zahara seraya berlari dan memeluk Zahira.
“Iya dong, Sayang. Ahla di sini baik-baik aja, kan? Nggak rewel dan selalu jaga dede bayi?”
Zahara mengangguk, wajah mungilnya terlihat sangat menggemaskan. “Iya, Bunda. Ahla ajak Dede main. Dia udah bisa manggil Ahla ‘Kakak’, Bunda. Ahla seneng banget.”
“Iya, Bunda! Ethan sampai ketawa, loh. Masa Ahla dipanggil Kakak. Dia, kan, masih kecil,” sahut Ethan menimpali.
Zahara memberikan tatapan sebal untuk Ethan karena sudah meledeknya. Namun, mau bagaimana pun, Zahara tetap selalu dianggap masih kecil oleh Ethan dan Kanth. Mereka selalu menjaga Zahara, seorang adik kecil yang menjadi tanggung jawab mereka setelah Mas Samudra pergi.
“Ya sudah, yuk makan. Bunda bawain makanan enak kesukaan kalian, loh. Kak Kanth, Kak Ethan, dan Kakak Ahla yang cantik ini pasti suka.”
“Asik! Bunda beli makanan kesukaan Alha.” Zahara mengecup kedua pupi bundanya dengan penuh cinta.
“Ya udah, yuk, kita makan sayang.” Zahira menggendong tubuh Zahara yang tiap hari kian membesar.
“Ayo!”
“Titip anak-anak sebentar lagi ya, Bi. Ini Hira bawa makanan buat bibi juga,” ujar Zahira dengan sangat ramah. Ia mengecup singkat satu-persatu bayi kecilnya.
Zahira berjalan menuju ruang makan dengan dipenuhi gelak tawa dari Kanth, Ethan, dan Zahara. Setidaknya, suasana hati Zahira terasa lebih baik.
“Nah, yuk kita makan,” ujar Zahira seraya memberikan satu persatu piring berisikan makanan yang sangat menggugah selera.
“Bunda abis jalan-jalan sama Om Tian dan Om Figo, ya?” tanya Zahara sembari menyuapkan makanan dengan perlahan.
“Iya, Sayang.”
“Makanannya enak, Bunda. Abis ini Ahla mau makan es krim.”
“Bunda belum beli es kirim, Sayang,” balas Zahira seraya tersenyum.
“Ahla punya es krim, kok. Tadi ada temen Bunda datang ke rumah. Dia bawain makanan banyak banget.”
Zahira terdiam seketika. Bayangan tentang Aldean kembali menghampiri. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah yang dimaksud putri kecilnya itu Aldean?
“Siapa, Nak?”
“Ahla lupa nanya nama, Bunda. Dia ke sini cuman ngasih makanan dan es krim.”
“Kanth tau!” Seruan Kanth membuat kedua bola mataku seketika menatapnya dengan sangat lekat.
“Siapa, Sayang? Kanth bilang sama Bunda, ya.”
“Om itu bilang akan selalu jagain kita. Namanya … Om Aldean.”
Zahira menghela napas kasar. Ternyata, dugaannya mengenai Aldean benar adanya. Lelaki itu ternyata tidaklah main-main. Bagaimana mungkin ia mengetahui tempat tinggal Zahira?
“Baik banget, kan, Bunda? Om Aldean juga bilang kalau dia mau ajak Ahla beli boneka. Ahla jadi kangen sama Ayah … biasanya, Ayah selalu temenin Ahla beli boneka.”
“Sayang—”
“Besok Om Aldean mau ke sini lagi … soalnya tadi dia belum ketemu dede bayi.”
“Iya, Sayang. Kalau Om Aldean ke rumah lagi, kasih tau Bunda, ya.”
Kanth, Ethan, dan Zahara mengangguk cepat. Mereka tidak lagi membahas Aldean. Hal tersebut membuat Zahira sedikit merasa lega.
Zahira bingung, cemas, dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kedatangan Aldean begitu mendadak dalam hidupnya. Selama ini, Zahira tidak pernah lagi bertemu dengan Aldean. Namun, mengapa semenjak lelaki yang ia cinta itu—Mas Samudra—pergi meninggalkannya, Aldean justru datang dan mendekat.
Baginya, tiada satu pun lelaki yang dapat menggantikan Mas Samudra dalam hati. Namun, mampukah Aldean untuk tetap bertahan dalam cinta yang tidak pernah hadir untuknya?
Hanya waktu yang akan menjawab. Semesta pasti mempunyai suatu rahasia besar yang nantinya akan membuat kehidupan Zahira berubah. Entah dirinya akan tetap dalam pendirian, atau mungkin rasanya akan goyah dan mulai menyimpan rasa untuk Aldean.
Meski sejatinya cinta yang Zahira miliki hanya untuk Mas Samudra, pun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok, tetapi untuk saat ini ia masih dan akan tetap mengunci hatinya. Tidaklah mudah menggoyahkan rasa yang sejak dulu hanya pantas dimiliki oleh seseorang yang sangat berharga.
“Bu Zahira … di luar ada perempuan yang ngomel-ngomel, dia maksa mau masuk rumah. Katanya mau ketemu Ibu.”
Zahira menatap Bibi dengan tatapan heran. Tidak biasanya ada tamu yang bersikap tidak sopan dan ingin memaksa untuk masuk ke dalam rumah, kecuali ia memang orang terdekat bagi Zahira.
“Iya, Bi. Saya ke depan sekarang.” Zahira segera meneguk segelas air, kemudian meletakan kembali gelas tersebut.
Zahira berjalan cepat menuju pintu utama. Ia mulai menerka, siapa perempuan tersebut? Bukankah Zahira tidak memiliki masalah dengan siapa pun? Apakah penagih hutang? Oh tidak! Zahira sama sekali tidak mempunyai hutang, begitu juga dengan Mas Samudra. Mereka selalu terbuka untuk masalah-masalah seperti ini.
Sesampainya di ruang tamu, suara perempuan itu terdengar lebih kencang diikuti dengan gedoran di pintu rumah.
“Zahira! Keluar kamu!”
Sebelum Zahira membuka pintu, ia mengintip ke lubang pintu terlebih dahulu. Terlihat jelas, perempuan cantik dengan rambut panjang yang sangat mempesona. Namun, Zahira sama sekali tidak mengenalnya. Segera ia membuka pintu tersebut seraya berusaha memaksakan senyum dan bersikap ramah pada perempuan itu.
“Oh, jadi kamu yang namanya Zahira?!”
Zahira mengangguk. “Iya, ada apa ya, Mbak?”
“Nggak usah sok lugu! Saya ada urusan sama kamu.”
“Urusan apa? Saya sama sekali tidak mengenal Mbak.”
Perempuan itu menatap Zahira dengan tatapan penuh dengan kebencian. Seolah Zahira memiliki kesalahan besar yang tidak akan pernah ia maafkan.
“Nggak usah sok manis!”
“Mari masuk, kita selesaikan baik-baik.” Zahira mempersilakan perempuan itu untuk masuk, agar semua bisa diselesaikan dengan baik.
Tanpa berucap, perempuan itu segera berjalan masuk mendahului langkah Zahira dan duduk dengan cepat. Terlihat dengan jelas, perempuan itu sangat tidak tahu etika bertamu. Entah apa maksud dan tujuannya, Zahira sama sekali tidak mengetahui.
“Sebentar, saya ambilkan min—”
“Nggak usah!” serunya dengan cepat. “Saya ke sini buat ngasih tau kamu! Aldean itu calon suami saya. Kamu nggak usah sok cantik di depan dia. Sejak suami kamu meninggal, saya tahu kalau Aldean selalu berusaha deketin kamu! Kita sama-sama perempuan, kamu jangan pernah merebut dia dari saya. Kami sudah hampir menikah!”
Oh tidak! Sekarang Zahira tahu siapa perempuan tersebut. Zahira tidak menyangka bahwa ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Aldean berusaha mendekatiku jika ia telah memiliki perempuan lain yang akan menjadi pendamping hidupnya?
Sebenarnya, siapa yang salah?
Namun, pikiran Zahira melayang ke masa lalu. Aldean tidak akan pernah menyukai perempuan yang menurutnya sangat tidak pantas. Sementara perempuan ini, sangat blak-blakan, tidak bisa mengontrol emosinya ketika bicara.
“Mohon maaf, Mbak. Saya tidak pernah mendekati—”
“Diam! Saya belum selesai berbicara,” sergah perempuan itu. “Kamu ini cuman seorang janda yang ditinggal mati oleh—”
“Jaga mulut kamu!” Kini, Zahira yang menyergah perkataan perempuan itu.
Zahira tidak terima dengan perkataan yang menurutnya tidak pantas untuk diucapkan. Status yang dimiliki oleh Zahira kini memanglah seorang janda. Namun, pantaskah perempuan itu berkata hal yang sangat menyakiti perasaannya?
“Loh, bukannya kamu memang seorang janda yang baru ditinggal mati, ya? Saya sudah tahu banyak hal tentang kamu ketika Aldean mulai mendekati kamu! Saya tidak akan tinggal diam. Satu langkah lagi saya akan memiliki Aldean dengan seutuhnya, tetapi karna suami kamu itu mati, dunia saya bersama Aldean mulai terasa hampa.”
“Jangan pernah bawa-bawa suami saya! Ini semua takdir yang sudah ditentukan oleh-Nya.”
“Kalau begitu, kamu juga harus bisa menerima takdir kalau memang kamu seorang janda yang ditinggal mati. Akui saja, nggak perlu godain calon suami orang kalau kamu masih punya harga diri.”
Zahira meremas ujung baju dengan sangat kencang. Ia berusaha sabar untuk manusia tidak beradab yang ada dihadapannya.
“Kasihan ya, kamu. Udah janda, punya anak banyak pula. Gimana kalau anak kamu nanti nanya siapa bapaknya. Mau jawab apa kamu? Jangan sampai kamu bilang kamu Ayah mereka itu calon suami saya! Jangan pernah berharap untuk memiliki Aldean.”
“Tenang saja, Mbak. Saya tidak akan merebut kebahagiaan kamu. Tidak pernah terbesit sedikit pun di hati saya untuk berusaha menjadi milik Aldean. Ambil saja!”
“Memang seharusnya begitu. Kamu boleh goda lelaki lain, tetapi tidak untuk Aldean! Dia milikku! Seorang janda lebih pantas menikah dengan duda yang memiliki masa lalu sama.”
Sial!
Perempuan yang ada di hadapannya ini benar-benar membuat Zahira merasa emosi, terutama atas perkataannya yang selalu membawa status. Zahira merasa kesal, mengapa semua terjadi begitu saja. Seharusnya, pertemuannya dengan Aldean tidak pernah terjadi. Namun, takdir berkata lain. Zahira tahu, setelah ini pasti masalah akan mulai bermunculan. Terutama, jika Aldean tetap bersikeras untuk memilikinya.
“Nama saya Nicfara. Berhati-hatilah jika kamu masih tetap dekat dengan Aldean! Saya tidak segan-segan untuk membuat suatu hal yang tidak masuk akal dalam kehidupanmu.”
Perempuan tidak beradab yang bernama Nicfara itu pergi meninggalkan Zahira dengan melemparkan sebuah kertas yang bertuliskan “Aku mengetahui di mana ketiga anakmu bersekolah”.
“Ah, masalah!” Zahira melemparkan kertas tersebut dengan asal. (*)
Bersambung ….
Selanjutnya (Episode 8)
Zalfa Jaudah Jahro, tinggal di Karawang. Lahir pada 03 Oktober 2003. Ia sangat menyukai awan, mendung, dan angka 3.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata