Indonesia Telah Lama Merdeka, Bagaimana dengan Perempuannya?
Penulis: Medina Alexandria
Kampung saya tengah bersolek, bendera-bendera dikibarkan, umbul-umbul ditegakkan, gapura-gapura baru dibangun di setiap pintu masuk gang, batu-batu juga pohon-pohon di tepi jalan tak luput juga dari perhatian. Semua semarak dalam nuansa merah dan putih.
Belum lagi ketika langit menggelap dan lampu-lampu hias dinyalakan, cahaya kelap-kelip berpendar dari setiap teras rumah, lalu merambati batang-batang bambu yang dipancang di luar pagar. Tak kalah semarak, setiap kantor, setiap instansi, perusahaan-perusahaan tampak ceria dengan pernak-pernik perayaan kemerdekaan. Semua begitu meriah dan antusias menyambut bulan kebebasan Indonesia dari penjajahan bangsa-bangsa barat puluhan tahun silam.
Namun, di sudut kampung, di balik semua kemeriahan, di belakang lampu-lampu yang dibiarkan berkedip-kedip manja sepanjang malam, di dalam sebuah kamar yang gelap, seorang perempuan terbaring, bergelung memeluk tubuhnya sendiri. Seandainya Anda melihat, mungkin Anda akan bertanya-tanya? Mengapa dia tidur sendiri? Di mana suaminya?
Suaminya tentu ada, tetapi bukan di sampingnya. Malam ini sang suami berbaring di sisi wanita lain. Entah yang kedua atau yang ketiga. Dan tentu saja, perempuan itu mengetahuinya, tetapi tak mampu berbuat apa-apa.
Suatu ketika seseorang bertanya padanya, kenapa dia diam saja menyaksikan kelakuan sang suami. Dan dengan pasrah dia menjawab, ”Biarlah, yang penting saya dinafkahi.”
Kata-kata dinafkahi itu menurut saya merujuk pada pengertian fisik, dicukupi keperluan lahirnya (sandang, pangan, papan). Akan tetapi bagaimana dengan kebutuhan batinnya? Harapannya untuk disayangi dan dimengerti?
Dia sungguh tidak berdaya.
Walaupun di zaman ini wanita bekerja merupakan kelaziman, tetapi budaya patriarki yang telah lama mengalir dalam darah bangsa Indonesia, masih menganggap bahwa beban mencari nafkah sebenarnya adalah tanggung jawab kaum lelaki. Itulah mengapa setelah menikah, sebagian perempuan memilih untuk tidak bekerja, mereka meletakkan prioritas merawat keluarga secara penuh sehingga terkadang rela melepas pekerjaan yang ditekuni sebelumnya.
Label tidak bekerja inilah yang kadang menjadikan seorang perempuan kurang dihargai jasa-jasanya. Saya pernah mendengar seorang suami berkata dengan pongah, “Aku ini berjuang sendiri, istriku cuma di rumah, nggak kerja.”
Lihat, betapa seorang suami memandang remeh peran istrinya, dan merasa bahwa dialah pahlawan tunggal dalam keluarga. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa pekerjaan domestik rumah tangga tak kalah berat, bahkan menurut saya lebih berat dari pekerjaannya sebagai pencari nafkah. Seandainya tanggung jawab merawat tiga anak lelakinya yang masih kecil-kecil di limpahkan padanya, saya yakin, dalam waktu tak lama dia akan sakit kepala dibuatnya.
Dua kejadian di atas terjadi di sekitar saya, dan saya yakin di luar sana banyak kasus serupa.
Beberapa waktu lalu, media sosial sempat dihebohkan oleh kisah yang diunggah seorang perempuan yang menceritakan kehancuran biduk rumah tangganya. Petaka itu berawal dari pernikahan rahasia sang suami dan berujung pada perceraian. Dan tak selesai sampai di situ, si mantan suami dengan sengaja, demi memberi pelajaran, tega menelantarkan buah hati mereka, tidak menunaikan kewajiban untuk menafkahi anak-anak, sehingga perempuan itu pontang-panting berjuang untuk menghidupi putra-putranya.
Di Indonesia, banyak wanita diposisikan sebagai masyarakat kelas dua, banyak istri diremehkan perannya dan dizalimi hak-haknya.
Jadi, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka? Mungkin sudah, tetapi tidak dengan para perempuannya.
Medina Alexandria
Bidan yang suka menulis.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: Pinterest.com