Rindra

Rindra

Rindra

Oleh    : Ning Kurniati

Kami pertama kali bertemu ketika dia sedang melintas di depan rumahku. Kutebak, dia menuju ke rumah yang ada di sebelah rumahku—rumah Nenek Wang yang dibatasi oleh kebun kakao sejarak selemparan batu. Kemarin, Nenek Wang mengatakan bahwa dia akan kedatangan cucu seumuran denganku.

Kulitnya putih dan dia memiliki mata yang besar seperti mata sapi. Akan tetapi, perilakunya seperti anjing. Ketika dia sudah cukup lama berada di rumah Nenek Wang dan kuperhatikan dia bermain sendiri, aku mendatanginya, dan ketika dia menyadari aku berdiri di belakangnya, dia membelalakkan matanya, berkata banyak dan cepat-cepat. Seketika itu pula, aku langsung pulang ke rumahku. Tidak menoleh sekali pun meski Nenek Wang dan mungkin ibunya—sebab suara perempuan dewasa—memanggilku untuk kembali.

Aku tidak mungkin kembali. Mana mungkin aku bisa bermain dengannya. Seorang anak yang bahasanya aneh dan … orangnya juga aneh. Mana ada anak laki-laki berkulit seterang dan semulus itu, dia lebih mirip boneka. Dan yang mirip boneka harusnya anak perempuan, karena anak perempuanlah yang sering bermain boneka. Ketika keduanya mirip itu justru bagus.

Aku sedang mengumpulkan daun kakao muda ketika dia mendatangiku di rumah-rumah yang dibuatkan ayahku dari papan dan tiang rumah yang dipotong menjadi empat.  Sebenarnya, tidak mirip rumah, lebih mirip ranjang untuk anak kecil, tetapi aku lebih senang menyebutnya begitu karena aku suka bermain masak-masakkan. Dia tidak mengucapkan apa pun, hanya berdiri melihatiku melakukan apa yang kusukai. Dia terus begitu, cukup lama sampai mamaku mungkin melihat kami dari atas rumah. Mama berteriak memarahiku, kenapa aku tidak mengajaknya bermain.

Ketika aku menoleh kepadanya, mendadak dia tersenyum, dan mulutnya yang tidak ada gigi kelihatan seperti Nenek Wang. Aku cekikikan dan dia juga ikut cekikikan.

“Apa kamu tidak tahu kalau yang kuketawai itu kamu?”

Dia menggeleng dan tersenyum.

“Namamu siapa?” tanyaku.

“Rindra.”

“Oh, kalau aku Nini.”

“Kamu mau menjadi temanku?”

Rindra mengangguk.

“Kenapa kamu tidak bicara, padahal tadi kamu punya banyak kata-kata yang aneh.”

“Macak-macak,” ucapnya dan aku cekikikan lagi.

“Kamu belum bisa bicara.”

“Dak, aku bica bicala.” Aku cekikikan lama sekali dan ketika aku berhenti, Rindra tiba-tiba beranjak, lari ke rumah Nenek Wang. Loh, apa salahku.

***

Aku selalu tidur siang dan ketika bangun dari tidur siang, Mama selalu sudah menyiapakan teh dan makanan apa saja, kadang pisang goreng, ubi goreng, kali lain labu kuning yang diberi taburan garam dan kelapa parut dan masih banyak lagi. Namun, hari ini semua makanan yang sering disiapkan Mama, satu pun tidak ada, penggatinya roti yang berkotak-kotak dan di tengahnya berisi selai cokelat yang enak sekali.

“Kamu sudah bangun,” ucap Mama sambil menarik kursi di sampingku dan dia ikut duduk.

“Ya.”

“Kamu suka rotinya?”

“Hmm, enak sekali.”

“Tapi kamu tidak mau mengajak bermain yang punya roti itu.”

“Jadi, ini bukan punya kita. Aku mencuri?”

“Tidak, sekarang itu sudah punya kita. Rindra dan mamanya yang kasih itu.”

“Rindra tidak bisa diajak main, Ma.”

“Loh, kenapa? Kamu tidak boleh begitu.”

“Dia tidak bisa bicara. Kalau bicara, bicaranya aneh.”

“Bicaranya belum sempurna seperti kamu.”

“Loh, kenapa begitu? Dia sudah besar.”

“Mama juga tidak tahu. Habis makan, kamu ke sana, ajak dia main.”

“Tidak mau.”

“Eeh?”

“Iya,” ucapku dengan enggan.

***

Rindra, panggilku beberapa kali dari bawah rumah Nenek Wang. Tak lama kemudian, dia muncul sambil membawa sapu ijuk punya neneknya di tangan kanannya. Matanya yang selebar mata sapi itu membelalak lagi, ketika dia semakin mendekat aku baru yakin kalau dia sedang marah. Apa dia marah kepadaku, memangnya salahku apa?

Aku kira dia akan memukulku memakai sapu ijuk, tetapi ternyata sapu itu dipalangkan di antara tiang rumah tempat tangga berada. Melihatnya bertingkah begitu, aku tahu dia tidak mengizinkanku ke rumah nenek Wang.

“Aku mau naik,” kataku.

Dia tidak menjawab, tetapi memelototiku, tajam dan mulutnya menjadi maju.

“Ini bukan rumahmu. Kamu tidak boleh melarangkanku.”

“Ini lumahku, lumah nenekku.”

“Kau akan jadi ayam! Mulutmu itu akan panjang dan nanti mematuk-matuk biji-biji di tanah.”

Rindra berbalik, memanggil mamanya dan kudengar dia menangis. Akan tetapi, aku sudah pulang, jadi mamanya tidak bisa memarahiku kalau memang dia mau memarahiku.

***

Keesokan paginya ketika aku baru minum seteguk teh, Mama mengajakku ke rumah Nenek Wang. Aku tidak mau dan mengatakannya ke Mama dengan menggeleng. Aku takut kalau-kalau mamanya atau ayahnya Rindra memarahiku, karena aku sudah membuat si anak cengeng dan aneh itu menangis. Bagaimana kalau mereka mencubitku sama seperti ketika Mama memarahiku. Aku tidak mau, rasanya sakit dan agak pedis.

“Kamu sudah bikin dia nangis, kamu harus minta maaf.”

Aku menggeleng.

“Kalau salah harus minta maaf, dia sudah mau pulang hari ini. Kalau mau jadi anak baik, baiknya kamu kasih kerupuk, sebagai oleh-oleh.” Mama menunjuk kerupuk dalam bungkusan plastik bening. Pinggiran plastik itu sudah rekat, sudah tidak bisa dibuka lagi. Padahal aku mau menumpahkannya kembali ke dalam stoples.

“Tapi, itu kan punyaku.”

“Iya, ini punyamu. Kemarin roti yang kamu makan itu punya Rindra dan kamu memakannya, habis.”

Aku melihati Mama dan mengambil bungkusan kerupuk. Mama berjalan di depan dan aku di belakangnya, kami ke rumah Nenek Wang.

Rindra sudah siap pergi. Pakaiannya rapi dan di kepalanya ada topi bergambar sapi. Dia melihatku dan aku langsung mendekat, mengangsurkan bungkusan kerupuk kepadanya.

“Rasanya agak asing, tetapi enak, kok,” kataku. Segera dia menyambarnya dari tanganku dan melepaskan topi bergambar sapi dari kepalanya. Topi itu dia berikan kepadaku.

“Kamu anak baik,” teriakku saat Rindra dan orang tuanya akan menghilang di balik tikungan jalan setapak.

(*)

11 Agustus 2020

Ning Kurniati, penulis pemula.

Leave a Reply