Bapak dan Sayatan Luka

Bapak dan Sayatan Luka

Oleh : Lutfi Rosidah

Bapak bagaimana caraku memaafkanmu, jika luka yang kau torehkan tak pernah bisa mengering?

***

Tubuh ringkih itu terbujur tak berdaya di atas dipan kamar yang lapuk. Dia, lelaki yang selama ini kupanggil Bapak sedang berjuang melawan penyakit yang entah tak kutahu namanya. Kami—aku dan ke tujuh saudaraku–dikumpulkan oleh tetua adat kampungku. Dia meminta kami mengihklaskannya, memaafkan segala salahnya, sehingga mudah perjalanannya menjemput maut.

“Ningsih, maafkan Bapakmu, Nduk,” bujuk Paklek Likin—adek bungsu Bapak.

Aku melengos, beranjak meninggalkan ruang tengah yang hanya diisi sebuah tikar pandan lusuh, tempat kami berkumpul saat ini. Rumah ini memang tak memiliki barang berharga. Sejak sepeninggal Ibu, kami tak lagi mau datang kemari. Sesekali saja, salah satu saudara lelakiku datang memberi uang Bapak sekadarnya. Bukan, bukan karena kami bukan anak yang tak berbakti. Tapi semua karena ulah Bapak sendiri.

Kang Parno menahan langkahku. Dia memegang tangan kananku, mengisyaratkan dengan matanya agar aku tetap di tempat. Sebutir air mata luruh di pipiku, buru-buru aku mengusapnya. Tak pantas jika aku menangisi kondisi Bapak. Biarkan dia seperti itu, sudah selayaknya dia mendapat ganjaran atas dosa-dosanya.

“Ning …,” Paklek melunakkan suaranya. “Cobalah untuk memaafkan, sekali ini saja. Setiap orang punya dosa. Mosok kamu gak bisa memberi sedikit iba pada bapakmu?”

Aku kembali duduk, menatap Mbak Rahayu yang dari tadi hanya diam dan menangis. Dia kakak sulungku. Aku bungsu dari 8 bersaudara. Tiga orang dari kami adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Apakah Mbak Rahayu telah memaafkannya?

“Kalau saja sakit hatiku bisa disembuhkan, Paklik. Kalau saja luka yang dibuat Bapak itu bisa diobati oleh dokter, tentu sudah lama aku memaafkannya. Tapi sakitnya masih terasa sampai hari ini, masih perih,” Aku menjatuhkan kepalaku ke pelukan Mbak Rahayu.

Kami menangis bersama bukan karena khawatir akan kondisi Bapak, kami sedang menangisi nasib kami—anak perempuan Bapak.

Bapak bukan pemabuk, bukan pula penjudi seperti sosok suami jahanan di sinetron-sinetron di televisi. Bukan! Dia rajin bekerja dan selalu memberi lebih pada Ibu untuk kebutuhan kami. Namun, kejahatan yang dia lakukan lebih jahnam dari segala yang dilakukan lelaki lain. Dia itu buta mata dan batinnya.

Aku tak tahu apa isi kepala Bapak siang itu. Aku hanya gadis usia 13 tahun yang teteknya saja belum terbentuk sempurna. Baru bulan kemarin aku mendapat haid pertamaku. Masih kuingat bagaimana Mbak Retno—kakak yang persis di atasku– mengajariku cara memakai pembalut wanita. Waktu itu dia merekatkan pembalut di bagian dalam celana dalamku sambil berbicara, “Sekarang kamu wes besar, Ning. Sudah remaja. Jangan lagi pakai celana sepantatmu itu. Bahaya. Pakai pakaian yang sopan! Dan ingat jangan diam sendiri di kamar kalau rumah sedang sepi. Lebih baik kamu main di luar saja.” Aku hanya mendengarkan ucapannya tanpa paham apa yang dia maksudkan.

“Kenapa se, Mbak?”

“Gak papa. Hanya gak ingin kamu mengalami nasib sepertiku. Sakit rasanya, Ning, sedih, tapi gak tahu mau mengadu pada siapa.” Dia membenahi posisi celanaku. Mengusap kepalaku dan memintaku berjanji menuruti semua pesannya sebelum keluar dari kamar kami.

Rumahku memang sering sepi, meski saudaraku banyak. Ketiga kakak lelakiku pergi merantau seusai tamat smp, sekarang tinggal seorang saudara lelaki yang masih sekolah. Mbak Rahayu ikut suaminya, sedang Ibu selalu pergi pagi, pulang sore, menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah.

Hari ini aku ada janji main boneka dengan temanku di pos ronda di ujung jalan. Kucari boneka yang seingatku kutaruh di laci meja sebelah kasur. Sudah kubuka semua laci, namun tak kudapatkan yang kucari. Kulirik jam di dinding kamar, masih jam 8 pagi, masih pagi, pikirku. Aku melanjutkan membuka lemari dan terus mencarinya. Sejenak aktifitasku terhenti, aku mendengar suara batuk Bapak di luar, aku bernapas lega. Kukira tak apa aku melanjutkan pencarian, toh! Ada Bapak di luar. Jadi aku tak sendirian.

“Kamu cari apa, Ning?” suara berat bapak tetiba sudah di belakangku.

“Boneka, Pak. Aku mau main di pos depan.

“Sini Bapak bantu.” Bapak mengangkat tubuhku di pangkuannya. Aku menurut saja. Dia mulai menciumiku dengan gemas, itu hal biasa. Aku anak bungsunya. Aku menurut saja dan membalas pelukannya.

Naas! Semua tak seperti yang kukira. Bapak mulai kasar membuka kancing bajuku. Membekap mulutku dan …. Aku tak mampu menceritakan apa yang dia lakukan. Dia bapakku, dia orang yang seharusnya menjagaku.

Pangkal pahaku terasa perih, ada bercak darah menempel di seprai dan rok yang kupakai. Tubuhku lemas tak berdaya. Bapak memandangku sekilas, membentulkan celananya lalu memerintahkanku segera membersihkan diri. Aku tak tahu apa yang sudah terjadi, hanya saja pesannya aku harus diam, atau Ibu akan mengusirku dari rumah. Aku mengerti dan menuruti.

Hari berikutnya badanku demam tinggi. Ibu hanya membelikan obat penurun panas tanpa mengunjungi layanan kesehatan. Ibu bilang dia sedang tak punya uang. Tetiba Mbak Retno masuk dan memelukku. “Kamu sudah diapakan Bapak, Ning?” Aku hanya menggeleng kuat-kuat. Aku takut jika harus diusir dari rumah ini. “Rasanya masih sakit?” Aku mengangguk dan bangkit memeluk Mbak Retno. Aku takut sekali.

Dia melepas pelukannya, menyentuh daguku dan berpesan, “Lebih hati-hatilah setelah ini! Jangan sampai terulang lagi!”

***

“Ning.” Paklik kembali memanggil namaku. Aku menarik napas kesal.

“Maafkan aku Paklik.”

“Kamu gak perlu meminta maaf, Nduk. Hanya cobalah memberi maaf. Lihatlah kondisi bapakmu. Kamu tega dia seperti itu?”

Aku menoleh pada Mbak Retno dan Mbak Rahayu, mereka menganggukan kepala hampir bersamaan. Benarkah mereka telah memaafkan Bapak? Apakah luka mereka sudah mengering dan mengelupas? Apakah memang luka mereka tak separah yang kudapat? Atau justru sebenarnya mereka tak pernah seluka diriku.

Kembali aku menatap tubuh kurus yang tergeletak di dalam kamar. Nafasnya makin tersengal. Tangannya mengagapi-gapai sesuatu yang tak kasat mata. Kang Pardi—kakak keduaku—berdiri mengambil air dan menyendoki ke mulutnya. Dia mengerang kesakitan.

Aku megalihkan pandangan pada tikar lusuh yang penuh debu yang kami duduki. Aku memandangi satu per satu orang-orang yang seakan menungguku memberi jawaban. Aku seperti berada di sebuah arena penjurian, di mana aku adalah juru kunci penentu siapa yang jadi pemenang. Sejenak kuputar ulang kenangan, mencari sisi baiknya yang sekira bisa membalut lukaku. Namun, semua masih sama. Perih itu masih nyata terasa. Goresan yang membekas dan telah memberiku banyak penolakan. Aku telah dihancurkannya dan haruskah aku memaafkannya?

Mbak Rahayu mendekatiku, merah tanganku dan menggenggamnya. “Ning? Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi demi kebaikan semua, biarkan dia lekas kembali pada Pemiliknya.”

Aku tetap dalam diamku yang berlinang air mata. Kupaksa tubuhku beranjak masuk ke dalam kamar. Kang Pardi menggeser pantatnya, memberi sedikit ruang padaku agar bisa mendekati Bapak. Matanya menatapku sayu. Bibirnya membuka dan mengatup seperti hendak berbicara sesuatu. Aku menggeleng kuat padanya.

Dia menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia hendak bicara, namun hanya lolongan lemah yang keluar dari mulutnya. Tangannya menggapai-gapai tanganku, aku menghindar. Tak sudi aku dia sentuh lagi.

“Bapak bagaimana caraku memaafkanmu, jika luka yang kau torehkan tak pernah bisa mengering?” ucapku sesaat sebelum dia menutup matanya untuk selamanya.(*)

Lutfi Rosidah, perempuan yang banyak belajar dari kehidupan.

Leave a Reply