Pangeran Ikan (Part 2)

Pangeran Ikan (Part 2)

Pangeran Ikan (Part 2)

Oleh : Fitri Fatimah

 

Coba kita ingat-ingat bagaimana rekam jejak memasakku.

Aku pernah masak bakwan, lalu warnanya jadi cokelat meradang. Usut punya usut rupanya karena takaran gulanya kumasukkan terlalu banyak. Aku juga pernah masak bubur kacang ijo, tapi waktu bubur itu sudah di mulut, kacang ijonya masih keletus-keletus terasa keras, rupanya karena aku kurang lama memasaknya. Itu sebabnya kalau sedang membantu hajatan di tetangga kanan-kiri, biasanya aku ambil bagian mengupas bawang saja, atau mengulek, atau dan lain-lain yang intinya tak membutuhkan keahlian memasak. Tak mau aku menunjukkan kekuranganku di muka umum, tak mau juga aku bikin kacau hajatan orang.

Tapi sekarang, melihat bagaimana orang ini—ya, sebut saja begitu: orang—makan hasil masakanku, rasanya seakan kemampuan memasakku sangat mumpuni dan aku perlu ikut kompetisi MasterChef.

Ian, sang pangeran ikan itu, tampak lahap menyendok suap demi suap nasi putih dengan lauk oseng-oseng dan kerupuk. Tadi aku sempat bingung mau masak apa, jelas aku tidak bisa memasak ikan bandeng lagi, mana mungkin aku meminta Ian untuk berubah wujud kembali jadi ikan supaya bisa kugoreng, yang ada malah nanti aku yang crispy. Jadi aku membuka kulkas dan melihat apa yang ada di sana: terong, sayur-mayur, tahu … um, tahu buat besok saja. Aku memutuskan membuat oseng terong.

Apakah hasil masakanku tiba-tiba jadi enak gara-gara kehadiran seorang pangeran dari laut? Aku tidak yakin. Sepertinya aku menabur garam terlalu banyak. Karena awalnya waktu kuicip rasanya masih hambar, jadi kuambil sejumput garam lagi, sejumput lagi, sejumput lagi, hingga aku menyesal. Aku tak berani mengicip untuk yang kedua kalinya karena taruhan demi apa, rasanya pasti pahit.

Namun, melihat bagaimana Ian makan sekarang, sepertinya langkahku sudah benar. Ikan kan hidup di laut yang penuh zat yodium, pasti Ian juga sama dengan spesies ikan lainnya, suka yang asin-asin.

Padahal awalnya aku sempat bingung mau memberi makan apa. Apa aku harus membeli pelet ikan, atau aku harus ke halaman belakang rumah lalu mengorek tanah yang gembur untuk mencari cacing. Bukankah ikan suka diumpan pakai cacing? Begitu kata Bolang.

Aku masih asyik memperhatikan sang pangeran ikan makan. Lalu ….

Serdawa yang keras dan menggetarkan adalah pemandangan yang tersaji di depanku kemudian.

Ih, menjijikkan.

Tapi dia hanya mengambil serbet dengan santai, menotol-notol bibirnya dengan gaya anggun bak seseorang dari kalangan kerajaan—dan memang iya—kemudian bersandar pada sandaran kursi, menumpukan satu kaki di atas kaki satunya, kedua tangan bersedekap di depan dada.

“Antarkan aku ke laut,” ucapnya, masih dengan permintaan yang sama.

Kali ini aku tidak lagi bingung bagaimana cara menolaknya, karena aku sudah memikirkannya sejak tadi.

“Aku tidak bisa, aku ada shift pagi ini.”

“Si-sif?”

Oh, rupanya pangeran ikan tidak tahu bahasa Inggris!

“Kau menertawakanku?”

Aku langsung mingkem. Dasar, sudah tahu pangeran di depanmu harga dirinya tinggi nian, masih kamu tertawakan.

“Tidak … tidak … maksudku, um, kamu tadi nanya soal shift, kan? Itu maksudnya bagian jam kerjaku. Senin, Selasa, Rabu, aku dapat shift pagi, artinya aku kerja dari pukul 8 sampai sore. Kamis, Jumat, Sabtu, aku shift malam, berarti aku kerja dari sore sampai pukul 10 malam. Minggu aku libur,” jelasku, komplet. Oh, kurang komplet masih, aku belum menyebutkan kerjaanku apa.

“Hari ini hari apa?”

“Rabu,” jawabku langsung. Ah, itu mah pertanyaan gampang.

“Kalau begitu besok hari Kamis, kamu kerja malam, berarti bisa mengantarku ke laut pagi-pagi.”

“Tidak bisa!” sentakku seketika. Kali ini bersyukur aku tidak keceplosan menyuarakan isi hatiku. Karena alih-alih tidak bisa, aku lebih ke … “tidak mau”. Aku tidak mau pergi ke laut.

Lagian astaga, rupanya dia menyimak benar-benar penjelasanku sampai aku bisa terkecoh. Jelas saja, dia kan pangeran, level otak seorang pangeran pasti di atas rata-rata.

“Kenapa tidak bisa? Kau sengaja, ya, mau menjebakku di daratan?!” semburnya dengan nada naik satu oktaf.

Meskipun dia berbadan besar dan berotot, tapi dia tidak mungkin memukul wanita, kan? Aku seketika mengerut di tempat dudukku.

“E … begini, laut terdekat dari desa ini butuh sekitar 12 jam perjalanan pakai gonta-ganti angkot, letaknya jauh. Sangat jauh. Lagian aku tidak mungkin bolos kerja untuk mengantarmu ….”

“Kenapa tidak mungkin bolos? Kau takut dipecat—“

Oh, rupanya dia tahu soal istilah “pecat”.

“—tenang saja, kalau kau berhasil mengantarkanku ke laut, aku akan memberimu banyak imbalan mutiara,” lanjutnya.

Memangnya wujud aslinya duyung? Dan ngomong-ngomong soal mutiara, kalau dijual ke toko emas, per bijinya berapa? Apa itu bisa buat merenovasi rumah bobrok ini? Oh, Ani, fokus, jangan mudah terbuai.

“Bukan masalah itu. Ini juga soal integritas. Aku tidak mau dicap karyawan yang kurang bertanggung jawab kalau cuti-cuti.”

“Bahkan meski cuma sehari?”

“….”

Aku harus jawab apa? Aku harus cari alasan apa lagi?

Tepat ketika kukira aku bakal disengat—entah apa bandeng juga memiliki sengat seperti pari—tiba-tiba pintu depan dibuka tanpa permisi. Seseorang itu, satu-satunya orang yang kutahu akan nyelonong seenaknya ke rumahku, mendorong pintu dengan kasar, sampai daun pintunya pasti membentur rak sepatu dan menciptakan beberapa bunyi debam ribut. Sebelum sosoknya muncul ke dapur, suaranya lebih dulu terdengar.

“Aaan! Kamu punya bawang putih, tidaaak?!”

Itu Tante Nunik, orang yang “merawatku” sejak kecil, sejak kematian ayah-ibuku dalam sebuah kecelakaan.

Dan seperti yang sudah bisa ditebak, ketika Tante Nunik sudah sampai di ambang dapur, dia menunjukkan ekspresi kaget, tercengang, terperangah, terpana, terpesona, ketika melihat sosok Ian.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh ….

Butuh waktu sepuluh detik sampai mulut Tante Nunik yang menganga kembali terkatup, kemudian dia menelan ludah dengan susah payah, lalu bertanya, “Siapa … tamumu ini, An?”

Aku menatap bolak-balik antara Tante Nunik dan laki-laki yang … ngomong-ngomong masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung. Duh, pantas saja Tante Nunik langsung cengo begitu.

“Siapa, An?” kejar Tante Nunik, dengan mata yang mulai menyala binarnya. Perasaanku mulai tak enak.

“Namanya Ian, Tante.”

“Ian siapa?” tanyanya lagi, tak menatapku, tapi menatap si laki-laki.

Entah kenapa aku punya perasaan kuat yang ditanyakannya ini bukan soal nama panjang. Tapi “Ian siapa” adalah soal statusnya. Siapa Ian tampan ini, siapa Ian bertubuh bak dewa ini, dan berbagai pertanyaan ganjen lainnya.

Mungkin mendapati aku yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Tante Nunik menghentikan tatapan laparnya dari Ian, kemudian beralih menatapku. “Ini Ian siapa, sih, An? Kok ganteng banget. Kok Tante baru pertama liat. Dia siapamu, An?”

Deg!

Aku kembali menatap bolak-balik antara Ian dan Tante Nunik. Argh, Ian kamu siapanya aku? Wahai lelaki bertelanjang setengah dada, berada di rumahku sepagi ini, kamu siapanya aku?! Apa perlu kubeberkan kalau kamu adalah laukku yang terbatalkan? Tapi tatapan dingin Ian sama sekali tidak membantu.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, berharap bisa lari dari situasi ini, atau mendapat … ilham.

Ah, ya.

“Dia adiknya Mas Heri,” ucapku, sambil menatap foto pernikahan yang tergantung di atas kulkas.

Mas Heri, satu-satunya pria yang kucintai, mendiang suamiku. (*)

Bersambung ….

 

Part 1 (Sebelumnya)

Part 3 (Selanjutnya)

 

Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Pernah punya kucing bernama Mus.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply