Pangeran Ikan (Part 1)
Oleh : Fitri Fatimah
Pagi ini aku masih mengawalinya dengan cara yang biasa: bangun tidur pukul setengah lima, mandi—dengan lebih cepat karena tak harus keramas—lalu menyapu pekarangan depan dan belakang rumah, kemudian menyiram beberapa tanaman hiasku, kemudian mencuci beras lalu membiarkan rice cooker melakukan aksi magic-nya, lalu kutinggal ke pasar untuk membeli lauk yang sudah habis. Hanya tersisa kerupuk di kaleng.
Aku bukan pemilih soal makanan, hanya saja setelah beberapa minggu lalu aku dibilang terlalu pucat seperti kekurangan gizi oleh rekan kerjaku, aku jadi minder untuk makan berkerupuk saja. Jadi aku memutuskan untuk membeli ikan, si lauk yang penuh protein. Bisa membuat otak tambah pintar pula. Hebat.
Aku hanya … sama sekali tidak menyangka. Bahwa sekembalinya ke rumah, setelah memasukkan beberapa sayur dan buah ke kulkas, lalu menenteng kantong plastik hitam yang berisi satu ikan bandeng yang kubeli tadi ke wastafel, lalu mengasah pisau sebentar, lalu mengambil talenan, lalu meletakkan ikan yang lumayan besar itu di atasnya, tepat ketika bilah pisau yang mengilat itu hampir menyentuh permukaan kulit ikan yang bersisik, ikan itu menggelepar-gelepar, lalu melompat jatuh ke lantai, ekornya bahkan sempat mengibas jempol kakiku. Kemudian … wush! Hal paling aneh di sepengalaman umurku yang 25, terjadi.
Di depanku kini, berdiri seekor … tidak, dia bukan “seekor”, tidak lagi. Yang ini sudah dalam bentuk dan massa yang padat menyerupai manusia, meski … mana ada manusia yang muncul menggelepar dari talenan. Tapi aku juga tidak bisa menyebutnya hantu, karena hantu yang kusaksikan di buku azab tak ada yang berupa rupawan. Apalagi berambut biru neon. Kalau saja dia berambut gimbal dan bertubuh hijau, mungkin aku akan menyebutnya genderuwo. Tapi dia tidak seperti itu. Oh, suka-suka dia lah mau jadi makhluk apa, jadi makhluk jadi-jadian juga terserah! Ah, bohong! Ini tidak terserah. Karena sekarang aku takut dan kaget setengah mati.
“Si-siapa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar.
Dia menatapku, dengan sorot yang sama sekali tidak bersahabat. “Ian, sang pangeran ikan,” ucapnya, pongah. Dia bahkan mengangkat dagu kukuhnya tinggi.
Lalu setelah mengenalkan nama, di meja di tengah dapur, yang syukurnya cukup tinggi untuk menyembunyikan separuh tubuh ke bagian bawahnya yang tak berbenang sehelai pun—aku sempat melihat pahatan kaki kukuh lalu menjalar ke betis hingga ke paha dan … aku segera memalingkan wajah. Dia kemudian membentak-bentak sambil menggebrak meja, meminta atensiku, meminta penjelasanku.
“Katakan, kenapa aku bisa ada di sini!”
“Sebentar,” aku mengangkat kedua tangan ke udara, “aku mau ambil sesuatu.” Lalu aku segera berlari ke kamarku, bergegas ke depan lemari yang sudah setahunan ini tak kubuka lagi.
Selama beberapa detik tanganku sempat kaku memegang gagang pintu. Aku takut aku akan menangis. Sudah setahun berlalu sejak kepergian mendiang suamiku, tapi rasanya … masih tak terkatakan.
Aku menghela napas. Tubuhku bahkan seperti diserang gigil karena pada pelepasan napas yang kesekian, tubuhku menggeletar. Kusentak gagang pintu, kemudian buru-buru mengambil sarung pada lipatan paling atas. Lalu berlari kembali ke dapur, tempat makhluk itu sudah mendengkus-dengkuskan napasnya kasar, dengan mata mengancam.
“Jangan berani-berani kau lari, kau harus menjelaskan kenapa aku bisa di sini.”
“Eee … ini rumahku, kenapa aku harus lari,” balasku berani. Tapi langsung mengkeret ketakutan ketika delikan matanya—entah bagaimana bisa—semakin tajam, seakan hendak mencabik-cabikku.
Aku segera melemparkan sarung ke arahnya, yang … wow, dia tangkap dengan tangkas, padahal lemparanku barusan agak melenceng.
“Jelaskan!” perintahnya.
Aku menggeleng-geleng.
Dia tampak berang, dan mengambil langkah maju mendekatiku. Aku segera menutup mata dengan kedua tangan.
“Setop! Setop! Diam di situ!” pekikku panik. Jangan kira karena aku sudah pernah menikah lalu aku baik-baik saja disuruh melihat pria lain telanjang. Tidak. Tolong jangan nodai mataku sepagi ini—bukan berarti kalau agak siangan boleh-boleh saja.
“Pakai dulu sarungnya, baru aku akan bicara,” ancamku. Entah ini bisa disebut ancaman atau tidak.
“Sarung?” tanyanya dengan nada tak mengerti.
Tunggu? Apa dia benar-benar pangeran ikan? Melihat betapa ajaib kemunculannya, seharusnya aku percaya. Tapi dia tidak tahu soal sarung? Memangnya di lautan sana ikan-ikan tidak pernah melihat sarung? Bukannya nelayan juga banyak yang melaut pakai selempang sarung macam orang ronda?
“Iya, sarung, itu, kain yang kamu pegang. Kamu pakai dulu. Begini,” ucapku sambil memperagakan cara memakai sarung dengan tangan, sambil mata masih memejam seerat yang dibisa.
Beberapa saat kemudian diisi dengan kibasan suara kain. Ah, syukurlah.
“Sudah?” tanyaku.
“Hm.” Dia hanya memberi dehaman irit.
Perlahan aku membuka mata.
Wah … dia tidak tahu cara mengenakan sarung!
Sarung yang harusnya dilipat dari kedua sisi kemudian digulung menggumpal di bagian atas di posisi tengahnya, malah dia pakai sebagaimana perempuan kalau pakai sarung Bali di Pantai Bali. Dia tidak memasukkan kakinya ke dalam sarung, tapi sarung itu hanya dibentangkan, kemudian dilipat dan disimpul, menyisakan segaris belahan panjang di samping paha kirinya.
Dan entah kenapa itu sama sekali tidak mengurangi aura maskulinnya.
“Jelaskan!” perintahnya lagi.
“E-e … apa yang ingin kamu tanyakan?” tanyaku, agak tercekat.
“Bagaimana bisa aku ada di sini?”
“Aku … tidak tahu …,” jawabku jujur. Ya bagaimana aku bisa tahu bahwa ikan bisa jadi wadah jiwa seorang pangeran. Tapi sebelum dia melempariku tatapan menghunusnya lagi, aku mencoba mencari jawaban lain yang bisa terpikir otakku. “Ya, maksudku, tadi pagi aku hanya pergi ke pasar, membeli ikan. Awalnya aku tak berniat membelimu, maksudku ikan bandeng yang adalah jelmaanmu—”
“Itu bukan jelmaanku, mana mungkin jelmaan seorang pangeran sebiasa itu!” potongnya dengan suara geram.
Oh, dia angkuh sekali.
“Ya … tapi kamu memang tidak biasa, kok.”
Sumpah, aku melihat raut bangga memancar di wajahnya.
“Badanmu—badan ikan itu maksudku—memang lebih besar dari bandeng yang lain di dalam keranjang. Makanya awalnya aku tidak memilihmu karena kukira pasti kamu mahal, karena ngomong-ngomong uangku pas-pasan, tapi si bapak penjual malah memberikanmu dengan harga miring. Dan, tentu, mana mungkin aku menolak. Aku hanya tidak tahu saja kalau kamu bukan ikan yang bisa dimakan. Andai aku tahu ….”
O’ow, aku salah ucap sepertinya. Karena sekarang wajahnya jadi berubah masam.
“Maksudmu, bahkan aku tidak pantas jadi makananmu?”
Aku tergagap. “Ya-ya … mana mungkin pangeran penguasa laut sepertimu pantas jadi makananku yang hanya rakyat biasa. Ya, kan?”
Aku menghela napas lega saat dia mengangguk-angguk menyetujui ucapanku.
“Cuma itu yang kutahu,” tandasku. Kemudian selama beberapa saat kami sama-sama diam. Aku masih dengan … tingkahku yang diam-diam mencubit lengan, bertanya-tanya apakah ini nyata atau aku kadung gila karena terlalu lama hidup sendiri. Sementara dia, tampak sedang memunggungiku, berjalan ke dekat jendela lalu menumpukan kedua tangannya di antara pot bawang daun yang kutanam sendiri. Aura berkuasanya memancar sangat kuat.
“Antarkan aku ke dekat laut sekarang,” perintahnya.
“Tidak.”
Dia langsung membalikkan punggungnya mendengar jawaban singkatku. Sambil menghadapku, dia menaikkan alisnya dengan gaya menantang. “Kenapa tidak?”
Oh, ayolah, jangan karena kamu adalah pangeran ikan lalu kamu kira bisa memerintahku seenaknya saja. Aku bukan salah satu ikan bawahanmu. Tentu, kalimat itu hanya berani kuucapkan dalam hati.
“Eee ….” Aku bingung mau menjawab apa.
Tiba-tiba terdengar bunyi riuh keroncong dari … perutnya.
“Ya, pertama-tama, kita harus makan!” ucapku dengan nada semringah. Rasanya aku bahkan ingin berteriak “eureka”.
Dia tampak ingin membantah, tapi gemuruh bunyi perutnya yang kembali terdengar, membuatnya urung, dan diam. (*)
Bersambung ….
Part 2 (Selanjutnya)
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Pernah punya kucing bernama Mus.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata