Merindu Raga

Merindu Raga

Merindu Raga

Oleh: Nur Khotimah

Aku baru menyadari ternyata rumah itu sudah berpenghuni dua hari yang lalu, tepat pukul tiga pagi. Aku terbangun saat ramai suara kucing berkelahi di luar. Setelah beberapa menit, terdengar suara pintu terbuka, juga suara air yang terlontar, setelah itu sepi. Kucing-kucing itu tak lagi gaduh. Mungkin seseorang sudah mengusirnya dengan cara disiram. Aku bangkit karena penasaran, menyibak kain penutup jendela dan melihat sesosok jangkung ber-hoody hitam masuk ke rumah itu.

Rumah itu sudah hampir dua tahun ditinggalkan pemiliknya. Namun, keadaannya tak seburuk yang biasanya terjadi. Rumah itu lumayan terawat karena paling tidak dua minggu sekali salah seorang saudara pemilik rumah datang untuk membersihkannya. Hanya halamannya saja yang tak terurus, banyak berserakan daun-daun kering yang berasal dari pohon jambu, juga pohon bambu kuning di sisi kanan rumah.

Aku kembali penasaran. Sejak kapan pria itu di sana? Bagaimana bisa aku tak tahu kepindahannya, sedangkan hampir setiap hari aku di rumah. Kediaman kami hanya terpisahkan jalan cor selebar tiga meteran. Tak pernah ada suara, tak ada nyala lampu, pintu pun selalu tertutup. Apa aku yang terlalu sibuk dengan adonan kue hingga tak menyadari kedatangannya? Ah, sepertinya tak ada gunanya aku memusingkan pria itu. Aku harus tidur, besok aku harus bangun pagi, pesanan kue sudah antre untuk dikerjakan.

*

“Yaaa, sebentar!” seruku ketika mendengar pintu rumahku diketuk pagi itu.

Aku yang sedang mencuci peralatan memasak tergopoh-gopoh keluar seraya meremas kain celemek guna mengeringkan tangan. Kata Ibu, ini kebiasaan jelek,  jorok asal meper, katanya. Biar sajalah, tamu di luar sana sepertinya sudah tak sabar karena terus-menerus mengetuk pintu meski aku sudah menjawab salamnya.

“Ya, siap–?” Aku tergagap sesaat setelah pintu terbuka.

Makhluk di depanku ini begitu memesona. Tampan, itu kata pertama yang tercetus di hati. Wajahnya kearab-araban dengan hidung yang menjulang indah, rambutnya yang agak panjang ia ikat rapi, dan sepertinya ia baru saja bercukur karena dagunya terlihat licin dan agak biru. Aku terpesona. Aku jatuh cinta, pada makhluk bernama lelaki yang bahkan belum kutahu namanya.

“Halo …?” ujarnya seraya melambaikan tangannya di depan wajahku, membuatku terkejut dan sedikit malu. Mungkin saat ini wajahku merah laksana jambu air di samping rumah depan itu.

“Eh, Anda siapa, ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku gugup. Degup di dada belum juga mereda.

“Saya warga baru yang tinggal di rumah itu,” ujarnya seraya menunjuk rumah depan. “Boleh saya pinjam golok? Sepertinya saya harus menebang pohon jambu itu. Daunnya terlalu mengotori halaman.”

“Oh, maaf. Saya nggak punya golok. Mungkin bisa pinjam ke tetangga sebelah,” jawabku, sudah mulai bisa menetralisir perasaan.

“Oh, kalau gergaji?”

“Nggak ada juga. Saya hanya tinggal seorang diri di sini, saya tidak punya alat-alat seperti itu. Kalau pun punya belum tentu saya bisa menggunakannya,” jelasku dengan sedikit tertawa mencoba seramah mungkin pada lelaki itu.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih, Mbak ….”

“Miranti,” jawabku seraya mengulas senyum.

“Baik, Mbak Miranti, terima kasih. Saya permisi dulu.”

“Iya, Mas … sama-sama.”

Setelah itu ia balik badan meninggalkan halaman. Ia kemudian mengetuk pintu tetangga sebelah. Aku masih memperhatikannya, sampai terlihat ia kembali ke rumahnya lengkap dengan menenteng golok dan gergaji. Setelah itu, aku kembali ke dapur dengan senyum yang terus terkembang. Aku punya tetangga baru dan dia … ganteng! Aku baru menyadari, pria itu belum memperkenalkan namanya.

Selama seharian itu aku memperhatikannya dari balik jendela. Ia benar-benar menebang pohon jambu itu, tak sayang pada buahnya yang lebat dan sebagian hampir matang. Pria itu membersihkan daun-daunnya yang berserakan kemudian membuang di kebun kosong di ujung gang. Saat itu, ia hanya menggunakan kaos tanpa lengan berwarna putih.  Meski dari jauh, aku bisa melihat betapa indahnya lengan itu. Kekar, berotot, dan berbulu. Sisi kewanitaanku tergoda, membayangkan betapa nyaman dalam dekapannya, membayangkan tangan itu melingkar di perutku kemudian jari-jemariku menari di atasnya, meraba otot bisepsnya. Aku menutup muka, malu pada pikiran-pikiran kotorku sendiri.

Hanya hari itu, iya … hanya hari itu aku benar-benar melihatnya. Setelah itu ia tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Rumah depan itu selalu sepi. Hanya sesekali aku melihat lampu kamarnya menyala di tengah malam. Selain itu, tak ada pergerakan. Aku sedikit patah hati.

Rupanya kehadiran penghuni baru itu juga menjadi desas-desus di kompleks ini. Lingkungan kecil yang hanya terdiri dari 32 kepala keluarga ini seperti terusik akan kehadirannya. Pria misterius itu menjadi bahan perbincangan warga. Pasalnya setelah beberapa minggu kehadirannya, ia hampir tak pernah keluar rumah. Tak ada aktivitas di rumahnya. Tak ada yang tahu siapa nama dan apa pekerjaannya. Namun, ada satu dua tetangga yang katanya memergokinya keluar hanya di hari Kamis dan kembali lagi hari Jumat menjelang Magrib.

“Jangan-jangan, dia di dalam lagi nyabu,” celetuk tetangga, seorang ibu muda yang tinggal di samping kiri.

“Atau … jangan-jangan dia keluar malam Jumat buat ngepet,” sambung tetangga yang satu lagi.

“Tapi dia ganteng, loh,” sambar Ani, si janda kembang.

Aku hanya tersenyum mendengar obrolan mereka di tukang sayur suatu pagi. Kasak-kusuk semakin terdengar. Dari praduga yang baik hingga yang teramat buruk. Bukannya mereka tak bisa menggali info dari sumber yang terpercaya. Satu-satunya orang yang menerima laporan kepindahannya hanya Pak Karim, sang sekretaris desa. Sayangnya, ia terserang stroke yang mengakibatkan ia tak bisa berbicara dan berbuat apa pun sehari setelah pria itu di sini.

Aku mencoba tak peduli, tetapi tetap saja membuatku semakin penasaran tentang siapa tetangga depanku itu. Berbekal sekelumit informasi yang kudengar tadi, aku mulai–mungkin tepatnya, lebih– memperhatikan rumah tersebut. Benar saja, hari Kamis tepat tengah hari, pria itu mengeluarkan motornya, kemudian pergi dan baru kembali lagi Jumat pukul setengah enam lewat. Masih dengan kostum kemarin, baju serba hitam dan helm fullface.

Namun, kali ini ia menenteng sebuah koper hitam. Ia masuk, kemudian rumah itu kembali sepi, sesepi hatiku.(*)

 

Cikarang, 10 Agustus 2020

 

Nur Khotimah, seorang ibu rumah tangga pejuang rupiah yang jatuh cinta pada dunia literasi. Untuk lebih mengenalnya bisa add fb Nur Khotimah.

Editor: Respati

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply