Pak Dokter vs Mbak Farmasis
Oleh : Nuke Soeprijono
Part 1 : Rencana
Seharian tadi daerah tempat tinggal Nadine hujan deras. Dia sedang santai saja di dalam kamar kos. Gadis moody itu sedang kumat penyakit mager-nya alias malas gerak. Sambil membaca novel, Nadine mendengarkan lagu indie dari artis kesayangan, Fiersa Besari.
Ku sadar ku pemeran pengganti
Tak pernah benar-benar di hati
Biarlah biar aku bertahan
Mungkin esok rasamu sungguhan“
Nadine tiba-tiba merasa tersindir. Pasalnya, pujaan hati–yang dokter spesialis–itu hanya menganggap dia sebagai teman dekat. Padahal demi dia, Nadine sudah sering berbuat nekat. Entahlah … mungkin nanti hanya waktu yang bisa membuat hati mereka saling terikat.
Nadine tampak mulai bosan. Dia membolak-balik lembar demi lembar novel yang dipegangnya tadi. Bukannya dibaca, tetapi malah digunakan untuk kipas-kipas. Ah, dasar si Nadine!
Tiba-tiba saja terbesit dalam pikiran Nadine, dia ingin melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda beberapa waktu lalu.
“Ah, gue harus lanjutin kuliah apoteker ini!” ujarnya bertekad. “Bosan juga kerja jadi SPG. Gitu-gitu doang! Eh, tapi bisa disambi kuliah juga, kali, ya?” Batin Nadine bergejolak membayangkan nasib dirinya. Nadine ingin ada perubahan pada hidupnya. Kalau kata orang-orang bilang: hijrah. Demi masa depan yang cerah.
Nadine kemudian berpindah tempat. Semula rebahan di atas spring bed empuk, sekarang melompat ke lantai yang keras. Dia mulai mencari sebundel ijazah yang disimpan dalam lemari pakaian. Perlahan dibuka satu per satu, “Nah, ini dia!” teriaknya senang. Sebenarnya sebagai sarjana S1 farmasi, Nadine hanya perlu waktu kurang lebih setahun untuk melanjutkan profesi sebagai apoteker. Akan tetapi, sering rencananya itu hanya berakhir sebagai wacana.
“Bismillah, semoga niat gue dilancarkan,” gumam Nadine penuh harap.
Selesai membereskan berkas ijazah dan beberapa dokumen yang diperlukan, Nadine kembali rebahan sambil melanjutkan membaca novel tadi. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Diraihnya benda pipih berukuran enam inci tersebut. Matanya sesaat berbinar berikut bibir yang spontan tersenyum lebar.
“Aaaw … Tuan Sedikit Kata, WA gue!” teriak Nadine lantang dan langsung duduk di pinggiran kasurnya.
Tuan Sedikit Kata, sebutan yang disematkan Nadine untuk Pak Dokter, sang gebetan. Sebenarnya sih, nama Pak Dokter itu Mahendra. Dokter Mahen, kalau teman sejawatnya menyapa. Maklum, si dokter ini orangnya kalem dan irit bicara, jadi, ya Nadine iseng melabeli dengan sebutan seperti itu.
[Met sore, Nadine] Disertai emotikon senyum.
[Lagi apa, Neng?]
Pikiran Nadine langsung tak keruan saking ge-ernya. Bingung, hendak menjawab apa? Sebab menurutnya, Pak Dokter nge-chat di saat yang enggak tepat. Nadine sedang dalam mode waras. Tidak sedang galau, apa lagi mellow. Sehingga seperti kurang mengena feel-nya. Ah, ada-ada saja dia!
[Hai, juga, Tuan Sedikit Kata] Sejenak Nadine ragu, sampai akhirnya dia hapus ketikan itu.
[Hai, juga, Pak Dokter] Dengan emotikon senyum sok imut, terkirim.
[Nadine lagi nyantai aja nih, Pak.]
[Ada apa, ya?] emotikon mikir.
Beberapa menit berlalu, belum ada balasan juga dari Dokter Mahendra. Nadine mulai gelisah. Digenggamnya ponsel sambil terus scroll aplikasi WA. Sepuluh menit berlalu, kemudian ….
[Oh, nggak, gak ada apa-apa]
[Cuma mau tanya, besok Nadine ada waktu, tidak, ya?]
[Saya mau ajak jalan]
Seperti mendengar gelegar suara petir di tengah hujan deras, jantung Nadine berdentum keras seakan mau lepas. Gadis itu melonjak kegirangan. “Yess!” pekiknya.
Semenit, dua menit, Nadine pura-pura tidak segera membalas.
[Maaf, Pak, kita mau jalan ke mana, ya?]
[Biar saya ada persiapan, gitu]
senyum dahi berkeringat, terkirim.
[Santai saja, Nadine. Saya cuma mau ngajak nonton, kok]
[Bukan mau ngajak menikah]
Kali ini tawa Nadine pecah. Dia benar-benar tidak menyangka si Pujaan Hati, yang irit kata itu, menjawab pertanyaannya dengan menyebut kata paling sakral bagi wanita. Dasar, wanita! Mudah sekali terbawa perasaan.
[Gimana, Nadine, kamu mau?]
[Iya, Pak, saya mau]
[Oke, sampai ketemu besok, ya]
Percakapan lewat WhatsA
pp pun berakhir sampai di situ. Nadine senyum-senyum sendiri, tersipu malu, sambil mereka-reka kejadian besok saat bertemu Dokter Mahendra.
***
Saat yang ditunggu datang, hari Jumat sore yang penuh berkah bagi Nadine. Dia sudah terlihat manis dengan gamis pink dan kerudung abu-abu. Sambil mematut di depan cermin, Nadine sudah siap dijemput Pak Dokter pujaan hati. Akan tetapi, tiba-tiba ponselnya bergetar lagi.
[Sore, Nadine. Maaf, ya, saya mendadak ada operasi sekarang.]
[Maaf, sekali] Disertai emotikon tangan saling mengatup.
[Lain kali saja kita jalan]
[Mungkin, saya akan langsung ajak kamu jalan ke pelaminan]
[Yah, kok, gitu, Pak? Berarti nggak jadi, nih?]
Tentu saja pertanyaan Nadine tidak segera dijawab Mahendra. Tugasnya sebagai dokter telah memanggil. Tinggal Nadine yang terdiam, melongo, bengong menatap layar ponselnya. Tubuhnya lemas, seperti balon hijau yang meletus, dia merasa kacau. Entah bagian mana yang harus dipegangnya erat-erat. Rencana lanjut kuliah apoteker? Atau menanggapi serius ajakan menikah Dokter Mahendra?
Bersambung ….
Tgr_100820
Nuke Suprijono Si alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata