Perempuan dan Kenangan
Oleh: Cici Ramadhani
“Patah hati hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang baru. Buka hatimu, tidak mungkin semua lelaki bisa baik seperti Arya. Ingat, umurmu bukan remaja lagi.”
Kata-kata Ibu terus terngiang di telingaku. Kemarin, Ibu sengaja datang dari kampung hanya untuk memantau perkembangan hubunganku dengan Alam–putra dari kenalan Ibu.
Alam, aku mengenalnya dua minggu yang lalu. Dia bekerja sebagai asisten dosen di salah satu universitas ternama di kotaku. Secara usia dia jauh lebih matang dariku, namun ada hal yang membuatku merasa dia belum pantas menjadi suamiku. Seminggu setelah melakukan pendekatan, aku langsung menelepon Ibu.
“Bu, Rara tidak ingin menikah dengan Mas Alam,” kataku memulai percakapan.
“Kenapa?”
“Dia bukan tipe pria yang pengertian,” jawabku.
“Contohnya pengertian yang bagaimana?”
Aku kebingungan mencari kalimat yang tepat untuk mengungkapkan alasanku kepada Ibu.
“Hati ini menolak, Bu.” Hanya itu satu-satunya alasan yang terpikirkan.
“Kalian baru kenal satu minggu, cobalah untuk lebih mengenal lagi.”
“Tapi, Rara merasa tidak nyaman, Bu. Dia bukan tipe suami yang Rara cari.”
“Apa yang membuat Rara tidak nyaman? Coba jelaskan pada Ibu, biar kita cari solusinya.”
Aku diam sejenak, dari mana harus kumulai menceritakannya kepada Ibu?
“Terkadang, pria melakukan berbagai hal untuk menguji perempuan yang ingin dijadikannya istri. Bersabarlah.”
Aku menahan tangis mendengar perkataan Ibu di seberang sana. Kenapa anak gadis yang belum menikah harus menjadi momok tersendiri bagi orang tuanya. Di kampungku, saat perempuan usia 26 tahun sudah memiliki dua anak, sementara aku masih memilih sendiri. Ya, aku memang patah hati tapi bukan berarti aku tidak berusaha membuka diri. Terpaksa, kali ini aku mengikuti saran Ibu untuk bertahan lebih lama.
“Kamu sedang apa?” Ibu menghampiriku yang sedang berjibaku di dapur.
“Ya ngapain lagi, Bu? Rara masak buat Mas Alam,” kataku sedikit kesal.
“Dia yang suruh kamu masak?” tanya Ibu lagi.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa menoleh sedikit pun.
“Tapi, uang belanjanya dari dia, kan?”
“Gak.”
“Kenapa kamu gak minta?”
Aku menghentikan kegiatan memasak di dapur, memandang lekat wajah yang sudah dipenuhi keriput.
“Ibu tau sendiri bagaimana Rara, kan? Selagi Rara punya uang, Rara tidak pernah meminta pada Ibu atau Bapak, begitu juga orang lain. Rara cuma butuh pengertian.”
Aku melanjutkan kembali aktivitas memasak, tinggal menggoreng ikan. Ini sudah kedua kalinya Alam memintaku memasak. Tapi tak sedikit pun dia pengertian mengganti uang yang telah kukeluarkan minggu lalu. Bahkan tadi malam dia bersikeras aku harus mengantarkan makanan ke kontrakannya.
“Besok, kan, hari Minggu, Adek pasti sempat masak,” ucap Alam saat kami sedang duduk di teras rumah kontrakanku.
“Tapi, Ibu kan lagi di sini, Mas. Besok Rara harus mengantar Ibu ke rumah Pakde.”
“Pokoknya, Mas tunggu besok pagi di rumah, ya. Sekarang Mas pulang, biar kamu juga bisa tidur cepat.” Setelah berpamitan pada Ibu, Alam pulang.
Di sepertiga malam aku mengadukan semuanya pada Sang Maha Pencipta. Hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia. “Ya Allah, tunjukkan kebenaran pada Ibu siapa Alam yang sebenarnya. Sentuh hati Ibu untuk tidak memaksa hamba bersama dengannya.”
Aku terisak menahan tangis.
Di usia matang seperti ini, aku merasa tidak pantas lagi untuk saling menguji. Karena seiring berjalannya waktu semua akan terlihat sendiri. Namun, sekarang aku merasa Alam memanfaatkanku. Aku tidak sebodoh itu, hanya untuk mendapatkan calon suami, segala yang dipintanya kupenuhi. Sebelumnya, dia pernah mengirim pesan, memintaku untuk mengirim sejumlah uang ke rekening adiknya. Dengan alasan dia tidak sempat ke bank karena hanya memiliki uang tunai.
Saat itu aku langsung berpikiran negatif kepadanya. Dengan cepat kukirim pesan balasan.
Mas di mana? Biar Rara datang ambil uang mas dan langsung ke bank untuk transfer.
Alam tidak membalas pesan yang kukirim. Hal ini membuatku semakin yakin untuk segera mengakhiri apa yang belum dimulai.
Ikan Tuna goreng, daun ubi rebus dan sambal terasi sudah selesai dibungkus. Setelah shalat Dhuha, aku berpamitan pada Ibu. Insya Allah ini adalah yang terakhir Alam memakan masakan buatanku.
“Adek, gak singgah dulu?” tanyanya saat aku menyerahkan bungkusan di depan pintu.
“Gak, Mas. Rara harus pergi sama Ibu.” Aku pun segera menyalakan motor matic kesayanganku dan segera berlalu.
Selama tiga hari di rumah, Ibu tidak pernah bertanya lagi tentang Alam. Aku pun tidak ingin membahasnya. Segala pesan atau pun panggilan dari Alam kini kuabaikan.
“Ra, besok pagi Ibu mau pulang,” ucap Ibu saat kami sedang makan nasi uduk pecel lele di kaki lima.
“Kok, cepat banget, Bu? Rara masih kangen Ibu,” ucapku manja.
“Kasihan adikmu di rumah sendirian. Lagian kamu juga kerja dari pagi sampai sore. Ketemu Ibu cuma malam hari, habis makan, ngobrol bentar, Ibu sudah kamu tinggal tidur.”
“Hehehe… Maaf, ya Bu. Rara capek banget. Kalau sudah hari Senin kerjaan numpuk.”
“Iya, Ibu mengerti kalau kamu capek kerja. Ibu kasihan sama kamu kalau dapat suami yang tidak pengertian. Beberapa hari ini Ibu mikirin kamu. Belum menikah saja, Alam sudah seperti itu memperlakukan kamu seenaknya.” Terlihat mendung di mata tua itu.
Aku menggenggam erat jemari Ibu, berusaha menenangkan. “Ibu jangan khawatir, Insya Allah aku akan dapat jodoh yang lebih baik.”
Ibu mengangguk pasrah. “Kamu boleh putuskan Alam, tapi lakukan dengan cara baik-baik. Ibu hanya menginginkan kebahagiaanmu.”
Aku beranjak dan duduk di kursi yang ada di samping Ibu. Kupeluk wanita yang telah melahirkanku 26 tahun yang lalu. Hanya maaf yang mampu terucap dalam hati atas segala kekhawatiran yang telah kutorehkan pada Ibu. Atas segala kesalahan dan dosa yang pernah kulakukan.
Mas, lebih baik kita tidak bertemu lagi.
Pesan kukirim setelah sampai di rumah. Tak sanggup rasanya menunda esok hari.
Loh? Kenapa? Ada apa?
Mas bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku.
Ponselku berdering. Alam melakukan panggilan namun kuabaikan.
Besok, Mas ke rumah. Kita harus bicara.
Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Bagaimanapun tekadku sudah mantap. Aku tak ingin bertemu lagi dengannya.
Aku terisak dalam sujud di sepertiga malamku. Memohon pengampunan pada Sang Pencipta. Memohon segera dipertemukan dengan jodoh terbaik pilihan-Nya. Memohon kebahagiaan dunia dan akhirat.
Telah lama aku menjauh dari-Nya. Cinta buta membuatku melupakan bagaimana rasa bersyukur. Terlena dalam buaian asmara.
Orang bilang, kita akan menemui orang yang salah sebelum akhirnya menemukan orang yang tepat, sang pemilik tulang rusuk. Namun, aku harus menahan berapa banyak luka lagi hingga akhirnya bahagia? Jika boleh memilih, sebaiknya aku tidak bertemu mereka agar tidak ada yang terluka. (*)
Cici Ramadhani, menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com