Judul : Laki-Laki Miskin dan Jalan Hidupnya
Oleh : Siti Nuraliah
Mulanya saya orang biasa, tidak berpendidikan dan lahir di kampung. Saya hampir tidak percaya, bisa memiliki apa yang diinginkan. Rumah megah, mobil mewah, istri yang cantik, harta melimpah dan kekuasaan yang membuat siapa pun segan pada saya. Semua berawal dari perasaan sakit hati yang saya telan selama bertahun-tahun.
Lima tahun yang lalu, saat saya masih menjadi penjual asongan di pemberhentian lampu merah di kota metropolitan ini, saya baru saja ditinggal menikah oleh gadis yang saya cintai karena dijodohkan orang tuanya. Lantaran saya hanya pemuda miskin tamatan SD, serta anak seorang buruh cuci keliling. Padahal, saya sudah mengumpulkan uang untuk menikahi Juwita, gadis cantik di kampung saya. Anak pemilik kebun karet yang luasnya berhektar-hektar. Hasil upah memikul getah karet dari kebun bapaknya Juwita itu –yang dia tidak tahu satu per satu pegawainya karena terlalu banyak— saya kumpulkan di celengan bambu yang dipotong satu hasta dan diberi lubang bagian sisinya.
Emak saya pernah mengingatkan, agar saya memutuskan hubungan dengan Juwita. Karena Emak saya takut bapaknya Juwita tahu jika anaknya dekat dengan seorang buruh pikul, apalagi buruh di kebunnya sendiri. Emak bilang, mana mungkin Juwita yang baru lulus dari jurusan kebidanan di salah satu universitas yang katanya ternama itu, akan direstui menikah dengan saya. Yang ada saya akan mendapatkan cacian dan pukulan dari para suruhannya.
Saya tidak bisa melupakan gadis yang sudah saya taksir sejak masih sama-sama duduk di bangku SD. Saya dan Juwita pernah satu sekolah, Juwita adalah adik kelas saya. Namun, setelah lulus SD saya tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran melihat Emak yang setiap pagi keliling ke rumah-rumah orang kaya yang malas atau pun sibuk, sehingga tidak bisa untuk sekadar mencuci pakaian itu, saya jadi tidak tega. Emak tidak pernah mematok bayaran, kadang sepuluh ribu, kadang-kadang lima ribu selalu Emak terima. Saya bisa melihat, bagaimana orang-orang kaya itu menyepelekan tenaga orang miskin seperti kami?
Pekerjaan saya setelah lulus SD adalah mencari harta karun di tumpukkan sampah. Plastik-plastik yang berbentuk botol atau gelas, saya masukkan ke dalam karung yang saya pikul. Sampah-sampah dari rumah orang-orang kaya itu selalu menjadi tempat kesukaanku. Sebab, saya selalu mendapat bonus, kadang-kadang menemukan makanan sisa yang masih bagus, atau barang-barang bekas yang nilainya lebih tinggi. Menjadi pemulung, saya lakoni selama tiga tahun, barang bekas itu saya jual dan hasilnya saya tabung. Ambisi saya saat itu adalah bagaimana saya bisa kaya dan memiliki banyak uang. Perihal kedekatan saya dengan Juwita, saya merasa Juwita mempunyai perasaan yang sama kepada saya waktu saya memulung sampah di belakang rumah Juwita. Dia memergoki saya yang sedang memungut sepotong roti sisa yang masih bagus, potongannya besar.
“Bang Jali, sedang apa?” tanyanya. Saya yang membelakanginya memutar badan.
Bukannya saya menjawab, saya memandangi wajahnya yang putih mulus. Dia memandangi plastik berisi roti sisa itu di tangan saya, lalu beralih menunjuk mulut saya yang berhenti mengunyah . “Sebentar, sebentar. Bang Jali tunggu di sini, ya,” perintahnya, kemudian berlari masuk ke rumahnya. Saya menurut, berdiri mematung. Kaki saya seperti terpaku ke dalam tanah dan mengakar. Tidak berselang lama, Juwita datang.
“Itu, roti barusan saya buang, karena tanggal kedaluwarsanya sudah lewat satu hari. Kalau Bang Jali mau, ini saya ada yang masih baru.” Juwita menyodorkan plastik berwarna putih bertuliskan huruf A berwarna merah.
Saya masih tidak bisa berkata apa-apa. Saya berpikir Juwita mulai menyukai saya. Hati saya menjadi tidak keruan, deg-degan dan gemetar. Ditambah lagi, Juwita menawarkan pekerjaan sebagai tukang pikul hasil getah karet di kebun bapaknya.
“Bang Jali, mau tidak saya tawarkan pekerjaan lain. Mang Ujang pengurus kebun karet Bapak lagi butuh tukang pikul. Kalau Bang Jali mau, nanti saya bilang sama Mang Ujang. Besok datang lagi ke sini, ya!” ucapnya sambil celingukan. Sepertinya dia takut ada yang lihat.
Saya hanya mengangguk. Tidak berani lagi menatap wajahnya. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, mengapa hati Juwita seperti berbanding terbalik dengan bapaknya? Juwita sangat lemah lembut kepada semua orang. Sedangkan bapaknya keras. Sepertinya perilaku Juwita menurun dari ibunya, Bu Sri, seorang guru Madrasah setingkat SMP.
Saya tidak sabar menyampaikan kabar itu kepada Emak. Emak pun sangat senang setelah saya beri tahu kalau saya akan punya pekerjaan baru. Dia hanya berpesan agar saya berhati-hati bekerja di kebun milik Pak Sarkowi, jangan sampai salah sedikit atau lalai dalam pekerjaan, akibatnya akan langsung dipecat. Itulah sebabnya banyak buruhnya yang tidak betah.
Berbulan-bulan saya sudah bekerja di sana. Perasaan saya kepada Juwita semakin tidak bisa ditolak. Setiap seminggu sekali saya melihat Juwita ada di rumahnya. Sepertinya kuliahnya sedang libur. Dia juga begitu perhatian, saya terlalu malu untuk mengungkapkan perasaan. Sementara Juwita semakin hari semakin memesona saja. Kami jadi sering mengobrol di sela-sela istirahat. Juwita sering menyungguhkan minum dan kopi kepada kami, para buruh pikul. Padahal, bisa saja Juwita atau ibunya menyuruh pembantu di rumah untuk melakukan itu.
Sejak saat itu, saya semakin semangat mengumpulkan uang. Saya sering memergoki Juwita mencuri pandang ke arah saya. Kami memang tidak saling mengungkapkan perasaan, tetapi saya merasakan Juwita juga pasti mempunyai perasaan yang sama. Sampai tidak terasa saya sudah bekerja jadi kuli selama empat tahun. Suatu hari, saya memberanikan diri mengajak Juwita bicara. Rupanya kedekatan kami terendus oleh bapaknya. Saya jadi dipanggil menghadap Pak Sarkowi.
“Memangnya siapa kamu, berani mendekati anak saya, hah?”
Pak Sarkowi bicara sambil menunjuk-nunjuk muka saya. Saya diam, tapi dalam hati saya menggerutu ingin melawan.
Pak Sarkowi menggebrak meja, “Kamu hanya seorang kuli, Juwita tidak pantas didekati oleh orang rendahan seperti kamu.” Wajah Pak Sarkowi memerah, tangannya mengepal.
“Mulai sekarang, kamu tidak boleh lagi bekerja di kebun saya. Silakan keluar sekarang juga!” perintahnya. Tangannya lurus menunjuk pintu rumahnya yang terbuka.
Saya keluar dengan kepala menunduk, hati remuk, dan perasaan-perasaan yang sulit saya jelaskan. Saya sakit hati, ucapan-ucapan dari mulut bapaknya Juwita sulit saya lupakan. saya mulai membuat perjanjian pada diri sendiri. Saya harus punya banyak uang. Sehingga pada akhirnya, saya gunakan tabungan saya untuk ongkos berangkat ke kota. Saya berniat akan bekerja apa saja agar bisa menjadi orang kaya, supaya tidak ada lagi orang yang bisa menginjak-injak harga diri saya. Kata Emak, jangan lupa berdoa. Saya hanya menyunggingkan senyum, berdoa bagi saya tidak mengubah apa-apa. Hidup saya tetap begini-begini saja. Saya pernah meminta bahagia, tapi saya kecewa. Juwita dinikahkan dengan laki-laki pengusaha yang juga kaya raya. Saya menyempatkan bertemu secara diam-diam dengan Juwita, ingin menanyakan perihal perasaannya. Sejak itu saya akhirnya tahu, ternyata perasaan Juwita tidak lebih dari sekadar merasa kasihan dan iba saja. Membuat saya mantap untuk meninggalkan kampung halaman.
Pertama saya menginjakkan kaki di kota, saya langsung mencari indekos. Serta pertama kali yang muncul di kepala saya adalah menjadi tukang asongan, saya membeli barang-barang dari sebagian tabungan saya. Di sinilah awal baru hidup saya. Saya masih ingat, sedan hitam mengilat berhenti di pertigaan, menunggu lampu hijau menyala. Kacanya dibuka, seseorang melambaikan tangan kepada saya. Saya pikir dia akan membeli dagangan saya, seperti para pengemudi lainnya. Rupanya dia menawarkan suatu pekerjaan. Saya diajak masuk ke dalam mobil, awalnya saya ragu-ragu tapi tetap menurut juga, sebab berbicara tentang uang, ambisi saya seperti terbakar. Ketika lampu hijau menyala, mobil melaju pelan dan kami mengobrol banyak. Dua laki-laki berjas di dalam mobil ini menawarkan pekerjaan yang penghasilannya menggiurkan.
Meskipun saya pemuda kampung dan hanya tamatan SD, saya pikir saya tidak terlalu bodoh dan polos. Saya sudah dewasa, tepatnya saya dipaksa berpikir dewasa oleh keadaan sejak umur belasan. Di dalam mobil sedan, kami mengobrol banyak. Mereka mengajak saya ke suatu tempat. Dan mereka juga berpesan, pekerjaan ini cukup berisiko. Bagi saya tidak masalah, saya bisa berusaha bekerja dengan baik. Kemudian mereka mengeluarkan beberapa koper yang isinya bila sekali saja pihak berwajib tahu, fatal sudah. Dan pasti siapa saja yang terjun di dunia bisnis ini akan mendekam di penjara.
Namun, inilah hidup saya sekarang. Dalam dunia bisnis, bagi saya tidak ada yang namanya persaingan secara sehat. Pada akhirnya semuanya akan saling ingin menang banyak. Saya berhasil menyingkirkan dua orang yang beberapa tahun lalu mengenalkan saya kepada pekerjaan ini. Saya akan pulang membawa kekayaan, dan membeli mulut orang-orang yang pernah menyakiti saya.
***
Banjarsari, 01 Agustus 2020
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis pemula yang masih belajar, dan berusaha memperbaiki tulisannya.