Muka Kamu
Oleh: Ika Mulyani
Sudah hampir lima bulan ini, ada hal aneh yang terjadi pada Marlina dan Hardini. Mungkinkah Marlina terlalu sering menonton film pertama dari serial Harry Potter, hingga hafal hampir seluruh terjemahan dialognya? Sementara, bisa jadi, Hardini terlalu sering menonton film horor lokal, dengan karakter hantu yang ‘ajaib’?
Namun, Susi yang kerapkali menemani–menonton di ruang tengah rumah kontrakan mereka–tidak mengalami hal yang sama. Kepalanya terlihat normal dan tidak ada kejanggalan, seperti yang menimpa Marlina dan Hardini.
Harry Potter and The Sorcerer’s Stone, di tanah asalnya–Inggris–judul film tersebut adalah Harry Potter and The Philosopher’s Stone, dan di-Indonesia-kan menjadi Harry Potter dan Batu Bertuah. Film tersebut adalah serial Harry Potter yang pertama, saat Harry baru berusia sebelas tahun, dan mulai memasuki dunia sihir.
Ada satu adegan yang memperlihatkan kemunculan Lord Voldemort–penyihir hitam musuh bebuyutan Harry Potter–yang belum sempurna fisiknya. Ia hanya bisa mewujud sebagai sepotong wajah tanpa tubuh, tetapi bisa berpikir dan berbicara.
Dalam beraktivitas, Voldemort harus menumpang pada tubuh penyihir lain, yang bersedia dengan sukarela menjadi inang dan membawanya kemana pun ia pergi. Selain itu, si penyihir inang harus meminum darah unicorn secara periodik, agar Voldemort tetap memiliki kekuatan hidup. Penyihir inang yang dimaksud ternyata adalah salah satu guru Harry, Profesor Quirrel.
Bagian tubuh dari Quirrel yang dijadikan tempat Voldemort menumpang adalah bagian belakang kepalanya. Turban penutup kepala yang tebal, menutupi wajah penyihir jahat tersebut. Wajah mengerikan itu berbau sangat menyengat.
Jadi, jika lilitan kain turban tersebut diuraikan, maka Quirrel tampak memiliki dua wajah–dua muka. Wajah di bagian depan adalah milik Quirrel, dengan tampang memelas serta gagap saat berbicara, membuat orang yang melihatnya jatuh kasihan. Sementara itu, wajah bagian belakang adalah kepunyaan Voldemort, yang terlihat bengis dan menyeramkan.
Seperti itulah keadaan kepala Marlina sekarang ini. Wajah yang senantiasa dihiasi senyum semanis madu dan tatap ramah, ada di bagian depan, tempat setiap wajah manusia semestinya berada. Di bagian belakang kepalanya, sempurna sudah terbentuk sepotong wajah yang identik. Namun, wajah yang ini sama sekali tidak pernah tersenyum. Kedua belah bibirnya seolah telah permanen menyeringai, menyuarakan kedengkian. Sorot matanya bersinar penuh kelicikan, bahkan cenderung kejam, serta menyiratkan ambisi yang kuat. Persis seperti sinar wajah Voldemort.
Di bulan pertama, saat Marlina diterima sebagai karyawan baru di perusahaan ini–setelah menyisihkan sekian puluh pesaingnya–keanehan mulai terjadi. Sedikit di atas tengkuknya tumbuh dua onggok kecil daging bersemu merah. Di akhir bulan pertama, keduanya sempurna membentuk dua belahan bibir yang bisa berbicara.
Di akhir bulan kedua, tumbuh sebentuk hidung di atas bibir tadi. Hidung ini secara ajaib bisa mencium setiap aroma kesempatan dalam kesempitan yang ada di hadapan Marlina.
Seiring berlalunya bulan ketiga, dua bola mata–lengkap dengan kelopak, bulu mata, dan alis–tumbuh sempurna. Kedua mata ini pandai menilai dan memilih manusia mana yang bisa diambil manfaatnya bagi kepentingan Marlina, semaksimal mungkin.
Di penghujung bulan keempat, tercipta dua daun telinga baru di belakang yang lama. Telinga baru ini sangat peka terhadap segala perkataan yang berpeluang untuk dijadikan bahan gunjingan, saat orang yang bersangkutan tidak lagi ada di hadapan Marlina.
Menjelang bulan kelima habis, terbentuklah dahi, pipi, dan dagu, bersamaan dengan rontoknya setiap helai rambut di semua bagian tadi. Maka sempurnalah sudah wajah belakang Marlina terbentuk.
Marlina tampak tidak menyadari kelainan kepalanya, atau mungkin dia tahu, tetapi tidak memedulikan. Dengan gajinya sebagai direktur pemasaran–posisi yang diraihnya hanya dalam waktu lima bulan–ia selalu menutupi kepalanya dengan wig mahal aneka bentuk dan warna, dipadu-padankan dengan busana dan sepatu serta tas yang dikenakan.
Bagaimana dengan Hardini?
Hal yang amat kontradiktif terjadi pada wanita lajang berusia tiga puluh dua tahun ini. Saat Marlina sedikit demi sedikit mendapatkan bagian wajah di bagian belakang kepalanya, Hardini justru kehilangan bagian wajahnya satu demi satu.
Bersamaan dengan sempurnanya Marlina bermuka dua, maka justru Hardini sepenuhnya berubah menjadi manusia tak berwajah, karena kulit kepala bagian depannya begitu polos dan rata. Bentuk yang persis sama seperti salah satu hantu dalam film yang sering ia saksikan.
Mungkinkah setiap bagian wajah milik Hardini berpindah ke bagian belakang kepala Marlina? Tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan sekedar untuk menyadarinya.
Persahabatan mereka berdua–Marlina dan Hardini–sangat erat. Di mana ada Lina–panggilan akrab Marlina–maka di situ ada Dini alias Hardini. Susi hanya menjadi latar dalam setiap kisah pencapaian mereka.
Di awal pertemuan mereka lima bulan lalu, Lina dan Dini terlihat mirip satu sama lain. Padahal, mereka bukan saudara kembar, bahkan tidak ada sama sekali hubungan kekerabatan di antara keduanya. Mungkin pendapat bahwa masing-masing kita–di belahan dunia yang berbeda–memiliki enam orang dengan rupa yang sama, benar adanya.
Pertemuan antara Lina dan Dini terjadi secara kebetulan di sebuah stasiun kereta api. Ketika rangkaian kereta menuju kota tiba, keduanya memasuki gerbong yang sama, dan duduk berdampingan. Lina mengamati pakaian yang Dini kenakan. Demikian juga Dini, ia memperhatikan busana yang disandang oleh Lina.
“Baju kita samaan, nih. Kamu kerja di Tampomas juga? Karyawan baru, ya?” sapa Lina pada Dini.
“Iya, Kak. Hari ini pertama kerja.”
“Wah, sama, dong. Hari ini juga hari pertama aku. Kok, waktu kita tes masuk, enggak ketemu, ya?”
Sementara, di sudut gerbong, Susi duduk dan mendengarkan. Wanita ini juga memakai kostum yang sama. Hanya saja, warna jingganya sudah agak pudar, karena baju seragam yang dikenakan Susi sudah berusia genap satu tahun.
Tidak sengaja, mata Dini bertemu dengan pandangan Susi. Dini mengenalinya sebagai karyawan senior di departemen HRD. Tentu saja Lina pun mengenali Susi saat Dini menepuk lengan Lina dan menunjuk ke sudut gerbong.
Kedua karyawan baru itu serempak berdiri dan menghampiri karyawan senior itu, yang seminggu lalu, mendampingi direktur dan mencatat jawaban calon karyawan saat wawancara kerja.
Mereka pun menjadi akrab dan berjanji untuk pulang bersama selepas jam kantor. Susi menawarkan pada kedua juniornya itu, untuk bersama-sama tinggal di rumah kontrakan yang ia tempati.
“Kebetulan ada dua kamar yang kosong. Yang ngisi sebelumnya udah pada nikah, terus resign dari kantor.” Susi bertutur dengan ramah dan terdengar tulus.
Sejak itu, ketiganya selalu menaiki gerbong yang sama, dan duduk berdampingan di setiap pagi. Di sore hari, mereka keluar dari stasiun bersama-sama, hingga tiba di rumah kontrakan.
Karir Lina dan Dini maju pesat secara bersamaan. Promosi demi promosi mereka lalui, dan hanya dalam waktu amat singkat, posisi direktur telah berhasil diraih. Mereka berdua kemudian pergi dari rumah kontrakan dan menyewa apartemen mewah.
Susi pun kembali tinggal sendirian di rumah itu. Di kantor, ia masih bertahan di posisi asisten manager HRD, dalam masa baktinya yang penuh ketulusan, dan jauh dari perilaku kotor dan licik.
Susi berharap, suatu saat akan menemukan seseorang yang berkenan mendampingi hidupnya. Sebenarnya, sudah sebulan ini ia terpesona dengan ketampanan dan keramahan seorang pria, yang kerap ditemuinya di dalam gerbong kereta.
“Hai, namaku Akbar. Siapa namamu?” tanyanya suatu kali.
Sejak itu, mereka menjadi dekat dan akrab. Sosok pria atletis itu mulai mengisi setiap lamunan dan mimpi Susi.
Namun, suatu pagi di hari kerja, Susi terhenyak dan bergegas berbalik keluar dari stasiun kereta, dan memilih menaiki taksi. Di depan rangkaian gerbong, Akbar tengah berdiri membelakangi pintu masuk stasiun. Susi dapat melihat sebentuk wajah bengis, menghiasi bagian belakang kepala pria itu. (*)
Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com