Tiada Kesempatan Kedua
Oleh : Musyrifatun Darwanto
Sepeda berwarna merah yang dikendarai Esok membelah jalanan, Lail yang duduk di boncengan belakang tak henti mengulum senyum. Meski hidup sudah berkecukupan, pasangan pengantin baru itu tetap senang menaiki sepeda berdua, mengenang masa lalu.
“Aku punya kejutan untukmu, Lail,” ucap Esok saat mereka sudah duduk di bangku taman air mancur yang menjadi Landmark kota. Tempat favorit mereka
“Apa?” tanya Lail.
Esok mengangsurkan sebuah kalung dengan liontin inisial huruf L.
“Kalung ini aku buat khusus untukmu. Dengan memakai kalung ini, saat rindu, kamu cukup menyentuhnya sambil mengucapkan namaku, maka otomatis akan langsung terhubung dengan gelangku.” Esok menunjukkan gelang yang melingkar di lengan kirinya. Bersemangat menjelaskan penemuan terbarunya kepada Lail.
“Gelang dan kalung ini hanya ada satu di dunia.” Lanjut Esok lagi.
“Ini … ini serius?” Sebenarnya bukan pertanyaan. Lail jelas tahu bahwa Esok tidak sedang bercanda. Ia hanya ingin memastikan bahwa dirinya memang spesial bagi Esok.
“Tentu saja. Aku tak akan membuat duplikatnya. Karena Lailku juga cuma ada satu di dunia.”
Lail tersipu mendengar kalimat Esok. Dalam hati ia berjanji, akan menyayangi Esok sampai kapan pun.
“Ada yang ingin aku sampaikan, Lail.” Esok berkata lirih, setelah mengumpulkan segenap keberanian dalam dadanya.
“Apa?” Lail menoleh, menatap lekat laki-laki yang duduk di sebelahnya.
“Aku mendapat tawaran untuk mengerjakan proyek besar. Membuat kapal antariksa.”
“Benarkah? Itu sesuai dengan cita-citamu, bukan?” ucap Lail antusias.
“Ya. Tapi itu berarti kita akan terpisah cukup jauh dan dalam waktu yang tidak sebentar.” Esok mengucapkan kalimat itu dengan nada getir.
“Tak apa. Kita pasti bisa.” Lail menepuk pundak Esok, memberinya semangat. Namun, jauh dalam lubuk hati, ia tengah berusaha kuat untuk ikhlas melepas kepergian Esok.
“Terima kasih, Lail.” Esok tersenyum, sangat manis.
Mereka kemudian pulang ke apartemen, menikmati saat-saat sebelum berpisah dengan lenguhan hasrat satu sama lain, seolah enggan saling melepaskan meski hanya hitungan bulan.
***
“Seharusnya dia memberiku kabar, seharusnya dia menghubungiku, bukan diam membisu seperti ini. Lama-lama aku rasa dia menjadi bisu seperti robot-robot yang dia kerjakan.” Lail mengeluhkan sikap Esok kepada Maryam, sahabatnya. Saat itu mereka tengah berada di dalam kamar apartemen milik Esok dan Lail.
“Jangan berburuk sangka pada Esok, Lail. Aku yakin dia bukan bermaksud ingin mengabaikanmu.” Maryam coba menenangkan hati Lail.
“Sudah dua bulan dia tidak menghubungiku, Maryam. Du-a bu-lan.” Lail mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, sementara mulutnya mengerucut.
“Apa kamu mulai meragukan Esok?” Maryam menoleh, menatap Lail dengan seksama.
“Entahlah. Jika dia sayang, seharusnya tidak mengabaikan ….” Lail membenamkan wajahnya ke dalam bantal.
“Astaga, Lail. Aku rasa kamu bukan Lail yang kukenal. Kamu memaksaku datang ke sini hanya untuk mendengarkan tangisanmu, padahal kamu tahu aku sedang menikmati WFH,” ucap Maryam bersungut-sungut.
Di tempat lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempat Lail. Esok masih sibuk berkutat dengan belalai-belalai robot yang terhubung dengan komputer paling canggih saat itu.
Pekan lalu, seharusnya menjadi momen membahagiakan baginya dan Lail. Ia telah berjanji akan menemui Lail tepat akhir bulan. Hal itu ia sampaikan saat terakhir kali mereka bertatap muka lewat layar monitor dua bulan lalu.
Namun, apalah daya, pandemi yang sedang mewabah di seluruh dunia memaksa pemerintah-pemerintah daerah untuk melakukan lockdown. Esok tentu kecewa karena tak bisa bertemu dengan Lail dalam waktu dekat, tetapi ia berbesar hati mentaati peraturan pemerintah demi kebaikan bersama.
“Apakah kamu benar-benar membencinya, Lail?” tanya Maryam.
“Bukan benci, lebih tepatnya aku kecewa.” Lail menjawab dengan wajah datar.
Tanpa Lail sadari, kebersamaan dengan Esok tiga bulan lalu ternyata meninggalkan jejak kehidupan baru dalam rahimnya. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali datang bulan, ketika tiba-tiba Maryam menanyakan stok pembalut, sahabatnya itu ingin menumpang mandi di apartemennya, kebetulan Maryam tengah kedatangan tamu bulanan.
“Pembalut?” Kening Lail berkerut, kemudian tersadar bahwa sudah semenjak kepergian Esok ia belum pernah sama sekali membeli barang kebutuhan para wanita itu.
“Eh … aku lupa belum membelinya. Maksudku, aku sudah lama ….” Lail ragu hendak meneruskan kata-katanya.
“Kamu serius? Astaga, Lail, pantas saja kamu menjadi aneh akhir-akhir ini.” Maryam menepuk keningnya sendiri.
“Apa maksudmu, Maryam?” tanya Lail.
“Kamu tunggu di sini, aku akan ke apotek sebentar.” Maryam bergegas pergi, meninggalkan Lail yang tak habis pikir dengan sikap sahabatnya itu.
***
Lail mengetuk liontin perak berbentuk huruf L miliknya sambil menggumamkan sebuah nama yang sangat ia rindukan.
“Soke Bahtera.”
Sedetik kemudian, sinyal terkirim ke sebuah gelang yang melingkar di lengan Esok. Benda bulat itu berkedip-kedip, langsung tersambung ke layar komputer di hadapan Esok, wajah manis Lail terpampang di sana. Semudah itu cara Lail menghubungi suaminya, tetapi wanita muda itu selalu enggan menghubungi Esok lebih dulu. Ia takut mengganggu pekerjaan Esok.
Namun, kabar bahagia yang ia terima dini hari tadi memaksanya untuk mengetuk liontin huruf L miliknya.
“Halo, Lail. Apa kabar? Akhirnya kalung itu berguna juga buatmu.” Esok tertawa renyah. Wajah pria itu tampak lelah. Rambutnya sudah lebih panjang dari terakhir kali bertemu Lail. Juga kumis dan janggutnya, terlihat berantakan tak terurus.
“Esok … aku punya kabar bahagia untukmu.” Lail tak bisa menyembunyikan raut bahagia dari wajahnya.
“Oh ya? Apa itu?”
“Ini ….” Lail menunjukkan sebuah strip bergaris merah dua.
“Lail. Kamu serius? Kamu tidak sedang berbohong kan?” Mata Esok berbinar-binar. Ia dekatkan wajahnya hingga memenuhi layar tablet dalam genggaman Lail.
“Aku rindu kamu. Aku ingin kamu pulang.” Wajah Lail tiba-tiba berubah sedih. Semenjak ada janin dalam rahimnya, wanita cantik itu menjadi mudah sekali menangis.
“Lail, aku juga rindu. Tapi … kamu tahu kan? Saat ini ….
“Aku mau kamu pulang!” Belum sempat Esok menyelesaikan kalimatnya, Lail sudah lebih dulu berteriak.
Air mata di pipi putih Lail merebak tak terkendali. Ini pertama kali bagi Esok melihat Lail menangis memaksakan kehendaknya. Biasanya, Lail hanya akan menangis jika terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan, seperti saat kehilangan orangtuanya dulu. Hal itu membuat Esok bimbang, antara ingin pulang dan memeluk Lail tapi mengabaikan lockdown, atau tetap di sana dan membiarkan Lail terus bersedih.
“Baiklah, Sayang. Aku akan pulang. Secepatnya.” Esok tersenyum kala melihat Lail mengusap air matanya. Wanita yang tengah hamil muda itu terlihat menggemaskan.
***
Keesokan harinya, Esok tiba di stasiun bawah tanah kota. Pria berperawakan kurus itu segera menaiki taxi yang terparkir tak jauh dari peron kereta bawah tanah.
“Otorisasi kode D210579, aku Soke Bahtera, Pemegang Lisensi Kelas A Sistem Keamanan. Segera meluncur ke apartemen kota unit 38A.” Pintu mobil seketika terbuka.
“Siap melaksanakan perintah, Tuan. Kencangkan sabuk pengaman.” Mesin mobil itu menjawab. Lalu melesat dengan kecepatan penuh menuju apartemen Lail.
[Lail, lima menit lagi aku sampai.] Esok mengirim pesan singkat kepada istrinya.
[Jangan lupa bersihkan dirimu sebelum masuk ke rumah. Aku tidak ingin calon bayi kita bertemu ayahnya yang belum mandi dan bau kentut beruang.]
Esok terkekeh membaca balasan chat dari Lail.
***
“Kamu mau peluk?” Esok merentangkan tangannya ketika Lail membuka pintu apartemen.
“No, No, No. Jaga jarak, Esok. Kamu harus isolasi mandiri selama dua minggu.”
Esok tertawa. Ia gemas ingin segera mencium pipi putih istrinya itu.
“Aku sudah menyiapkan kamar untukmu.” Lail menunjuk kamar yang berada di dekat ruang tamu.
“Baiklah, Sayang.” Esok memajukan bibirnya.
Lail tersenyum geli.
Meskipun rindu, pasangan suami istri itu tetap menjaga jarak walaupun tinggal dalam satu atap. Awalnya, tak ada gejala mencurigakan apa pun yang muncul pada Esok, hingga hari kesepuluh setelah kedatangannya, Esok batuk dan merasakan sesak pada pernapasannya.
“Kita harus segera ke dokter, Esok.”
Mereka lantas menuju rumah sakit terdekat. Di sana, seluruh petugas medis mengenakan hazmat suit lengkap. Lail bahkan tak diperbolehkan masuk ke dalam ruang periksa.
Hasil swab test laboratorium keluar dua jam kemudian, Esok positif terjangkit Covid. Kuat dugaan, ilmuwan muda itu terpapar virus saat dalam perjalanan dari luar kota, sepuluh hari lalu.
Lail tak kuasa menahan air matanya untuk tidak tumpah. Wanita muda itu menyesali dirinya yang memaksa Esok untuk pulang sebelum habis masa lockdown. Ia mengabaikan keselamatan Esok hanya demi keegoisannya.
“Maafkan aku, Esok. Seharusnya aku tidak memaksamu.” Wajah Lail basah oleh air mata.
“Hei, kamu tidak salah, Lail. Aku justru bahagia saat kamu memaksaku pulang. Itu artinya kamu benar-benar rindu aku ‘kan?” Esok melambaikan tangan ke depan tablet. Saat ini ia tengah berada di ruang isolasi rumah sakit. Kembali ia dan Lail hanya bisa bertatap muka lewat layar.
“Aku mencintaimu, Esok.” Lail menyeka air matanya menggunakan punggung tangan.
“I love you, more. Jaga diri baik-baik. Kamu harus terus berbahagia, agar Soke Bahtera kecil dalam perutmu juga bahagia.”
“Pasti, Sayang.”
***
Maryam merengkuh bahu Lail. Sudah dua jam sahabatnya itu terus memeluk gundukan tanah basah di hadapannya.
“Esok pasti sudah bahagia di sana. Kamu juga harus menjaga kesehatan. Ingat janin yang ada dalam kandunganmu ….” ucap Maryam.(*)
Indragiri hilir, 8 Juli 2020
Cerita ini merupakan fanfiction dari buku Tere Liye berjudul Hujan.
Musyrifatun, Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman.
FB : Musyrifatun Darwanto
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata