Penulis: Misti Kurniaa
“Begini, Dim. Aku bukan mau ngompor–ngomporin kamu lho. Aku juga korban. Kita korban. Kamu ndak bisa ambil keputusan sendiri gini. Sebagai kader juga, kamu harus ikut!” ujar Karto temanku yang juga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan saat perjalanan pulang, bakda zuhur.
“Tapi, Tok. Aku ndak bisa. Aku ndak pernah diajarkan demonstrasi, protes atau … yah, yang begitu-begituanlah sama orang tuaku. Aku juga ndak mau tau gimana caranya.”
“Dim, ini bukan urusan ndasmu dewe. Ini urusan kita sebagai mahasiswa, sebagai anggota mahasiswa, apalagi kamu itu aktivis, syukur-syukur kita mewakili suara rakyat awam toh, Leh!” Karto memegang pundakku. Suaranya terdengar halus sekali.
“Ndak Tok. Aku ndak mau ikut.”
***
Ini malam kesepuluh sejak aku direkrut menjadi anggota himpunan mahasiswa jurusan. Rasanya, jauh lebih menegangkan. Pukul dua malam ini, Karto meneleponku. Dengan malas-malasan, aku bangun dari tidur dan menjawabnya.
“Dimas, kamu di rumah ndak?”
“Yaiyalah, aku mau tidur, Tok!” Mataku masih mengatup.
“Yo, wes. Besok tak tunggu di kampus jam enam pagi. Jangan telat!”
“Hah…! Moh, masih pagi betul itu, Tok. Mau ngapain kamu?!” Mataku tiba-tiba terbuka.
“Pokoknya, kamu datang aja, Dim. Tak tunggu lho!”
Klik! Telepon mati. Dan sialnya, aku tidak bisa tidur lagi.
Mengapa Karto…? Jam enam pagi…? Kampus…? Apa ini tentang demonstrasi kemarin? Atau…? Tapi, sudah kubilang tidak. Masih mau…?
***
Hari ini adalah kali pertama aku datang ke kampus sebegini pagi. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan Karto. Kami bertemu di depan gedung kuliah.
“Kau datang Dim.”
“Lalu, kau mau apa, Tok? Kenapa kau suruh aku datang. Ini libur kuliah, kamu tau ‘kan?”
“Iya, Leh. Tenang dulu. Ayo, kita ke musola saja. Banyak anak-anak lain yang sudah menunggu,” dengan santai Karto mengajakku, memegang bahuku. Memangnya, menunggu apa?
Sesampainya di musala. Banyak sekali mahasiswa yang menggunakan almamater. Ricuh sekali.
“Tok, sudah kubilang kemarin. Aku ndak mau ikut.” Kupegang bahunya, semoga dia mengerti betapa aku menolaknya.
“Ndak bisa, Dim. Semua mahasiswa himpunan harus ikut. Nanti kamu ditanya soal solidaritasmu, pertanggungjawabanmu, belum lagi kamu harus hadapi kakak tingkat di sini. Ayolah!”
“Memangnya, untuk apa unjuk rasa begitu? Kita dapat untung apa?” darahku mulai menghangat.
“Kamu akan tahu untungnya apa, kalo kamu sudah pengalaman, Dim!” raut wajah Karto mulai berubah dan kekhawatiranku memuncak, kalau-kalau ia membenciku pascaperdebatan ini.
“Aku sudah bisa bayangin, Tok…” Aku hanya mencoba mengerucutkan perselisihan.
“Dimas, kita itu mahasiswa, salah satu fungsi kita adalah mengawasi kinerja pemerintah. Kamu ingat, siapa yang menyuarakan turunnya Soeharto? Mahasiswa! Kita harus berperan aktif, Dim. Kamu, jadi kerbau dicucuk hidungnya, mau kamu?” Karto mulai mencari dalih-dalih untuk membujukku.
Sebetulnya banyak sekali sanggahan yang ada di pikiranku untuk menjadikannya pembelaan mengenai semua teori Karto. Untung kau temanku, Tok!
Aku menggeleng… mengangguk-angguk… menggeleng lagi… lalu mengangguk lagi. Hanya itu. Dan, setelah mengikuti semua pejelasan Karto tentang peristiwa dari tahun sekian ke tahun kesekiannya, aku memutuskan untuk ikut saja dengan alasan pertemanan. Walaupun dengan separuh hati, setengah niat, dan sebilah setuju.
Waktu bersuka ria bersama menit dan detiknya. Obrolan kami pun tak kunjung bertemu dengan intinya. Pun kedua jarum jam terus menari hingga melewati angka delapan. Kami pergi menuju sebuah gedung… Ah, aku lupa nama gedungnya.
Orasi dimulai. Semua caci-maki untuk pemerintah, semua fakta, tuduhan, fitnah, dan keburukan lainnya, ditambah gambaran-gambaran rakyat yang menderita, kesemuanya itu diutarakan dengan fasih. Sang orator sungguh percaya diri menilai kinerja para pejabat, dan lain-lainnya. Inilah hal yang paling membuatku ingin muntah. Semuanya sok nasionalis, sok patriotis, dan sok-sok yang lain.
Aku ditarik oleh Karto ke tengah-tengah kerumunan mahasiswa yang berteriak mengikuti kata-kata orator. Aku bertemu dengan mahasiswa cantik yang sama sepertiku: tidak menyukai hal seperti ini.
“Kamu, ndak teriak juga?”
“Ndak. Kamu ndak ikutan angkat tangan, Mbak… Hm, Mbak Melly?” setelah kulihat papan nama di almamaternya.
“Aku sih kurang suka yang beginian. Kalau bukan karena profesionalisme di organisasi saja, aku malas datang. Ya, kadang harus berkorban demi sebuah status ‘kan? Meskipun kita ndak suka. Haha.” Oh Tuhan, tawa kecilnya sungguh memesona. Apakah ini bagian dari keuntungan mengikuti unjuk rasa?
“Haha… kadang memang begitu.” Kami pecah, seperti gelembung tipis yang bertabrakan. Keduanya menjadi percikan air. Oh, seketika imajinasiku menuju musim semi.
***
Tidak dinyana, Karto diamanahi oleh kakak tingkat untuk menggantikan sang orator yang kerongkongannya tersedak di tengah-tengah pidatonya. Sulit dipercaya.
“Tok, kamu?” aku tidak bisa berkata-kata.
“Kita harus bangkit, Dim, sebagai orang yang berpendidikan, cerdas, kita wajib mengkritisi ‘orang-orang di atas’ itu.”
“Ya, ya, ya, terserah kamu lah, Tok.” Lalu, Karto pergi mengambil alih pengeras suara dan mulai beraksi.
Mungkin di antara peserta unjuk rasa, akulah yang paling apatis. Oh tidak, masih ada Melly. Setidaknya kami punya tujuan dan prinsip yang sama. Kami bersimpati terhadap situasi negeri, tapi kami tidak ingin menambah luka dan melecutinya lewat unjuk rasa. Pasti ada cara lain yang lebih terhormat untuk mengutarakan isi hati, masih ada cara yang lebih bermutu untuk mengkritisi kinerja pemerintah.
“Benar ‘kan Melly?”
“Ah, apa?” kedua alisnya seolah berusaha menyatu.
“Haha, sudah. Kau pasti bosan. Ayo kita pergi dari kerusuhan ini.”
“Ndak bisa, Dim. Aku bisa bagi urusan pribadi dan urusan organisasi. Kalau kamu mau pergi, silakan. Haha…” Lagi-lagi tawanya menggelitik hatiku.
“Oh iya, aku tak ingat… baiklah, tidak jadi saja.” Aku tak ingin pergi sendirian.
Banyak hal yang kami bicarakan di tempat itu, aku dan Melly. Mulai dari tugas kampus, dosen favorit, badan eksekutif, koruptor, hingga kabut asap pun kami perbincangkan. Asyik sekali.
***
Acara selesai. Sepertinya Karto telah puas menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Kami pulang.
“Kenapa kamu, Tok?”
“Hari paling bersejarah dalam hidup ini, Dim!” Wajahnya tersipu. “Ohya, bagaimana menurutmu? Sudah dapat keuntungannya?”
“Haha. Iya, sudah, Tok!”Aku merasa sesuatu sedang mengusik telapak kakiku, menggelikan sekali. “Oh ya, kapan lagi ada demonstrasi seperti ini?”
“Wah, ketagihan kamu, Dim?”
“Iya, Tok. Siapa tahu bisa ketemu lagi…”
“Maksudnya, Dim?”(*)
Palembang, 16 Oktober 2015
Misti Kurniaa, mahasiswi Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Berminat di bidang situs web, desain grafis, dan musik. Penyuka pelabagai jenis kopi seduh, kopi instan, dan inovasi kopi yang lain. Ia juga perindu akut.
FB: Misti Kurniaa