Putri Kesayangan Ayah
Oleh : Medina Alexandria
Suci meletakkan ponsel di sisi bantal sesaat setelah sang ayah mengakhiri panggilan. Ini adalah percakapan telepon keempat antara ayah dan anak itu pada hari yang sama. Tak ada yang penting, Rahman hanya menanyakan keadaan Suci: apakah putrinya ini sudah makan dan tidak lupa meminum vitamin? Apakah Kota Batu sangat dingin? Tak lupa juga dia mengingatkan untuk selalu mengenakan jaket, memakai lotion anti nyamuk, dan masih banyak lagi daftar pertanyaan ataupun “perintah” Rahman untuk memastikan sang putri baik-baik saja.
Sejak kecil Suci sering sekali sakit. Nyaris tiap bulan Rahman membawanya ke puskesmas karena panas, batuk, pilek, dan terkadang juga diare. Bahkan yang paling parah, ketika usianya menginjak bulan ke-18, gadis kecil itu dilarikan ke rumah sakit karena infeksi paru-paru. Menurut dokter daya tahan tubuh Suci tidak begitu baik sehingga rentan terserang penyakit infeksi, dan kondisi yang kemungkinan disebabkan karena dia terlahir sebelum waktunya.
Lepas dari masa balita, berangsur kesehatan Suci membaik, sesekali terserang flu, tapi tak sesering dulu. Namun sang ayah tidak sedikit pun melonggarkan perlindungan terhadap putri kecilnya.
“Suci, jangan main tanah! Ayo cuci tangan!” perintahnya saat melihat Suci menyendok-nyendok tanah kemudian menuangkannya ke dalam mangkuk plastik di halaman.
Begitu pun saat teman-temannya mengajak bermain, sang ayah selalu mengingatkan agar mereka tidak bermain di bawah terik mentari, boleh bermain asal di teras rumah, jangan lari-larian, jangan kotor-kotor, dan lain sebagainya. Suci sudah sangat hafal—juga bosan—mendengar perintah-perintah juga larangan-larangan itu. Tak jarang bibir mungilnya bergerak-gerak menirukan ucapan Rahman.
“Ayahmu sayang banget sama kamu, ya, Ci,” ucap Tari sesaat setelah Suci menghempaskan badan ke atas tempat tidur hotel tempat mereka menginap.
Suci menarik selimut setinggi dada kemudian berbaring. Suci membalas kata-kata Tari dengan seulas senyum, kemudian mengusap sudut matanya yang sering berair sejak dia menggunakan protesa mata dengan sapu tangan.
Ya, Suci memang anak kesayangan Rahman.
****
Fatimah sungguh bahagia atas diagnosa kehamilan yang menurut bidan telah menginjak usia delapan minggu. Dia tak sabar ingin mengabarkan pada sang suami bahwa dalam perutnya kini bersemayam calon buah hati mereka berdua. Hatinya berbunga-bunga karena sebentar lagi, tangis juga celoteh seorang bayi akan menghidupkan hari-harinya.
Dia sambut kedatangan Rahman dengan senyum mengembang, menggamit lengan sang suami dan membawanya duduk di ruang tamu. Mereka duduk berdampingan, wanita yang tak sabar ingin menyampaikan sebuah kabar gembira itu meraih kedua tangan lelakinya kemudian menautkan jari-jari mereka. Rahman mengernyit heran melihat ekspresi Fatimah yang tak biasa.
“Aku hamil, Mas,” ungkapnya. Seulas senyum terbit di ujung bibir Fatimah sementara binar-binar bahagia terpantul jelas dalam bening matanya.
“Alhamdulillah ….”
Segera direngkuhnya istri yang baru sembilan bulan dia nikahi, perempuan yang akan menghadiahinya seorang buah hati. Kemudian dibelainya kepala Fatimah dengan lembut. Mereka tersenyum dalam diam untuk beberapa lama sebelum tiba-tiba Fatimah merasa pelukan suaminya melonggar.
“Kenapa kau bisa hamil sedang aku jarang pulang?”
Rahman mencengkeram bahu Fatimah kemudian menolaknya sejauh jangkauan lengan. Perempuan mungil itu mengernyit, menatap linglung pada sang suami yang dadanya turun naik kian cepat.
“Ma-maksudmu apa, Mas?”
“Aku ragu, anak dalam perutmu itu anakku.”
“Astagfirullah ….”
Fatimah membekap mulut dengan kedua tangan, bibirnya bergetar hebat menahan gumpalan yang terasa kian membesar dan mengimpit dalam dada. Hingga akhirnya pertahanan wanita itu runtuh bersama derasnya air mata. Dia tergugu sementara Rahman beranjak dengan kasar ke dalam kamar.
***
Pada musim penghujan di mana hasil bumi para peladang tadah hujan melimpah, lelaki itu menjadi jarang berada di rumah, pekerjaannya sebagai kenek truk pengirim sayur ke luar provinsi membuatnya lebih sering berada di jalan. Rahman pulang setiap tiga hari, itu pun sekadar istirahat melepas penat di malam hari. Saat fajar tiba dia kembali merajai jalanan bersama sang sopir.
“Jangan keluar rumah bila tak benar-benar diperlukan,” pesan Rahman sesaat sebelum berangkat.
Fatimah memilih tidak berdebat, dia paham betul lelah sang suami dalam mencari nafkah, perempuan itu tak ingin membebani lelakinya bekerja dengan hati bergejolak. Maka dipatuhinya setiap perkataan Rahman agar lelaki itu tenang dalam perjalanan. Sebenarnya, sangat ingin dia katakan betapa bosan dia selama sang suami tak ada. Sesekali Fatimah ingin bersosialisasi dengan ibu-ibu lain di sekitar rumah mereka, tapi dia teringat pesan Rahman.
Setelah urusan dalam rumah selesai, Fatimah menyibukkan diri dengan memperindah pekarangan di depan kontrakannya yang sempit. Menanam beberapa bunga dan sayuran dalam wadah-wadah bekas. Sering kali perempuan yang baru sembilan bulan dipersunting Rahman itu teringat akan orang tua dan saudara-saudaranya, tapi tak ada yang mampu Fatimah lakukan, butuh sepuluh jam perjalanan untuk mereka bisa saling melepas rindu. Sembilan bulan menikah, sembilan bulan pula dia berpisah dengan keluarga, hari ketiga setelah acara ijab kabul Rahman memboyongnya ke perantauan tempat mereka mengadu nasib saat ini.
***
Malam merangkak lambat, Fatimah telah lelah menangis, dia tertidur dengan mata sembap di kursi ruang tamu, sementara itu suaminya belum juga terlelap. Rahman berbaring terlentang di atas pembaringan dengan kedua tangan menopang kepala di atas bantal, matanya menatap hampa langit-langit kamar.
Azan Subuh berkumandang, Rahman bangkit dari tempat tidur lalu melangkah keluar kamar. Lelaki itu tertegun sejenak melihat Fatimah meringkuk di kursi panjang ruang tamu, terbayang kembali wajah sang istri saat mengabarkan kehamilannya. Amarahnya kembali tersulut. Mengingat sudah lama Rahman merasa tidak menyentuhnya, dia semakin yakin bahwa Fatimah telah berhubungan dengan lelaki lain saat dia tidak di rumah. Lelaki muda itu mengumpat pelan kemudian bergegas membersihkan diri lalu pergi tanpa membangunkan perempuan yang sampai detik ini masih sangat dia sayangi.
***
Fatimah membuka mata, pandangannya terarah pada jarum jam di dinding ruang tamu. Detik kemudian dia bangkit, sedikit terhuyung tapi dia memaksakan langkah, bergegas menuju kamar tempat Rahman beristirahat tadi malam setelah pertengkaran mereka. Pagi telah berlalu dan dia belum memasak untuk makan pagi sang suami.
Kamar itu kosong. Tentu saja. Tanpa harus memeriksa pun Fatimah tahu dia sudah terlambat. Mendapati kenyataan bahwa sang suami pergi tanpa pamit, seketika kedua kaki Fatimah kehilangan kekuatan, tubuh mungilnya terkulai menyentuh lantai. Dia kembali tersedu. Kebahagiaan akan datangnya buah hati musnah dalam sekejap, berbalik menjadi duka karena tuduhan keji dari satu-satunya lelaki yang sangat dia cintai.
Lonjakan hormon kehamilan diperparah dengan tekanan batin membuat lambung Fatimah tak mampu menerima apa pun. Jangankan menelan, menghidu aroma makanan saja, perutnya langsang menolak.
“Mbak, dipaksa makan, ya. Apa pun yang bisa masuk, dimakan aja. Berat badan Mbak Fatimah sudah turun lima kilo, lho. Kalau nutrisi tidak terpenuhi selain berisiko untuk sampean sendiri, kesehatan janinnya juga terpengaruh, bisa terlahir kecil, bahkan cacat.”
Fatimah mengangguk pelan. Memaksakan senyum saat bidan menjelaskan kondisinya. Wanita itu melangkah letih, pulang membawa beberapa vitamin dan pengurang mual.
***
Lelaki itu mendapati istrinya terbaring dalam posisi miring berbantal kedua tangan di kursi ruang tamu—yang beralih fungsi menjadi tempat tidur sejak pertengkaran mereka merebak. Rahman menyapukan pandangan dan disadarinya tubuh mungil sang istri kian ringkih, tulang pipi yang entah sejak kapan menjadi sangat menonjol, jari-jari tangannya seolah hanya tersusun dari belulang berbalut kulit. Daster batik yang beberapa bulan lalu dia beli di pasar tempatnya mengirim sayur terlihat sangat longgar di tubuh Fatimah. Pandangan Rahman terhenti di bagian perut, seketika darahnya menggelegak, jantungnya berdentam-dentam. Ingatan akan adanya janin dalan laki-laki lain dalam rahim istrinya membuat urat nadi Rahman berdenyut kian cepat.
“Mas ….”
Rahman tak menyadari sejak kapan istrinya terbangun. Sebelum sempat beranjak, jari-jari ringkih itu menahan dan mencengkeram pergelangan tangannya. Fatimah menatap suaminya lekat, berharap menemukan sisi lembut yang mungkin bisa dia temukan di balik kobaran api amarah dalam mata lelaki di hadapannya. Cengkeraman tangan Fatimah terlepas sekali sentak, dia terhuyung tapi segera mengejar Rahman yang berjalan cepat menuju kamar.
“Cukup, Mas! Aku sudah cukup lama bersabar, tapi kau tak sedikit pun menyadari kekeliruanmu. Aku patuh padamu, Mas. Kau minta aku jangan keluar rumah, aku turuti. Kau bilang tak baik kumpul-kumpul dengan ibu-ibu tetangga, aku hindari. Dari mana kau punya pikiran aku berselingkuh?”
Rahman bergeming.
“Aku bersumpah, aku tak mengkhianatimu, Mas. Tunggu. Tunggulah sampai anak ini lahir, dia akan terlahir mirip seperti ayahnya. Dia akan terlahir persis sepertimu!”
Bibir Rahman terbuka, matanya membulat sempurna. Sungguh tak disangka istrinya yang lemah lembut akan sembrono dengan ucapannya.
Hari berganti minggu, minggu mencapai bulan, usia kandungan Fatimah kini menginjak usia kedelapan. Akhir-akhir ini pinggangnya sering terasa sakit juga perutnya berkontraksi. Seperti anjuran bidan, dia beristirahat lebih banyak agar tidak terjadi persalinan prematur.
Jam di dinding ruang tamu menunjuk pukul sembilan saat kontraksi yang sangat kuat membangunkan Fatimah yang sengaja tidur lebih awal. Wanita itu mendesis kesakitan. Tertatih dia menuju kamar, tapi tak dijumpainya sang suami. Malam ini harusnya Rahman sudah pulang.
Di sela kontraksi, Fatimah menggelar tikar di lantai kamar, menurunkan beberapa bantal dari tempat tidur kemudian menumpuknya pada bagian hulu tikar. Wanita itu berbaring setengah duduk, meletakkan punggung senyaman mungkin pada tumpukan bantal.
“Ke mana kau, Mas. Anak kita mungkin akan segera lahir. Datanglah, Mas Rahman, tolong panggilkan bidan kemari,” desisnya.
Malam merangkak naik, Fatimah semakin panik, kontraksi rahim yang semakin kuat serasa mematahkan tulang belakangnya, keringat terlihat menetes-netes dari keningnya.
Sementara istrinya kesakitan, selesai memandikan truk, Rahman enggan melangkahkan kaki menuju rumah. Kontrakan itu terasa bagai neraka baginya, cinta telah pergi, menyisakan hati yang membenci. Dia memilih berbaur dengan beberapa lelaki di pos ronda setelah memesan segelas kopi di warung yang berada tak jauh dari sana.
***
Sayup-sayup Rahman mendengar suara rintihan dari dalam kamar, bergegas dia membuka pintu dan mendapati pemandangan paling mengerikan yang pernah dia saksikan selama hidup. Fatimah tergolek bersimbah darah di lantai, cairan merah pekat menggenang membasahi kain alas, mengalir jauh melewati tepian tikar. Seorang bayi mungil berselimut lemak putih merintih di atas kedua pahanya.
“Fatimah! Fatimah! Bangun! Bangun, Sayang!”
Tanpa peduli akan darah yang menggenang, Rahman bersimpuh di sisi sang istri, memeluknya erat lalu menepuk-nepuk pipinya. Fatimah membuka mata perlahan, seulas senyum tersungging pada bibirnya yang pucat.
“Tunggu sebentar, Sayang. Aku panggilkan bidan.”
Secepat kilat lelaki yang sedang panik itu melajukan sepeda motornya yang terparkir di teras rumah. Rumah bidan tidak terlalu jauh, ditempuh hanya sekitar lima menit.
Sesampainya di rumah Rahman, dengan cekatan bidan itu memotong tali pusar bayi, membungkusnya dengan kain dan selimut, kemudian menyerahkan pada sang ayah.
Di bawah perabaan jari-jarinya, bidan itu tidak merasakan denyut nadi pada lipatan siku Fatimah, dia beralih pada nadi leher. Sejurus kemudian wanita itu menempelkan stetoskop di dada pasiennya.
“Maaf, Mas Rahman. Mbak Fatimah sudah tiada,” ujarnya dengan nada penuh empati.
Rahman melolongkan suara tangis paling pilu, direngkuhnya kepala Fatimah dengan satu tangan sementara tangan kanannya menggendong bayi mereka.
“Bangun, Fatimah! Jangan pergi, Sayang! Jangan tinggalkan Mas, Fatimah, Fatimah ….”
***
Laki-laki itu berjongkok di sisi makam istrinya, dia tak sendiri, seorang bayi mungil tampak nyaman terlelap dalam dekapannya.
“Fatimah, Suci genap berusia empat puluh hari saat ini. Benar katamu sayang, dia sangat mirip denganku, dagunya, bibirnya, hidungnya ….”
Setitik air mata membasahi mata kanan Rahman, tubuhnya terguncang menahan tangis. Bayi dalam dekapannya bergerak-gerak kemudian membuka mata kanannya. Hanya mata kanan, karena dia terlahir dengan satu mata, sedang kelopak mata kirinya saling melekat. Seperti mata sang ayah.
“Kau benar, Fatimah. Suci memang anakku.” (*)
Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata