Sesal
Oleh : Monica Silvi Arinta
Tanah kuburan itu masih belum kering, bunganya juga baru ditabur. Hasan beberapa kali mencium pusara sang istri. Ia meratap, menyesali perbuatannya selama ini. Di sampingnya ada anak kecil, yang sedari tadi memperhatikan Hasan, ia masih belum mengerti, apa yang terjadi. Husni, putra Hasan yang masih berusia tiga tahun, tak hentinya bertanya, di mana ibunya? Namun, pertanyaannya tak dijawab oleh Hasan. Segera ia menggendong Husni, menjauh dari pusara sang Ibu.
Hasan masih belum percaya, jika istrinya pergi secepat itu. Ia mengingat kembali perlakuannya kepada Marni.
“Marni! Bikinin kopi!” teriak Hasan yang saat itu berada di ruang tamu.
Marni dengan tergopoh, menuju dapur, membuatkan secangkir kopi untuk sang suami. Tak lama kemudian ia ke ruang tamu, membawa cangkir, yang masih berasap itu. Suaminya segera minum, dan tak lama ia menyemburkannya ke wajah Marni.
“Kopi apaan ini? Nggak kamu kasih gula ya?” bentak Hasan kepada istrinya.
“Dikasih, kok, Bang, tapi cuma sedikit, soalnya kita kehabisan gula,” jawab Marni sambil menunduk, membersihkan wajahnya yang terkena semburan kopi sang suami.
“Halah, alasan. Bilang aja kalau kamu nggak ikhlas buatin aku kopi,” ucap Hasan sambil membanting cangkirnya ke lantai. Marni hanya mengelus dadanya, beristighfar di dalam hati. Ia harus sabar kepada suaminya. Bagaimanapun juga, Hasan adalah imamnya.
Sesak kembali yang Hasan rasakan saat mengingat perlakuannya kepada sang istri. Marni bahkan tidak pernah melawan sedikit pun, meskipun ia disakiti, Marni tetap diam. Segera ia menggendong Husni, yang sedari tadi masih merengek bertanya ibunya. Hasan sangat bingung, bagaimana ia menjelaskan kepada Husni tentang Marni?
Pagi buta, Hasan sudah terbangun, dinginnya subuh tidak ia hiraukan. Dapur adalah tujuan utamanya. Ia membuka lemari kecil, tempat istrinya biasa menyimpan bahan makanan. Di sana hanya ada dua mi instan dan beberapa telur. Hasan mencoba mengolahnya menjadi omelet, lauk kesukaan Husni. Sebelum membuat lauk, Hasan menanak nasi terlebih dahulu.
Setelah selesai memasak, ia membangunkan Husni. Mengajaknya sholat, karena itulah yang selama ini Marni lakukan. Mengajak Husni ibadah, walaupun ia masih kecil. Tapi Hasan tak pernah mau, jika diajak berjamaah, ia lebih memilih meneruskan tidurnya. Tapi sekarang ia sadar, hanya itu satu-satunya cara untuk bisa selalu mendoakan sang Istri. Selesai sholat, Hasan menggendong Husni menuju ruang makan.
Hasan melihat putranya seperti tak selera memakan masakannya.
“Pak, nasinya keyas, teyus lauknya gak enak,” kata Husni sambil menangis. Hasan pun mencoba mencicipi. Dan benar, nasinya keras, seperti kurang air, dan lauknya hambar, ia lupa memberinya garam.
“Ya udah, Husni habis ini Bapak masakin mi aja, yah,” kata Hasan menghibur putranya agar berhenti menangis.
“Gak mau, Uni maunya dimacakin ibu,” kata Husni masih menangis, malah semakin kencang. Hasan bingung harus bagaimana membujuk putranya. Padahal selama ada Marni, ia tak pernah rewel. Jarang sekali mendengar tangisannya. Di tengah kebingungannya menghadapi Husni, ia mendengar ada yang mengetuk pintunya.
“San, ini ibu tadi masakin Husni ayam, bisa buat makan sampai sore,” kata Mak Sarti, ibu mertua Hasan. Ia melangkah ke dalam rumah, menuju meja makan. Melihat Husni menangis, Mak Sarti menggendongnya, lalu dengan cepat membuka rantang yang ia bawa. Mak Sarti segera menyuapi Husni.
“Enak Uti, tadi Bapak macak ndak enak, keyas,” kata Husni sambil melahap masakan neneknya. Mak Sarti hanya menggeleng dengan sesekali melirik Hasan yang sedari tadi hanya memperhatikan putranya itu.
“Mak, maafin Hasan, selama ini Hasan sudah gagal menjaga Marni,” kata hasan kemudian sambil bersimpuh di kaki Mak Surti yang masih menyuapi Husni.
“Sudahlah, San. Jadikan ini pelajaran, semoga dengan meninggalnya Marni, kamu bisa sadar,” ucap Mak Sarti, suaranya pelan tapi tegas.
“Iya, Mak, Hasan bener-bener menyesal,” ucap Hasan.
“Menyesal pun tidak akan membuat Marni hidup kembali,” kata Mak Sarti, kali ini suaranya sedikit bergetar.
“Lebih baik, sekarang kamu rawat anakmu ini, jaga dia baik-baik. Mak hanya bisa membantu menjaga saat kamu kerja nanti,” lanjut Mak Sarti. Hasan mengangguk lemah. Ia kembali berdiri, mengusap air matanya. Setelah selesai menyuapi Husni, Mak Sarti pamit pulang. Ia harus pergi ke ladang menemani suaminya.
Kini Hasan hanya bisa menyesal, sudah menjadi suami yang gagal. Istri yang seharusnya ia kasihi, tapi malah ia sia-siakan. Nafkah lahir dan batinnya tidak pernah Hasan penuhi. Harta yang ia miliki sekarang, hanya Husni. Putra yang harus ia rawat, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan kekerasan. (*)
Monica Silvi Arinta, ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luang dengan membaca, dan menulis. Serta masih butuh banyak bimbingan.
Editor : Evamuzy
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata