Air Mata Zahira (Episode 5)

Air Mata Zahira (Episode 5)

Air Mata Zahira (Episode 5)

Oleh : Zalfa Jaudah Jahro

 

“Kita pulang dulu, Ra,” ujar Tian disertai anggukan oleh Figo.

“Om pasti sering main ke sini,” lanjut Figo seraya mengelus pucuk kepala Zahara dengan sangat lembut.

Zahira mengangguk. Meski tidak lama menemaninya, kekuatan rasa persahabaatan antara Zahira, Tian, dan Figo sangatlah melekat sehingga Zahira pun merasa lebih baik.

“Jangan lupa minggu depan, Ra.”

“Iya, tenang aja kali.” Tian dan Figo tertawa lepas. Meski usia mereka tidak lagi muda, tetapi tingkah mereka saat bersama tidak pernah berubah.

Sebelum pergi, mereka memberikan satu buah kartu nama yang bertuliskan nama seseorang yang pernah singgah di hati Zahira. Senyum yang merekah seketika hilang begitu saja. Apa yang mereka maksud?

“Nanti kamu akan tahu, Ra. Kita pamit.”

***

Muhammad Aldean Edima.

Nama yang tertera pada kartu nama itu membuat pikiran Zahira melayang jauh ke masa lalu yang tentu saja membuat ia sedikit geli ketika mengingatnya. Aldean ialah sosok yang pernah mengisi ruang hati Zahira. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Zahira hanya sekedar mengaguminya. Saat itu, ia merasa tidak pantas untuk menyukainya. Bagaimana tidak? Aldean ialah sosok yang berbeda dibandingkan sekian banyak lelaki lain. Meski begitu, cinta yang ia miliki tidak akan pernah berpindah dari nama yang selalu Zahira sebut dalam doa. Dia, Mas Samudra.

Pertemuan Zahira dengan Aldean dapat dikatakan sangat aneh. Kala itu, Zahira terlambat mengikuti pelajaran. Namun, dengan santai Aldean memasuki kelasnya seraya mengatakan, “Tolong izinkan Zahira mengikuti pelajaran.”

Seketika, lamunan Zahira pecah saat dering ponsel terdengar. Sebuah pangilan suara masuk dari nomor yang tidak dikenal. Segera ia angkat panggilan suara tersebut, khawatir jika panggilan suara itu penting.

“Halo,” sapa Zahira penasaran.

“Zahira ….”

Oh, Tidak! Zahira sangat mengenal suara itu!

“Turut berduka cita atas meninggalnya suami kamu.” Suara itu terdengar sangat tercekat.

Saat Zahira menyamakan nomor telepon si pemanggil itu dengan nomor yang ada pada kartu nama, ternyata benar. Si pemanggil itu Aldean!

“Terima kasih.” Zahira menjawab pelan seraya memejamkan mata.

“Aku Aldean … apa kabar?”

“Al … aku—aku baik,” ujar Zahira terbata.

“Lama tidak bertemu dengan keluarga kecilmu. Namun, ternyata suamimu telah berpulang.”

“Sudah saatnya.”

“Maaf menganggu, aku hanya berniat untuk menyampaikan bela sungkawa.” Panggilan terputus begitu saja.

Mengapa semuanya sangat mendadak?

Apa yang sebenarnya semesta rencanakan untuk Zahira?

Setelah Tian dan Figo pergi, Zahira kembali berjalan menuju kamar. Mengurung diri berteman sepi. Ia berusaha tenang kala kesedihan itu kembali menghampiri. Berusaha rela, kala kenangan manis itu dapat ia bahas bersama Tian dan Figo. Mereka sangat mengerti Zahira. Tian dan Figo tidak pernah membiarkan Zahira berjalan sendiri sejak rasa yang ia miliki untuk Mas Samudra kian membelenggu.

Lalu, mengapa Aldean kembali?

Kenangan itu sudah Zahira kubur dengan sangat dalam. Aldean bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Ia hanya angin, yang kehadirannya hanya sesaat dan sama sekali tidak memilliki kesan yang begitu dalam. Aldean tidak dapat menggantikan pesona Mas Samudra. Rasa kagum itu hanyalah sesuatu yang Zahira rasakan dalam sesat.

Jika Tuhan memberi Mas Samudra kesempatan untuk hidup lebih lama, Zahira sangat yakin, ia tidak akan lepaskan raganya dari pelukan. Mas Samudra berbeda! Ia benar-benar lelaki yang memantapkan hati Zahira untuk dapat menetap dengan satu nama. Namun, di saat Zahira sadar bahwa jiwa itu benar-benar telah pergi bersama raganya, Zahira hancur. Luka yang menusuk dalam hatinya tidak dapat terhapuskan.

Hingga akhirnya, lambat laun Zahira dapat kembali mengerjakan pekerjaan rumah. Mama pulang beberapa hari setelah Zahira dapat membiasakan diri melanjutkan kehidupan yang awalnya terasa sangat tidak berarti setelah kepergian Mas Samudra. Kini, pagi hari Zahira habiskan untuk membuat sup ayam kesukaan anak-anak. Meski semua terasa berbeda—sup ayam itu tidak senikmat saat sosok itu masih ada di sisinya.

Selepas memasak, Zahira berjalan menuju kamar kedua putra kembarnya untuk membangunkan mereka. Berharap cemas agar mimpi buruk tidak akan lagi menimpa mereka. Sudah beberapa waktu, Kanth dan Ethan menangis setiap malam. Entah apa yang terjadi, mereka selalu bungkam, tidak mau membuka suara. Yang ada hanya air mata yang membuat Zahira resah.

“Selamat pagi, Sayang … Kanth bangun, yuk.” Sisa air mata Kanth masih membekas meski sebagian sudah mengering.

“Kanth masih ngantuk,” balas Kanth seraya merengek manja.

“Bunda udah masakin Kanth dan Ethan sup ayam spesial, loh. Kanth nggak kangen masakan Bunda, ya?” Kanth segera mengucek kedua mata seraya berusaha untuk bangun.

“Kanth mimpi buruk lagi, Bunda.”

Zahira menghela napas berat seraya mengelus pucuk kepala Kanth penuh rasa sayang. Entah mimpi apa yang ia maksud, tetapi dapat terlihat jelas dari sorot mata Kanth bahwa ia merasa sangat sedih.

“Kita sarapan dulu, yuk, Nak. Kanth jangan sedih, ya.” Kanth mengangguk, perlahan ia bangkit seraya mengecup pipi Zahira dengan singkat.

Zahira beralih ke ranjang yang ditiduri oleh Ethan. Jika tidak karena kewajibannya untuk bersekolah, tidak tega rasanya Zahira untuk membangunkan Ethan yang tengah tidur sangat pulas.

“Selamat pagi, Ethan sayang. Bangun, yuk.” Berbeda dengan Kanth, Ethan segera bangkit seraya tersenyum.

Zahira membereskan tempat tidur mereka satu per satu setelah dua bocah menggemaskan itu pergi menuju toilet. Namun, seketika Zahira tersentak kala melihat foto Mas Samudra berada di bawah bantal tidur Ethan. Ah, ternyata sulit sekali bagi Zahira untuk membuat Ethan menerima semuanya.

Suasana meja makan tidak sehangat biasanya. Tidak ada satu pun yang mau membuka suara. Semua bungkam dan sibuk menyantap makanan masing-masing. Sementara Zahara, terlihat jelas bahwa putri kecil itu masih menyimpan rasa sakit dan berusaha untuk menelan semua kepahitan.

“Ahla udah selesai makan, Bunda.” Zahara memajukan piring yang masih penuh berisi nasi.

“Loh, kenapa, Sayang? Nasinya masih banyak loh. Kalau nggak Ahla habiskan, Ahla ingetkan apa kata Ayah dulu?”

Zahara mengangguk. “Nanti nasinya nangis, Bunda.”

“Nah, ayo makan lagi—”

“Ahla nggak  kuat. Ahla mau makan sama Ayah lagi, tapi nggak bisa, Bunda ….” Sorot mata Zahara terlihat sangat banyak memendam rasa sakit.

“Iya, Bunda. Ethan juga mau makan sama Ayah aja,” ujar Ethan lirih.

“Sayang … Ayah kan udah—”

“Pergi,” jawab mereka bertiga serempak.

Zahira menghela napas gusar. “Ya udah, kalau kalian nggak mau abisin makanannya, Bunda akan bawakan bekal makanan untuk kalian.” Segera Zahira siapkan lagi tiga kotak nasi untuk buah hatinya.

Tidak ada bantahan. Semua kembali diam hingga Zahira mengantarkan mereka menuju sekolah. Sepanjang perjalanan pun, mereka sama sekali tidak tampak bahagia. Tiada lagi gelak canda yang mengiringi perjalanan. Berbeda dengan ketika jiwa itu masih ada.

“Kanth, Ethan, dan Ahla belajar yang rajin, ya, Sayang. Jangan lupa makan bekal yang udah Bunda siapin.”

Mereka hanya membalas dengan senyum menahan rasa kecewa. Kekecewaan itu dapat terlihat jelas meski terkadang mereka terlihat kuat dan selalu mendukung Zahira.

Seusai mengantarkan ketiga buah hatinya ke sekolah, untuk pertama kalinya Zahira memberanikan diri untuk menuju Cafe Cupcake yang telah lama tidak ia kunjungi. Kafe tersebut telah lama menjadi tempat Zahira dengan Mas Samudra berjuang dulu. Di dalamnya, setiap sudut ruangan selalu memiliki kesan dan arti yang berbeda.

Namun, sanggupkah Zahira berkunjung ke tempat yang sangat berkesan baginya?

Tempat tersebut tidak pernah sepi dan justru berkembang, membuka cabang di berbagai kota. Omzet pun naik seiring berjalannya waktu, kendati Zahira belum sempat mengurus semuanya karena kesedihan yang baru saja menimpa keluarga kecilnya

“Bu Zahira … selamat datang.” Seorang pelayan muda tersenyum seraya menundukan kepala.

“Terima kasih.”

Langkah kaki Zahira seolah berat untuk masuk ke dalam kafe tersebut. Air mata Zahira terjatuh menahan perih, mengingat ini kali pertama ia datang tanpa bersama dengan Mas Samudra.

“Zahira.” Zahira menoleh ke sumber suara.

Namun, betapa terkejutnya ia kala mendapati wajah yang tidak asing lagi baginya tengah tersenyum seraya berjalan mendekat. Oh Tuhan, mengapa ia datang di waktu aku berduka?

“Aku nggak nyangka kamu akan ke sini, mungkin Tuhan sudah merencanakaan pertemuan kita. Apa kabar?”

Zahira menghela napas gusar. “Aku baik.”

“Tapi, aku tidak dapat melihat bahwa kau benar-benar baik. Aku tahu, setelah suamimu—”

“Jangan katakan apa pun!” sergah Zahira dengan sangat cepat.

“Mohon maaf, aku tidak bermaksud—”

Zahira mengangguk cepat, memotong perkataan Aldean, lelaki itu. “Permisi … ada urusan yang ingin aku selesaikan di dalam.”

“Tidak bisakah kita bicara sebentar?”

“Kalau hanya berdua, aku tidak bisa, Al. Luka atas hal yang baru saja menimpaku sangatlah membekas. Aku tahu ke mana arah dan tujuan pembicaraanmu.”

“Tidak secepat itu, Ra. Aku tahu kau membutuhkan waktu untuk dapat melepas lelaki yang sangat kau cintai. Sementara aku? Aku hanya ingin sekedar menyapamu. Lebih dari lima tahun kau menghilang. Hingga akhirnya, saat aku menemukan kabar tentangmu, ternyata lelaki yang selalu kau puja itu telah ….” Aldean tidak melanjutkan pembicaraannya.

“Tidak untuk saat ini, Al. Aku masih sangat terluka.”

“Dan … aku akan berusaha menyembuhkan luka itu,” lanjut Aldean menimpali.

Tanpa Zahira sangka, Aldean justru pergi meninggalkan kafe tersebut.

Zahira menghela napas. Apakah ia datang ke kafe itu di saat yang tidak tepat, di waktu yang mampu mempertemukannya dengan Aldean, lelaki yang pernah singgah di hatinya? Zahira merasa kacau, ia takut jika kedatangan Aldean dalam hidupnya memiliki pengaruh yang sangat besar. Meskipun sejak dulu, sejatinya cinta Zahira hanya untuk Mas Samudra. Tiada satu pun lelaki yang dapat mengisi kekosongan hati Zahira.

Hanya untuk Mas Samudralah, Zahira menanam rasa cinta yang hingga akhirnya cinta itu menjalar menjadi akar yang sangat kukuh. Cinta yang Zahira miliki akhirnya berbuah manis. Walaupun pada akhirnya Zahira harus merelakan sosok itu pergi, membiarkan jiwa dan raganya yang telah mati terkubur bersama jutaan kenangan manis, lelaki tersebut meninggalkan hati dan cinta yang harus selalu Zahira jaga. (*)

Bersambung …

Part-4

Selanjutnya (Episode 6)

 

Zalfa Jaudah Jahro lahir di Karawang, 03 Oktober 2003. Si penyuka awan dan sosok yang selalu menjadi inspirasinya. Jika ingin menghubunginya dapat mengirim pesan melalui zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook Zalfa Jaudah J.

Edior : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply