Layaknya Rapunzel
Oleh: Fathia Rizkiah
Naura sedang di balkon kamarnya. Ia menopang dagu dan menatap hampa halaman rumah. Halaman yang luas itu telah disulap menjadi taman hijau yang indah, berbagai jenis dan warna bunga ada di sana, semua telah diubah sesuai keinginannya.
Sejak dulu halaman luas itu memang sudah indah, hanya saja kurang terawat. Ayah Naura hanya mempekerjakan dua pekebun untuk mengurus seluruhnya, ia tidak sadar halaman rumahnya sangatlah luas, dua orang tidaklah sanggup merawat—benar-benar merawat—seluruh tanaman. Yang ayah Naura pedulikan hanya menambah bodyguard setiap tahunnya untuk mendampingi Naura.
Naura mendengkus sebal, tak pernah terbayangkan menjadi anak semata wayang akan seberat ini. Naura meninggalkan balkon, beranjak menghampiri jendela kamar yang sangat ia sukai. Jendela itu menghadap ke taman umum persis di sebelah rumahnya. Memang pemandangannya tidak terlihat, tetapi Naura selalu tertarik dan penasaran ingin ke sana. Setiap hari tempat itu selalu ramai, terlihat dari kendaraan roda dua yang terparkir di sana tidak pernah sepi.
Tok-tok-tok ….
Setelah pintu kamar diketuk, terdengar suara menyusul. “Non Naura mau jalan-jalan? Pengawal Non sudah menunggu.”
Naura mendengkus lagi. Itu suara Bi Nun, pembantu yang paling sering ke kamarnya sekaligus paling dekat dengannya. Naura sudah bisa menebak, pasti bapak-bapak berotot besar itu sedang berbaris di belakang Bi Nun.
“Nggak, Bi.”
Terdengar suara ketukan sepatu menjauh, Naura menghela napas lega. Sebenarnya ia sangat ingin ke taman itu, tetapi sendiri bukan bersama pengawal bertubuh preman. Ia malu bila terus menjadi pusat perhatian, dan sebenarnya ia tak pernah mau.
Prang! Suara bantingan kaca terdengar cukup nyaring. Naura terkejut, dengan cepat ia keluar kamar menghampiri suara apa yang ia dengar tadi? Di ruang bersantai lantai tiga, sebuah bingkai foto keluarga yang paling besar terjatuh. Serpihan kacanya berhamburan hingga melukai telapak tangan salah satu pembantu yang ada di sana. Ia sedang memegang kain dan cairan pembersih kaca. Tampaknya ialah pelakunya, tangannya bergetar dan bibirnya memucat.
Seluruh pembantu yang mendengar bantingan kaca tersebut berkumpul. Mereka hanya menonton, enggan membantu. Mungkin takut disangka merekalah penyebab foto keluarga itu terjatuh.
Beberapa orang hanya memberi interupsi, beberapa lagi berbisik-bisik, semua perhatian hanya tertuju pada foto kesayangan ayah Naura. Bahkan saat Naura datang pun tidak ada yang sadar.
Tiba-tiba saja ide bagus datang. Perlahan Naura berjalan mundur, ia berada di barisan paling belakang sehingga mudah saja untuk kabur tanpa ketahuan.
Naura berjalan hingga ke lantai bawah, diam-diam ia mengawasi sekitar, takut ada pengawal yang menyadari keberadaannya tanpa dikawal bodyguard.
Aman! Tak satu pun batang hidung pengawal terlihat siang itu, sepertinya mereka sedang beristirahat. Di taman, Naura berlagak seakan ia sedang memeriksa tanaman. Sesekali ia memotret bunga yang sedang bermekaran.
Naura kembali memeriksa keadaan, tidak ada satupun orang yang sedang memerhatikannya. Naura berlari pelan, ia harus bergerak cepat sebelum para pembantu kembali melanjutkan pekerjaan.
Satu langkah lagi, melewati penjaga gerbang. Dari kejauhan, hanya satu satpam yang terlihat, dan ia sudah melihat kehadiran Naura.
“Loh, Non, kok sendirian?”
Naura mengangguk. “Iya, Pak. Cuma mau ngasih tau kalau Bapak dipanggil Ibu.”
Satpam terlihat bingung. “Kan bisa lewat HT, Non?”
“HT Ibu habis baterai, Pak. Jadi Ibu minta tolong saya ngasih tau langsung ke Bapak. Katanya sekalian, mumpung saya lagi di taman, periksa tanaman.”
Satpam mengangguk. “Pembantu lagi pada sibuk ya, Non?”
Naura hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Ya udah, saya bangunin Pak Sum dulu ya, Non. Gawat ini kalau nggak ada yang jaga,” ujar satpam sambil menunjuk pos.
Buru-buru Naura mencegat. “Biar saya aja, Pak. Takut Ibu kelamaan menunggu.”
Satpam mengangguk, dan berlari menuju rumah. Sementara itu, dengan sangat perlahan Naura membuka pintu gerbang.
Naura terkagum-kagum, ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di taman umum, yang biasanya hanya bisa ia saksikan dari jendela kamarnya. Dan lebih melegakan lagi saat ia sadar ia ke sana seorang diri, rasanya sangat bebas.
Siang ini sinar matahari cukup terik, sehingga tak banyak pengunjung yang mampir, bangku-bangku taman pun banyak sekali yang kosong. Naura berlari menghampiri salah satu bangku. Lengannya tersentak, besi pada sanggahan bangku cukup panas. Permukaan bangku pun perlahan menghangat. Buru-buru Naura mengeluarkan ponsel, mengambil gambarnya yang sedang duduk di atas bangku kemudian menepi ke tempat yang sejuk, bawah pohon.
Naura senang, udara di bawah pohon terasa sangat sejuk untuknya. Memang, tidak seberapa jika dibanding suhu di dalam rumah, yang seluruh ruangannya mengenakan AC. Tetapi tiupan angin yang memainkan anak rambutnya membuat Naura semakin nyaman dan enggan kembali pulang, kecuali jika terik matahari menerpa bawah pohon juga.
Naura meluruskan kaki dan kembali mengambil gambar. Entah sudah jepretan ke berapa, sepertinya ia akan terus memotret hingga ia puas.
Bunga turun dari pohon tempatnya berteduh. Bunga itu mendarat persis di sebelah kakinya. Naura mengambil bunga tersebut dan diselipkan di antara rambut dan telinganya. Naura kembali mengambil gambar.
Naura terkejut, ia menoleh. Ternyata ada orang selain dirinya di sana. Dan orang itu sempat terfoto saat Naura melakukan selfi. Dan, orang itu menyadari wajahnya terjepret kamera. Ia menghampiri Naura. Duduk berjongkok di depan Naura yang refleks melipat kakinya.
Laki-laki itu menengadahkan tangan, seperti meminta sesuatu. Naura ketakutan, ia berusaha bangun untuk menghindar. Sekarang, Naura sangat menyesal kenapa tadi tidak pergi bersama pengawal saja?
“Eh, mau ke mana? Kamu mau foto bareng saya, ‘kan? Bilang aja, nggak usah malu-malu. Sini HP kamu, biar saya yang pegang kameranya kamu tinggal bergaya saja.”
Naura terkejut, bagaimana bisa laki-laki yang baru ia temui berbicara seperti itu padanya? Pembantu di rumahnya saja banyak yang enggan berbicara padanya, meski sebenarnya pembahasan itu penting. Mereka pasti meminta tolong pada Bi Nun untuk menyampaikan pesan itu padanya.
Melihat Naura yang hanya terdiam, laki-laki itu berinisiatif meraih HP yang sedang Naura genggam. Naura sontak berteriak.
“Eh, jangan teriak, saya nggak ngapa-ngapain kamu, kok.”
“Nggak ngapa-ngapain?” ulang Naura. “Kamu mau mencuri HP saya!”
“Saya bukan mau mencuri, saya hanya mau mengajak kamu mengambil foto ulang.”
“Buat apa?”
Kening laki-laki itu tertawa. “Kan kamu sendiri yang memoto saya diam-diam, makanya sekarang saya ajak kamu untuk foto sama saya secara langsung.”
“Hah?”
Laki-laki itu tertawa, ia mengacak rambut Naura sambil mengambil HP-nya. Cukup sekali geser layar ponsel sudah menampilkan kamera.
“Kamu lucu, yuk siap-siap.” Tiba-tiba saja lengan laki-laki itu sudah merangkul bahu Naura. Naura bingung harus bagaimana, ia terdiam. Di dalam sana, jantungnya berdegup kencang, ini pertama kalinya ia berjarak sangat dekat dengan pria.
Setelah hari itu, Naura jadi tahu siapa namanya, Aldi, laki-laki kurang waras yang selalu mengiriminya pesan. Ia tak pernah mengirim pesan yang benar-benar penting, hanya sapaan tak masuk akal seperti, “Hai, my big fans”, dan emoji hati berwarna-warni.
Lucunya, Naura merasa sepertinya mereka tertukar. Bukan Naura yang dibilang fans Aldi, tetapi harusnya Aldi lah fansnya Naura. Seperti sekarang, seingat Naura ia tak pernah memberitahu Aldi apa username sosial medianya. Nomor telepon yang digunakan untuk setiap sosial media pun berbeda dengan nomor yang biasa digunakan untuk mengirimkan pesan pribadi. Tetapi, bagaimana bisa Aldi mengetahuinya? Bahkan ia sudah mengirim pesan berupa stiker yang bisa bergerak-gerak sebelum ia menerima permintaan pertemanannya.
Aldi memang benar-benar sudah gila. Sering sekali ia mengirim hadiah yang dititipkan pada satpam. Entah sudah berapa banyak, satpam tidak pernah menyampaikan hadiah-hadiah itu pada Naura. Satpam pasti memberitahu ayah Naura dahulu dan setelah itu, ayah Naura membuang semuanya. Satu-satunya hadiah yang Naura bisa lihat dengan matanya sendiri adalah karangan bunga bertuliskan “Selamat telah menjadi fans resmi Aldi”.
Meskipun sempat terganggu, Naura mulai terbiasa. Justru ia merasa ada sesuatu yang kurang saat Aldi berhenti bertingkah seperti biasanya. Ternyata tidak hanya pada Aldi, tapi padanya juga. Saat terbangun, suasana kamarnya sangat berbeda. Seluruh jendela kamar ditutup rapat, pintu balkon diganti menjadi jendela memanjang yang juga ikut ditutup rapat, seluruh benda yang mengandung kertas dan alat tulis-menulis lainnya ditiadakan. HP dan semua gadget canggih miliknya disita, internet dalam kamarnya pun ditiadakan. Satu-satunya media hiburan hanya televisi biasa, semuanya dihempaskan dari kamar Naura.
Fathia Rizkiah, pencinta kucing oren yang tinggal di kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram @fath_vhat.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com