Nasib Jones
Oleh : Nur Khotimah
Bagai petir menyambar di siang bolong, begitulah yang Junot rasakan saat mendengar berita duka cita dari pengeras suara di musala gang sebelah. Saripah binti Sueb, kekasih hatinya telah berpulang ke rahmatullah. Dengar-dengar sih karena komplikasi, sakit jantung, cantengan, sama panu.
Dengan air mata bercucuran bak air mancur di taman kota, Junot pergi ke rumah Saripah guna melihatnya untuk terakhir kali.
Bagaimana Junot tak sedih? Pasalnya, Cuma Saripah satu-satunya cewek khilaf yang mau menerima Junot sebagai kekasih. Saripah cantik, demplon bak penyanyi Zaskia Gotik, sedangkan Junot hanya pemuda pengangguran dengan tampang pas-pasan sedikit kumal bau kemenyan.
Saripah, pacar pertama Junot setelah kenyang menjomlo hingga 27 tahun. Junot jomlo bukan karena terlalu pilih-pilih, tapi karena nggak ada yang mau jadi pacarnya. Jangankan cewek, kambing aja kalau ketemu Junot melengos, sambil ngatain, Embeeekk. Kan sialan.
Balik ke Junot, begitu sampai di rumah Pak Sueb, dia kecewa. Pujaan hati satu-satunya itu sudah dimakamkan. Junot sedih, tak bisa melihat wajah pacar untuk terakhir kalinya.
Kini, Junot sudah duduk terpaku di depan batu nisan bertuliskan “Saripah”, mulutnya komat-kamit baca mantra, eh, doa.
Sebelum pergi meninggalkan makam, Junot memetik bunga kemboja yang tumbuh di samping makam, kemudian meletakkannya di dekat batu nisan. “Adinda Saripah cintaku, sayangku, muah-muahku … maafkan Kakanda. Semasa kita pacaran, kamu sering banget minta bunga, tapi aku nggak punya duit buat belinya. Sekalinya ada, kepake mulu buat beli nasi uduk. Sekarang, aku kasih ini sebagai gantinya, ya? Masih mendingan kan daripada kuganti bunga pasir. Bau.”
Junot menangis sesenggukan. Terbayang kemesraan bersama Saripah. Pemuda itu baru menyadari betapa baiknya Saripah selama jadi pacarnya.
“Soal duitmu yang kepake buat bayar baso, ikhlasin aja ya, Sayang. Terus, yang buat bayar sosis bakar, cilor, sama teh gelas juga ya. Terus, yang waktu itu kamu kasih buat bayarin cicilan wajan emakku, kolor, sama jeroanku.” Sroottt! Junot menyeka ingus dengan ujung kaus.
“Kamu kok tega ninggalin aku? Aku capek jadi jones. Saripah cintaku, datanglah ke mimpiku sebagai pengobat rinduku.” Junot bermonolog. Layaknya seorang penyair sedang membaca puisi.
Tiba-tiba, angin dingin berembus, membuat bulu kuduk dan bulu-bulu lain turut berdiri. Junot merinding. Belum lagi aroma kembang tujuh rupa yang bertaburan di atas makam makin menambah horor suasana.
“Saripah, pintaku yang barusan cuma becanda. Jangan datang dah ya …,” ucap Junot dengan suara gemetar. Kepalanya celingak-celinguk. Tak sampai lima detik, dia sudah ambil langkah seribu kurang dua ratus meninggalkan pemakaman. Kok kurang dua ratus? Iya, yang dua ratusnya udah disumbangin ke Indoapril.
***
Ternyata ada yang lebih menyedihkan dari ditinggalkan Saripah. Tatapan orang-orang itu, yang seakan ikut ngenes melihat Junot kembali menjomlo.
Mereka saling berbisik, tapi terdengar oleh Junot. Sengaja kayaknya. Tega beud dah!
“Kasian, ya, jones lagi,” kata salah satu dari mereka.
Junot gegana. Tak menyangka nasibnya akan seperti ini. Apes. Jones lagi, lagi-lagi jones.
Merasakan punya pacar cuma tiga bulan. Hanya tiga bulan orang-orang tak menyebutnya jones, jomlo ngenes.
Jarum jam dinding sudah di angka sebelas ketika Junot masuk kamar. Ia belum mengantuk, tapi ingin menenangkan diri dan meresapi kesedihan, katanya. Saat sedang asyik-asyiknya meres kambing, eh meresapi, angin dingin tiba-tiba berembus menyapa tengkuknya. Junot bergidik, teringat kejadian tadi siang di kuburan Saripah. Spontan Junot lompat ke dipan kemudian nyempil di ketek babehnya yang udah tidur sedari tadi. Iya, karena di rumahnya hanya ada satu kamar jadi terkadang Junot tidur bareng babehnya kalau nggak mau tidur depan tipi.
Junot mencoba memejamkan mata, nyusul babehnya yang mungkin udah nyampe ke Paris. Ketahuan dari ilernya yang udah selebar Benua Eropa. Junot tetap tak bisa tidur. Bayangan Saripah terus menari-nari di kepalanya.
Saat sedang mengenang Saripah, angin dingin berembus lagi. Dan bayangan Saripah yang cantik berubah menjadi Saripah yang terbungkus kain kafan, dan loncat-loncat. Junot menengok jam, pukul 12.00 teng! Horor! Junot makin mengkeret di ketek Babeh.
Tiba-tiba ….
“Bang Junot ….”
Junot gemetar, itu suara pacarnya. Suara itu seperti berasal dari balik jendela kamarnya.
“Saripah, tadi gue becanda. Kita udah beda alam. Jangan ganggu gue, ya.”
“Baaang … Bang Junoot ….”
Junot makin ciut nyali. Kali ini ia sembunyi di balik sarung babeh. Baunya apek-apek pesing gimana, tapi buat Junot masih lebih baik daripada harus berhadapan dengan hantu Saripah.
“Baaang … buka, Bang ….”
Tadinya Junot mencoba bertahan di balik sarung babeh, tapi lama-lama engap. Bau sarung babeh benar-benar bikin sesak napas. Akhirnya ia memberanikan diri. Bangun, kemudian berjalan selangkah demi selangkah menuju jendela. Suara itu terdengar lagi, membuat Junot ketakutan dan sedikit bocor kerannya.
“Baang … bukaa ….”
“Saripah, gue minta maaf. Elu mau nagih? Gue belom ada duit. Ntar kalau udah kerja gue balikin,” ucap Junot di balik jendela.
“Buka, Baang …. aye pen ngomong sesuatu, Bang ….”
“Inbok aja dah ya, Neng ….”
“Orang mati gak maen pesbuk, Bang ….”
“Iya, ya. Ya udah, Abang bukain. Tapi jangan nakutin ya!”
“Iya, Bang ….”
Karena penasaran dengan maksud dan tujuan Saripah, Junot akhirnya memberanikan diri membuka jendela. Tangannya gemetar saat menarik selot, mulutnya komat-kamit membaca doa, dari doa mau makan sampai doa masuk WC.
Jendela terbuka, tiba-tiba ….
“Ciyee … jomlo, ciye …,” ucap Saripah semringah dengan telunjuk mengarah ke muka Junot.
“Diam setaaaan!” Junot kesal, makin gegana diledek pocong Saripah. (*)
Cikarang, 26 Juli 2020
Nur Khotimah, ibu rumah tangga yang mencintai dunia literasi. Untuk lebih mengenalnya bisa add FB: Nur Khotimah.
Editor : Fathia Rizkiah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata