Aku dan Perempuan Malam

Aku dan Perempuan Malam

Aku dan Perempuan Malam
Oleh : Nuke Soeprijono


“Bicara doa, terkadang kita sendiri yang menggagalkan kesempatan doa itu terkabul. Merasa ragu dan tak yakin, bahwa semua orang berhak atas pengabulan doanya.”

Jalanan lengang setelah ingar bingar keramaian Sabtu malam usai. Dini hari, udara dingin, hening, dan gelap pekat. Sesaat kemudian jarak sekitar seratus meter di depanku, terlihat sedan hitam mengilap berhenti. Lalu seorang wanita turun dengan kasar dari dalam mobil dan membanting pintunya keras-keras. Wanita itu mengenakan dress hitam pendek, rambutnya tergerai panjang sebahu.

“Sialan! Maunya gratisan! Dasar tua bangka!” teriaknya sambil melempar stiletto ke arah sedan hitam yang mulai berlalu. Dengan langkah terhuyung ia berjalan dan mengempaskan bokongnya di trotoar. Wanita cantik itu terdengar masih menceracau, sepertinya kalut sekali. Sesekali tampak ia menyibak rambutnya.

Aku yang sedari tadi menyapu jalan pura-pura tidak melihat kejadian itu. Keberadaanku juga tak dihiraukannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan ponsel. Menatap layar datar itu sebentar kemudian terdengar bicara lagi.

“Halo, May! Sialan! Si Bambang nggak mau bayar gua malam ini. Iya, dia nurunin gua di pinggir jalan. Lu bisa gak, nyuruh Mang Ade jemput gua?”


“Nggak bisa, aplikasi gua error mulu dari tadi! Please, May mana sepi banget, di sini. Oke, abis ini gua share loc. Thanks, ya, May. Gua tunggu.”

Kemudian terlihat ia menatap ponselnya lagi, mengetik sesuatu, sesekali menerawang melihat jalan di depannya. Tak lama, sampai juga aku menyapu di dekat wanita itu duduk.

“Eh, Pak, punya korek api, nggak?” tanyanya tanpa basa-basi.

Sekilas aku menatap wajahnya, masih muda, sekitar umur 25-an dan cantik. Tanpa bicara kuulurkan sekotak korek api. Aku masih berdiri di depan wanita itu sampai dia selesai menyalakan sebatang rokok.

“Duduk sini, Pak. Sekalian nemenin saya,” pintanya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Aku ikut duduk di sisi sebelah kiri dan berjarak sekitar tiga meter darinya. Masih terdiam dan memperhatikan wanita itu mengisap rokok. Terlihat fasih dan terlatih.

“Bapak jam segini udah kerja, ya?” tanyanya polos. Aku senyum sekilas dan mengangguk. Wanita muda itu masih terus mengisap rokok dan mengembuskan asapnya dengan kasar.

“Saya udah mau pulang kerja, Bapak malah baru mulai kerja,” ujarnya sambil memainkan ujung rambutnya yang dicat warna cokelat tua.

“Emangnya Neng kerja di mana, kok jam segini baru pulang kerja?” tanyaku memberanikan diri. Entah dia menganggap sopan atau tidak, yang jelas sepertinya tak ada yang salah dengan pertanyaanku. Benar saja, wanita itu malah terkekeh mendengarnya.

“Biasalah, Pak saya perempuan malam,” jawabnya dengan tawa lebar. Aku bisa merasakan kegetiran dalam tawanya. Aku menghela napas lalu terdiam lagi.

“Bapak punya keluarga?” Dia bertanya sambil membuang puntung rokoknya. Kemudian menyalakan satu batang lagi.

“Keluarga, ada. Anak saya tiga,” jawabku datar.

“Eh, iya, Bapak ngerokok nggak, nih?” tawarnya sambil mengulurkan sekotak rokok putih padaku. “Hehe rokok perempuan, Pak,” ujarnya lagi seraya membuka kotaknya.

“Saya udah gak ngerokok, Neng. Paru-paru udah gak kuat,” jawabku enteng dan menutup kembali kotak rokok yang dibukakan wanita itu.

“Oh ,” jawabnya singkat. “Nggak ngerokok tapi punya korek api? Sedangkan saya, punya rokok tapi nggak ada koreknya hahaha!”

Aku melirik pada wanita yang sedang tertawa lepas di sebelahku ini. Menghela napas sesaat sebelum membuka suara. Aku merasakan ada aroma sindiran pada kalimatnya. Seperti menertawakan ironi kehidupan dengan segala ketimpangan dan hal yang tak pas pada tempatnya.

“Yah, begitulah hidup, Neng. Saling melengkapi. Yang punya ngasih ke yang gak punya. Yang kelebihan bagi-bagi ke yang kekurangan,” jawabku sekenanya.

Wanita itu kembali mengisap rokoknya kuat-kuat. Kakinya yang jenjang ditumpangkan pada kaki sebelahnya lagi sambil digoyang-goyangkan.

“Iya, Pak, benar! Tapi, sayangnya nggak semua orang rela membagi apa yang dia punya. Bisanya memperlihatkan saja, pamer. Pas giliran disuruh berbagi, pura-pura gak punya. Ah, dah basi yang kayak gitu, Pak!” ujarnya sambil tertawa lagi.

Aku hanya tersenyum menghela napas lagi. Tiba-tiba teringat istri di rumah. Sebelum aku berangkat menyapu jalan, istriku selalu ikut bangun dan bergegas ke sumur untuk wudu dan melaksanakan salat malam. Setiap hari doanya kencang menggedor pintu langit.

Meski kami hidup pas-pasan tak pernah sekali pun dia mengeluhkan keadaan. Hebatnya lagi, dia masih bisa berbagi dengan tetangga sebelah-sebelah rumah.

“Pak, maaf, apa Bapak bahagia dengan hidup seperti ini?” tanya wanita itu membuyarkan lamunanku. “Cukup nggak, sih, Pak? Gaji jadi tukang sapu?” tanyanya lagi dengan mimik muka serius.

“Yah, Neng kalo dibilang cukup sih, ya banyak kurangnya. Tapi kan kita masih bisa menyiasati dengan berhemat-hemat. Belanja seadanya. Istri saya juga orangnya gak neko-neko, Neng. Salatnya juga kenceng. Dia terima saya apa adanya. Kayaknya dia cukup bahagia hidup seperti ini.” Serius aku menjelaskannya. Sekilas kulihat wanita ini mendengarkan dengan saksama.

“Beruntung, ya, Bapak? Istrinya baik. Rajin berdoa pula. Jangan sia-siakan perempuan seperti itu, ya, Pak!” katanya seolah-seolah menitip pesan. “Nggak kayak saya, Pak. Saya malas berdoa. Saya merasa nggak pantas meminta sesuatu dari Tuhan. Mungkin karena kerjaan saya ini. Dikasih hidup dan bisa sehat aja sudah bagus,” ucapnya getir. Wanita itu mengisap rokoknya lagi dengan tatapan menerawang.

“Saya sebenarnya pengen berhenti kerja begini, Pak. Punya keluarga, suami yang baik, punya anak,” ucapnya sambil tertunduk, “tapi mana ada laki yang sudi memperistri perempuan kayak saya, sih, Pak? Kotor dan nista! Hanya orang-orang yang kotor pula yang mau make saya.” Lagi-lagi ia tertawa, sambil menyibak rambut dan membentuk kepulan asap rokoknya seperti huruf O. “Banyak doa saya yang nggak terkabul, Pak. Itu yang bikin saya malas berdoa. Saya ngerasa Tuhan itu pilih kasih!” katanya sambil tertunduk.

“Istigfar, Neng Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya, harus yakin kalo Allah itu Maha Mendengarkan doa kita. Kadang kita gak sadar, kalo kita sendiri yang menggagalkan kesempatan doa itu terkabul. Karena merasa ragu dan gak yakin bahwa doa kita akan dikabulkan. Kita harus yakin. Yaah … kalo gak dikabulin juga, berarti Allah punya rencana lain. Manusia kalo ngikutin hawa nafsunya mah, gak cukup terus, Neng … di situlah kadang kita malah harus banyak bersyukur, biar Allah menambah rezeki dan cukupkan semua keperluan kita,” kataku panjang lebar.

Aku tak peduli wanita ini menganggapku sok tahu atau mengguruinya. Karena memang seperti itu yang kurasakan selama hidup lebih dari setengah abad. Bahwa hidup ini tak bisa lepas dari berdoa. Terlepas masih belum sesuai harapan, yang penting sudah berusaha.

Wanita ini diam termenung, duduk sambil memeluk kedua lututnya dan membiarkan abu rokoknya memanjang tanpa ada isapan lagi dari bibir merahnya.

“Gitu, ya, Pak?” tanyanya kemudian tanpa perlu kujawab lagi. “Saya pengen, deh, berdoa lagi yang bener. Biar Tuhan segera mengabulkan semua harapan saya. Saya malu sama Bapak, meskipun kekurangan, tapi masih bisa bersyukur dan baik sangka sama Tuhan. Kali ini saya harus yakin!” ujarnya mantap sambil tersenyum menatapku.

Azan Subuh sayup-sayup mulai terdengar dari seberang jalan. Tak lama kemudian sebuah motor matik menepi di samping kami. Sepertinya jemputan wanita ini.

“Nah, itu Mang Ade dah datang! Pak, makasih ya, udah nemenin saya. Makasih wejangannya. Eh, iya, nih koreknya saya balikin, makasih ya, Pak,” ujarnya sambil melempar korek api padaku.

Motor matik itu berlalu hingga menyisakan setitik warna merah di ujung jalan. Aku masih terdiam, merenungi percakapan tadi dengan si wanita malam. Ternyata, banyak orang-orang di luar sana enggan membersihkan diri dengan Sang Mahasuci karena merasa kotor. Yang jelas diri ini harus banyak bersyukur: Tuhan masih mengizinkan aku untuk bisa menyapu jalan hidup. (*)


@n
Si alter ego yang masih belajar menulis


Editor : Fitri Fatimah


Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply