Nikmat Berujung Sekarat

Nikmat Berujung Sekarat

Nikmat Berujung Sekarat

Oleh : Medina Alexandria

Seperti pagi-pagi sebelumnya, Nanang memperhatikan Abdul yang berada di belakang rumah Marni. Laki-laki itu menaruh kedua tangan di dalam saku celana. Terlihat siaga, memindai nanar ladang di belakang rumah Marni. Tentu saja dia tak melihat Nanang yang sebelumnya sibuk mencabuti gulma di balik rambatan kacang polongnya yang rimbun.

Nanang seketika menghentikan aktivitas, tatapannya tertambat pada Abdul dan gerak-geriknya yang sudah dia hafal. Tentu mencurigakan bagi yang baru melihat, tapi Nanang sudah menyaksikannya berkali-kali setiap pagi, saat terik mentari mulai menyengat.

Pintu kayu di belakang Abdul terbuka, secepat kilat dia masuk. Tanpa suara, pintu kembali ditutup dari dalam rumah.

Apa kira-kira yang dilakukan pria beristri di rumah seorang janda? Pasti mereka melakukan hal terlarang. Nanang bertanya dalam hati sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya.

Tak begitu lama, pintu kayu itu berderik terbuka. Abdul keluar, mengarahkan pandangan ke sekeliling. Wajahnya semringah, bibirnya menyunggingkan senyum puas. Sebelum melangkah, dia memeriksa ritsleting celana, lalu menaikkannya.

“Aman,” ujarnya, kemudian menepuk pangkal paha.

Beberapa meter dari tempat Abdul berdiri, Nanang  menatap pria itu lekat. Sudah tak ada debar dalam dadanya saat menyaksikan kelakuan Abdul. Biasa saja, karena sudah terbiasa.

Pernah suatu kali Nanang berniat membongkar kebejatan Abdul pada istrinya. Tapi dia urungkan niat itu. Laki-laki tak pantas melakukannya, pikir Nanang. Namun pemandangan pintu belakang Marni membuat pikirannya kalut.

Nanang sudah memutuskan! Dia menyeruak keluar dari balik lanjaran kacang polong yang berbaris rapi. Berjalan menuju pintu kayu di seberang ladangnya. Namun, tiba-tiba ragu menyergap. Apakah harus kulakukan ini? pikirnya. Nanang mondar-mandir di depan pintu. Menghela napas berat, ia menggerakkan tangan, hendak mengetuk pintu, tetapi kemudian ia menurunkan kepalan yang tertahan di udara. Membalik badan, Nanang melangkah kembali ke ladang.

“Mas ….” Terdengar suara lembut di belakangnya. Nanang menahan langkah dan berbalik, kepala Marni melongok dari belakang pintu yang sedikit terbuka. Janda muda itu melambai.

“Sini,” panggilnya lirih.

Nanang menyeret langkah menanggapi undangan Marni, dia masih kurang yakin dengan niatnya.

“Ayo masuk.”

Ditariknya pergelangan tangan Nanang, sebelum pria itu sempat membuka mulut. Marni menutup pintu di belakang mereka. Nanang sama sekali tidak berniat untuk menerobos rumah janda tanpa anak itu, tapi Marni menariknya paksa.

Sunyi. Nanang berdiri mematung di depan tungku yang masih menyala. Seperti rumah-rumah lain di kampung mereka, dapur terletak di bagian belakang bangunan rumah.

Akhir-akhir ini cuaca sedikit dingin, tapi bukan itu penyebab Nanang melipat lengan di depan dada. Ada rasa canggung berdua dengan wanita dalam ruang tertutup. Ini perbuatan yang salah! batinnya.

“Dingin, ya, Mas. Marni bikinin kopi, ya?” tawar wanita di depannya. Daster batik tipis yang dia kenakan tak mampu menutupi lekuk tubuhnya. Ada sesuatu yang bangkit dalam diri Nanang. Nanang mengerjap, pikirannya mulai melantur.

“G-gak usah, Dek. Aku ke sini karena ada yang mau kusampaikan ….” Sedikit gagap, Nanang menampik tawaran Marni.

“Aku tahu, Mas Nanang melihat Mas Abdul masuk ke rumahku to? Terus Mas Nanang mau apa? Mau melabrak aku? Karena istri Mas Abdul sepupunya sampean, gitu?”

“Bukan melabrak, Dek. Hanya mengingatkan. Tak baik dilihat orang. Walaupun tidak jelas juga apa yang kalian lakukan di sini,” jelas Nanang. Lega karena sudah menyampaikan unek-uneknya.

Marni mengayun langkah mendekat. Janda yang baru beberapa bulan pulang dari perantauan itu tersenyum menggoda. Mereka nyaris tak berjarak sekarang. Berjinjit, Marni berbisik lirih tepat di telinga kanan Nanang, “Mas Nanang pingin juga to ….”

Nanang terperangah, Marni tak memberi kesempatan padanya untuk berpikir jernih … Nanang menyerah kalah. Niat baiknya berujung nikmat maksiat.

***

 “Mas Nanang tambah semringah aja.”

Sang istri menanggapi perubahan suaminya, sesaat setelah Nanang mandi sore sepulang dari ladang.

“Biasanya pulang dari ladang bawaannya lesu,” lanjutnya, kemudian mengalihkan pandangan pada pekerjaannya. Wanita itu sibuk memotong sayuran.

Nanang tersenyum lalu mengecup pipi sang istri. Bagaimana tidak, kalau dulu dia hanya bergumul dengan gulma dan tanaman di ladang, beberapa hari terakhir rutinitasnya bertambah dengan menyatroni rumah Marni. Ternyata benar, menurut artikel yang pernah Nanang baca, semakin sering berhubungan intim, badan akan semakin sehat.

Ya, itulah bayaran Nanang, semacam uang tutup mulut untuk hubungan gelap antara Marni dan Abdul. Ada perasaan bersalah setiap dia selesai melakukan dosa itu, tapi Nanang tak sanggup menahan hasrat, bayangan Marni kerap menari-nari di pelupuk mata.

***

Lama setelah kepergian Marni merantau, wanita itu pulang berupa jasad tanpa nyawa dalam sebuah peti mati berwarna coklat tua. Salat jenazah  dilakukan langsung tanpa memandikannya terlebih dulu. Menurut keluarga, jasad Marni sudah disucikan di rumah sakit.

Santer terdengar, melalui saluran mulut-telinga jemaah gibah di kampung, kalau Marni Meninggal terserang penyakit AIDS. Kasak-kusuk itu tersebar  cepat menjadi rahasia umum para penggosip.

“Katanya, Marni mati terserang AIDS lho, Mas,” ujar istri Nanang.

“Hus! Nggak usah nggosip, Dek,” seru Abdul. Sore itu, Abdul beserta istrinya berkunjung ke rumah mereka.

“Kabarnya, penyakit AIDS itu menular melalui hubungan badan, lho,” timpal istri Abdul.

Sunyi setelahnya. Nanang dan Abdul terlihat beberapa kali menarik napas panjang, pandangan keduanya kosong. Kopi yang disuguhkan istri Nanang pun dingin perlahan. Celotehan kedua istri mereka mulai terdengar seperti dengungan.

Nanang dan Abdul tenggelam dalam pikiran serupa dan sesal yang sama. (*)

Medina Alexandria. Bidan yang suka menulis.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Tag : dewasa, perselingkuhan, berahi, padang, aids,

Leave a Reply