Pertanyaan-pertanyaan dan Jawaban-jawaban
Oleh: Imas Hanifah N
Aku selalu bertanya tentang banyak hal akhir-akhir ini. Mungkin terdengar konyol, tapi ya, aku suka sekali tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan itu dan bahkan mencoba merancang jawabannya sendiri.
Seperti pagi ini, saat aku kembali melakukan rutinitas harian. Bangun tidur sambil bertanya-tanya tentang bagaimana orang-orang memulai hari mereka? Apakah mereka memulai hari dengan membuka mata, terdiam beberapa saat, duduk di sisi ranjang, sambil menatap kosong ke tembok kamar, sama sepertiku?
Seringkali aku terdiam cukup lama tanpa melamunkan apa-apa. Aku bahkan tidak ingat persisnya apa yang tengah kupikirkan. Sampai sebuah suara segera membuatku berhenti tidak melakukan apa-apa. Aku harus melakukan apa-apa yang memang semestinya dilakukan di pagi hari, bagi seorang pekerja.
“Sudah bangun, Ni?”
“Sudah, Ma,” jawabku sambil segera melangkah ke kamar mandi. Sebelum mama benar-benar masuk ke kamar demi memastikan kebenarannya.
“Buruan, udah azan subuh dari tadi.”
“Iya, Ma.”
Di kamar mandi, ya, benar. Aku terdiam sebentar. Memerhatikan percik air dari kran yang deras memenuhi bak. Aku benar-benar belum bangun, atau apa?
“Jangan lama-lama, Teh.”
“Iya.”
Aku segera membasuh muka, mengambil air wudhu sebelum adikku yang mungkin tengah menahan sakit perut itu menggedor pintu keras-keras.
Apakah orang-orang juga sesantai ini? Ah, kecuali jika mereka sedang menahan buang air? Mereka pasti juga ingin melakukannya dengan cepat.
***
Hawa dingin yang masuk melalui jendela rusak di kamarku, menimbulkan pertanyaan lain. Apakah orang-orang menyukai hawa dingin yang masuk melalui celah jendela di pagi hari? Apakah mereka mengenang sesuatu karena hal-hal remeh semacam ini? Angin, jendela, kata-kata puitis, mimpi, dan … aku tidak tahu lagi. Maksudku, mungkin saja, orang-orang juga memikirkan hal yang sama di pagi hari.
Kecuali, orang yang terburu-buru. Orang-orang sibuk. Orang-orang yang … sungguh-sungguh bersemangat memulai hari mereka.
Aku tidak tahu. Mungkin mereka juga ingin menikmati hal-hal remeh semacam ini. Mereka juga mungkin ingin merasakan mengenang hal-hal kecil, atau tidak sama sekali.
Aku tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu. Dan tidak harus tahu.
Suara ribut mulai terdengar. Di luar, pedagang sayur dan tukang tahu keliling mulai bersuara. Aku melipat beberapa helai pakaian dan merapikannya. Mulai melihat layar ponsel yang menampilkan jam digital dan setelahnya, melakukan beberapa hal dalam tempo yang lebih cepat.
“Tempe goreng, ya. Pake kecap, nih.”
“Iya, Ma, apa aja.”
Aku memutar sebuah lagu yang aku tahu durasinya sekitar empat menit lebih sedikit. Aku terbiasa menjadikan sebuah lagu yang diputar sebagai patokan waktu yang kuhabiskan saat memulai sarapan sampai berangkat ke tempat kerja.
…
I’m off the deep end, watch as i dive in …
I’ll never meet the ground …
Crash through the surface, where they can’t hurt us …
We’re far from the shallow now …
…
Dua kali putaran. Lagunya sudah diulang. Waktunya berangkat.
Apakah orang-orang juga pernah tergesa-gesa berangkat ke tempat kerja?
Aku melangkah dengan hati yang datar, biasa-biasa saja. Memandang lurus ke depan, ke jalan raya yang tidak terlalu ramai.
Ketika angkot terlalu cepat datang, aku mengingat beberapa hal. Bahwa seringkali, menunggu lebih lama adalah hal yang cukup menyenangkan. Meskipun awalnya terasa menjengkelkan.
Menunggu beberapa saat untuk mendapatkan sesuatu atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa, hanya membuat perenunganku jadi lebih lama saja. Ya, itu seringkali cukup menyenangkan.
Di dalam angkot, aku kembali menemukan pemandangan yang itu-itu saja. Aku mengharapkan sesuatu yang berbeda, tapi tentu saja itu mungkin tidak akan terjadi. Hari-hari seperti hari ini akan terulang lagi. Pagi-pagi seperti ini juga akan terulang lagi.
Di sebelahku, ada seorang bapak-bapak yang tidak jelas tengah menggumamkan apa. Sementara aku sibuk membaca beberapa materi kepenulisan. Pening juga lama-lama membaca beberapa hal yang sulit dimengerti.
Beberapa saat, angkot berhenti. Dua penumpang lain naik. Suara gemuruh mesin mobil yang jadi pelan, membuatku mendengar dengan jelas apa yang bapak-bapak sebelahku gumamkan.
“Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah, ….”
Bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi dari portal berita online muncul di atas layar. Headline-nya tentang sebuah kecelakaan lalu lintas. Aku memasukkan ponsel dengan cepat ke dalam tas.
Adakah orang-orang merasa santai ketika dihadapkan pada perjalanan demi perjalanan tanpa kepastian? Adakah yang bisa menjamin keselamatan seseorang dalam setiap langkahnya?
Aku masih mendengar suara bapak-bapak itu, sangat jelas dan semakin jelas, meskipun mobil melaju cukup kencang.
Cukup sudah untuk bertanya lebih banyak lagi hari ini.
Juli, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
*gambar: pixabay