Embun Malam

Embun Malam

Judul : Embun Malam
Oleh : Musyrifatun

Hal apakah yang paling menyakitkan bagi seorang wanita selain terkoyaknya mahkota dengan cara keji?

***

Embun. Begitulah nama yang diberikan kedua orangtuaku. Kata Ibu, embun adalah tetesan air suci, dengan diberinya nama itu, mereka berharap bahwa aku akan menjadi perempuan yang suci, bersih, dan indah berkilau, seperti embun saat pagi hari.

“Embun harus pandai jaga diri, ya. Jangan mau berteman dengan sembarang laki-laki,” ucap Ibu sambil mengelus pipiku dengan jemarinya yang lembut, kala itu.

Ah, Ibu. Seandainya engkau masih berada di dunia ini, tentu jalan hidupku akan jauh lebih indah. Dan aku, akan menjadi embun yang suci dan berkilau, seperti harapanmu.

Namun sayang, harapan hanya tinggal harapan. Orang yang diberi kepercayaan untuk menjagaku sepeninggal Ayah dan Ibu, ternyata mengabaikan amanah, dibutakan oleh nafsu setan.

***

Siang itu, tangan kokoh yang menjadi tempatku bermanja, menggerayangi mahkota putihku yang masih belia, lalu dengan paksa mengoyaknya hingga meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah terlupa.

“Ampun, Pa-man ….” rintihku di antara sesak terhimpit tubuhnya yang kekar.

“Jangan takut, Sayang,” ucapnya sambil menyumpal mulutku dengan bibirnya. Bau busuk mulut laki-laki sialan itu membuatku ingin muntah.

Aku meronta dan menjerit sekuat tenaga, berharap ada yang memergoki ulah bajingan ini, tetapi sia-sia. Ke mana semua tetangga? Apakah tak ada yang mendengar jeritanku? Ayah … Ibu … jangan tinggalkan aku sendiri bersama monster sialan ini.

“Embun, jangan pernah berani bilang sama siapa pun. Atau paman akan menghabisi nyawa kamu! Paham?”

Ingin rasanya kutonjok muka lelaki itu, tapi tangan ringkihku jelas kalah kuat dengan lengan kekarnya yang kembali membelit tubuhku erat-erat.

Setelah kejadian itu, Paman Roy, nama bajingan itu, di mataku tak ubahnya seperti hewan buas yang siap menerkam. Rasa takut menyelimuti setiap kali berhadapan dengannya. Tetapi aku tak punya keberanian mengambil pilihan selain tetap tinggal seatap dengan monster itu.

Di luar sana, aku tak mengenal siapa pun. Bagaimana jika aku ke luar rumah ternyata di sana lebih banyak monster yang lebih menyeramkan daripada paman Roy? Meskipun bajingan, setidaknya Paman Roy memberikan hakku untuk menempuh pendidikan, juga makan dan pakaian dengan layak. Maka tetap bertahan tinggal di rumah ini sementara adalah pilihan terbaik, setidaknya sampai aku tumbuh semakin besar dan menyelesaikan pendidikan.

Pagi hari, Paman Roy akan mengantarkanku ke sekolah, memberikan uang jajan serta ongkos pulang naik bis. Siang saat pulang sekolah, Paman Roy melarangku untuk pergi bermain bersama teman-teman. Jika sampai ia memergoki aku sedang berada di luar rumah tanpa seizinnya, maka lelaki itu tak akan segan menyiksaku tanpa ampun.

Pernah suatu kali, aku berniat untuk mengadukan kekejian yang dilakukan Paman Roy kepada tetangga, tetapi sialnya, rasa malu lebih mendominasi. Bagaimana jika nanti aku menjadi bahan gunjingan para tetangga? Mereka tentu tak akan mudah mempercayai omonganku, karena di mata mereka Paman Roy adalah orang yang alim, mereka semua tidak tahu bahwa peci, sarung, dan baju koko paman Roy hanyalah topeng belaka.

***

Sepulang sekolah, seperti biasa, rumah sepi karena Paman Roy belum pulang dari sawah. Aku mengembuskan napas lega, setidaknya sampai nanti sore aku bisa tenang tanpa harus melihat wajah monster itu. Namun, tiba-tiba saja Paman Roy sudah muncul di ambang pintu kamar, rasa trauma seketika mendera, kejadian sialan itu pertama kali terjadi saat siang hari seperti ini, persis seperti saat ini.

Aku hendak berlari ke luar rumah melalui jendela, tetapi tangan Paman Roy lebih cekatan menguncinya terlebih dahulu.

“Mau ke mana, Cantik? Bukankah kamu merindukan pamanmu ini? Ayolah, kita nikmati hari ini lagi seperti kemarin ….”

Lelaki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari dalam kantong celananya.

“Kamu mau, ‘kan? Atau kamu pilih pisau ini menyentuh lehermu?” Seringai di wajahnya membuatku muak.

“Ampun, Paman ….”

Lagi, aku hanya bisa meronta saat tangan kekarnya memaksa menggendong tubuhku yang kecil lalu mengempaskannya di kasur. Tanpa bisa kutolak, kejadian keji itu terulang kembali, berkali-kali.

Aku Embun, gadis kecil yang malang, tumbuh dalam lingkaran setan, bertemankan iblis pemuja kenikmatan. Akulah Embun yang benar-benar tak lagi suci, tangan gatal penuh birahi, puas menggerayangi tubuhku yang pasrah pada jalan hidup tanpa bisa mengubahnya menjadi lebih berarti.

***

Pria botak dengan tubuh gendut, melemparkan lembaran uang berwarna merah ke arahku yang meringkuk dalam selimut tebal.

Pukul satu dini hari, sudah dua pria hidung belang yang singgah ke kamar kost-ku, masih ada dua lagi pelanggan yang mengantre di luar. Aku menyuruh mereka menunggu satu jam lagi, tubuh yang penat ini butuh istirahat, agar bisa memberikan pelayanan yang memuaskan kepada mereka. Untung saja, pria-pria rakus itu mengerti.

Selesai mandi, kutatap diriku dalam pantulan cermin, terlihat puluhan, atau bahkan ratusan bekas telapak tangan di sekujur tubuh. Melihatnya, aku merasa menjadi manusia paling kotor sedunia. Jauh dalam lubuk hati, ada penyesalan yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Namun, apa boleh buat? Aku butuh uang untuk tetap bertahan hidup.

Meskipun hidup yang kupertahankan adalah hidup yang … hampa.

Setelah Paman Roy mati karena serangan jantung, aku bagai anak ayam kehilangan induk. Meskipun benci, tapi aku membutuhkan dia–lebih tepatnya, membutuhkan uangnya–untuk tetap bisa bersekolah dan makan sehari-hari.

Dalam kebingungan atas nasibku selanjutnya, aku memilih berhenti sekolah dan pergi ke kota, dengan bekal uang yang pas-pasan serta keberanian untuk … menjual diri.

Diri ini sudah kotor, biarlah jatuh dalam lumpur hitam sekalian. Meskipun sudut hatiku menentang, tapi aku tak punya keahlian lain. Berbekal wajah cantik dan tubuh molek, aku yakin tak akan sulit untukku mendapatkan mangsa.

Benar saja, tak butuh waktu lama, pria-pria hidung belang mulai melirikku, aku membalas dengan sebuah kerlingan manja, pria-pria itu pun bagai kesetanan berebut tubuh molekku.

Berita tentangku cepat menyebar dari mulut ke mulut pria-pria mata keranjang. Bibirku tersenyum, tetapi sudut hatiku terasa nyeri.

Seringkali, saat azan berkumandang dari speaker musalah, air mataku luruh tanpa bisa kutahan. Aku memang berkubang dosa, tapi sisi kemanusiaanku jelas sangat merindukan-Nya.

Diam-diam, aku sering mendengarkan tausiah ustaz-ustaz di channel YouTube. Bagiku, itulah salah satu cara mengobati dahaga hatiku yang gersang. Aku berdoa, suatu saat Tuhan memberiku kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Apakah doa dari seorang pendosa sepertiku akan didengar Tuhan? Entahlah.

Dulu, Paman Roy pernah mengajariku salat dan mengaji, tetapi kemudian terhenti setelah ia berhasil menjadikanku budak nafsunya.

***

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan, kulirik jam dinding, pukul tiga dini hari. Oh, pastilah pria-pria hidung belang itu telah lama menungguku.

Kubukakan pintu kamar, pria bertubuh tinggi kurus langsung merengkuh tubuhku yang hanya terlilit handuk putih.

Dia menumpahkan hasrat yang menggebu, sementara aku, hanya pasrah menerima sentuhannya pada setiap inci kulit tubuhku.(*)

Indragiri hilir, 25 Juli 2020

Musyrifatun, Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman.
FB : Musyrifatun Darwanto

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply