Firasat Seorang Ibu

Firasat Seorang Ibu

Firasat Seorang Ibu
Penulis: Ina Agustin

Andai dia langit, maka aku adalah awan yang senantiasa mengiringi langkahnya. Andai aku bunga, maka dia adalah kumbang yang sangat membutuhkan diriku. Kami bagaikan lembaran buku yang telah terbuka. Sepuluh tahun lamanya berlayar mengarungi samudera kehidupan. Aku berusaha untuk selalu hadir di acara keluarga besarnya. Begitu pun dirinya.

Baru saja kudapat undangan pernikahan sepupuku yang tinggal di kota Bandung.

Hari itu tiba. Kami berangkat dengan kendaraan roda empat. Entah kenapa perasaanku tidak enak sejak pagi. Kalau bukan saudara yang mengundang, aku tidak mau menghadiri acara ini. Ya sudahlah, anggap saja sebagai upaya silaturahim setelah sekian lama tidak bertemu.

Mobil melaju. Baru sekitar setengah jam perjalanan kami tempuh, tiba-tiba Mas Farhan mengerem mendadak, lalu membuka kaca jendela

“Ada apa, Mas?”

“Lihat itu, Dek! Sepertinya kecelakaan lalu lintas,” ujar Mas Farhan.

“Astagfirullah!”

Kulihat kerumunan orang di pinggir jalan raya. Sesosok anak kecil dengan kepala remuk, usus terburai berlumuran darah dan seorang ibu yang tengah terkapar mengerang kesakitan hendak diangkat ke dalam mobil ambulance. Bau amis darah menyeruak indera penciuman. Perasaanku makin tak enak. Kutatap wajah buah hati kami yang polos sedang terlelap.

“Sudahlah, Sayang. Jangan dipikirkan. Itu hanya kecelakaan lalu lintas. Kalau kita hati-hati, In Syaa Allah tidak akan terjadi,” tutur Mas Farhan dengan bijak.

Perasaan tak enak serta rasa mual menjadi satu. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju lokasi pesta pernikahan. Perjalanan yang cukup jauh membuat kelopak mataku terkatup.

“Tidak! Jangan!” jeritku.

“Sayang, kenapa?” tanya Mas Farhan sembari menyentuh bahuku.

“Astagfirullah! Aku mimpi buruk barusan, Mas,” jawabku dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran.

Dalam mimpiku ada seorang laki-laki berjubah hitam meminta kedua anakku melompat ke dalam sungai. Laki-laki itu mengimingi Faris dan Faqih dengan permen dan cokelat. Aku berlari dan berteriak untuk mencegahnya. Namun, anak-anak tetap melompat. Mereka tak mengindahkan laranganku. Perasaanku makin tak enak. Rasa cemas menyelimuti hati.

Kami kembali melanjutkan perjalanannya. Sudah dua jam setengah kami tempuh.

“Awas, Mas!” Tiba-tiba seekor anak kucing melintas, hampir saja terlindas.

“Astagfirullah!” Mas Farhan tergemap.

“Mas, apa sebaiknya Kita pulang saja?” saranku dengan nada cemas.

“Kita sudah setengah perjalanan, Dek. Sayang sekali kalau balik lagi,” jawab Mas Farhan.

“Perasaanku tidak enak, Mas!”

Mas Farhan menasehatiku agar tenang dan tidak menghiraukan apa yang terjadi selama perjalanan. Ya, kami memang sudah separuh perjalanan. Tinggal dua setengah jam lagi sampai di lokasi pesta. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan, walaupun hatiku masih terasa berat dan tak enak.

Mas Farhan kembali memacu Alphard hitam dengan kecepatan sedang. Empat jam setengah, sudah terlewati. Saat melalui perempatan, tiba-tiba sebuah mobil pajero menyalip dari arah kiri.

Wusss!
Jantungku berdegup kencang. Kulihat wajah Mas Farhan pias. Namun, secepat mungkin dia menenangkan dirinya.

“Tenang, Dek! Hal seperti itu sudah biasa,” ujarnya mencoba menenangkan diriku.

Aku hanya bisa menghela napas dan mengangguk dengan perasaan entah. Kuhadapkan kembali pandanganku ke arah depan.

“Mama! Berapa jam lagi sampainya?” tanya Faris anak pertama kami.

“Sekitar setengah jam lagi, Sayang. Sabar ya, Nak!”

“Mama, kok belum sampe-sampe sih?” tanya Faqih sembari mengucek kedua matanya.

“Sabar, Sayang! Sebentar lagi sampai.”

Setengah jam kemudian, sampailah kami di lokasi pesta pernikahan. Sebuah ruangan yang sangat besar dan luas. Kursi-kursi yang berjajar rapi, bunga-bunga berwarna-warni serta lampu yang berkelap-kelip, menambah kesan elegan dekorasi sebuah pesta pernikahan.

Kerabat, kolega, dan teman turut serta memberikan doa restu. Mereka sedang menikmati hidangan yang tersedia. Berbagai jenis makanan terhidang di meja. Selain menu utama nasi dan lauk pauk, terdapat juga menu tambahan seperti empek-empek, siomay, bakso, tek wan, es cendol, dan es krim. Kedua anakku langsung menyantap es krim dengan lahapnya. Setelah itu mereka hanya makan sedikit nasi dengan lauk ayam goreng. Aku dan Mas Farhan masih mengunyah makanan.

“Mama, aku dan adik mau main dulu, ya!” pinta Faris padaku.

“Jangan, ya! Kakak dan adik di sini saja!”

“Biarlah mereka bermain, Sayang! Paling juga sekitar sini.”

“Tapi Mas, ini tempat baru, aku khawatir mereka kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak.”

“Jangan terlalu melibatkan perasaan, Dek! Dunia anak-anak memang dunia bermain. Biarlah mereka bergembira!”

Lalu Faris dan Faqih bermain dengan syarat tidak terlalu jauh dari lokasi pesta. Mereka berjalan keluar ruangan melihat-lihat sekitar hotel.

Aku dan Mas Farhan melanjutkan makan. Setelah itu kami mencicipi buah-buahan sembari mengobrol santai. Sekitar tiga puluh menit kemudian. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat Faris menghampiri kami sambil berlari.

“Mama, Papa, adik tenggelam!” teriak Faris dengan napas tersengal-sengal.

“Astagfirullah!”

Kami segera menuju tempat yang ditunjukkan Faris. Bagai semut mengerumuni gula.

“Permisi, tolong kasih saya jalan!” pintaku dengan nada cemas. Akhirnya punggung-punggung itu bergeser.

Kulihat sesosok tubuh mungil Faqih di sisi kolam renang sedang diberikan pertolongan pertama oleh petugas hotel.

“Astagfirullah! Kenapa bisa begini?”

“Ma—af, Bu. Ini ulah anak saya. Rio mendorong anak Ibu ke kolam renang. Sungguh saya minta maaf, telah lalai mengawasi anak saya sehingga mencelakakan orang lain,” ujarnya dengan nada penuh penyesalan.

Kulihat wajah polosnya. Usia anak itu sepertinya sama dengan Faqih, sekitar empat tahunan. Tak tega rasanya memarahi anak sekecil itu.

Aku hanya mengangguk pelan dan berkata, “Iya Bu, tidak apa-apa.”

“Bangun, Nak! Ini Mama.” Aku mengguncang tubuh Faqih.

Faqih bergeming. Sama sekali tidak bergerak. Butiran hangat membasahi kedua pipiku.
Berbagai macam pertolongan pertama dilakukan, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Lalu kami segera membawa Faqih ke rumah sakit terdekat.

Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Mas Farhan meminta maaf karena tidak mengindahkan kata-kataku. Terlihat sesal di wajahnya.

“Sudahlah Mas! Aku tidak menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya.” Aku mengusap pundaknya.

Kami sampai di rumah sakit. Dengan segera petugas UGD membawa Faqih masuk ke ruangan.

Tiga puluh menit kemudian, Faqih dipindahkan ke ruang perawatan. Rasa cemas tidak dapat dipungkiri.

Lagi-lagi Mas Farhan meminta maaf padaku, entah untuk yang ke berapa kalinya.

Gorden putih yang menjadi penyekat, alat infus yang terpasang, serta aroma obat-obatan membuatku teringat saat melahirkan Faqih dulu. Kini, tubuh mungil itu sedang terbaring di hadapanku. “Ya Allah berilah keajaiban!” gumamku pelan.

Satu jam kemudian, Faqih siuman. Dia terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.

“Ma—afkan Fa–qih ya Mah. Fa—qih yang a–jak Kak Faris liat ko–lam re–nang,” ucapnya terbata-bata.

“Tidak apa-apa, Sayang. Lain kali lebih hati-hati, ya, Nak!” tuturku sembari mengusap rambutnya yang hitam.

Empat jam kemudian, dokter mengizinkan kami membawa Faqih pulang.

Bionarasi
Penulis bernama lengkap Ina Agustin lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak laki-laki. Kini penulis beserta keluarga tinggal di Kota Serang Banten. Aktivitas sehari-hari selain sebagai IRT adalah mengajar Tahsin Tahfiz di rumah untuk anak usia SD. Hobi membaca, menulis, dan membuat camilan/kudapan. Motto : “Hidup di dunia hanya sekali. Hiduplah yang berarti!” Fb : Ina Agustin.

 

Sumber gambar: Pinterest

Leave a Reply