Perempuan Penuh Kotoran
Oleh: Rinanda Tesniana
Aku menundukkan wajah di sepanjang jalan. Selalu, orang-orang yang tinggal di sekitar rumah nenekku, menutup hidung saat aku lewat, minimal mereka memandang sinis, sambil mungkin menahan napas.
Padahal, aku sudah yakin, tubuhku bersih. Aku mandi dan menggosok badanku dengan kuat setiap hari. Tetap saja, jika aku lewat, mereka akan menutup hidungnya, sebagian berteriak.
“Jangan lewat sini lagi! Tubuhmu penuh kotoran! Berceceran sepanjang jalan.”
Aku sering menciumi tubuhku sendiri. Benar, jika di rumah, tubuhku mengeluarkan aroma busuk, tetapi setelah aku naik angkot dan tiba di sekolah, bau itu menghilang. Tidak ada satu orang teman pun yang terganggu dengan kehadiranku.
Hari ini, Ibu menjemputku sepulang sekolah. Dia menunggu di atas motor matic kesayangannya. Ibu pun sama. Di rumah, tubuhnya mengeluarkan aroma yang lebih busuk dari pada bau tubuhku. Namun, sekarang ibu sangat wangi.
Ibuku wanita yang cantik, usianya sudah tidak muda, tetapi wajah dan tubuhnya seakan menyimpan magnet yang menarik banyak lelaki untuk mendekat.
Aku mewarisi kecantikan Ibu yang paripurna, tak sedikit teman lelakiku di sekolah mendekatiku. Namun, aku selalu menjaga jarak, sebab aku takut, aroma busukku akhirnya dapat mereka cium.
“Kalau kau sudah selesai sekolah, lebih baik kita pindah ke kota, Ra,” kata Ibu di sela konsentrasinya mengendarai motor.
“Kenapa begitu, Bu? Ira masih ingin kuliah,” sanggahku cepat.
“Ibu tidak tahan tinggal di rumah nenek.”
Aku pun sama. Siapa yang tahan jika setiap hari, tetangga mengatai kami bertubuh busuk? Kata nenek, bau tubuhku dan ibu lebih tidak enak dari bau kotoran si Mpus-kucing kesayangan nenek.
“Ah, lihatlah,” bisik Ibu. “Mereka memegang batu.”
Aku melihat, sebagian tetangga memegang batu berukuran besar.
“Hei, jangan lewat sini lagi! Kotoran di tubuh kalian membuat rumah kami bau sepanjang hari.”
Pak lurah melempari Ibu dengan batu, tepat mengenai keningnya. Kening Ibu bedarah, tetapi dia tetap menjalankan motornya.
“Pergi kalian perempuan penuh kotoran! Kalian hanya membawa malapetaka di tempat ini.”
Kali ini, lemparan batu itu mengarah ke kepalaku. Sakit, tetapi lebih sakit hatiku. Aku memandang tajam si pelempar batu itu. Istri pak lurah, perempuan yang gemar menceritakan kami ke mana-mana. Aku tahu, sebab aku pernah mendengar langsung isu yang dia sebarkan tentang Ibu.
Dia bilang, ibuku seorang pelacur. Tentu saja itu bohong! Ibuku perempuan baik. Dia hanya suka membawa gadis-gadis miskin yang tinggal di kampung belakang rumahku, untuk ikut ke kota.
Setelah Ibu membawa gadis-gadis itu kerja, terbukti, kehidupan ekonomi perkampungan belakang sudah lebih baik. Kemajuan ekonomi jelas terlihat di sana.
Jadi, aku rasa, ibuku adalah orang berjasa dalam memajukan ekonomi masyarakat kecil.
***
Aku mendengar pertengkaran Ibu dan Nenek malam ini.
“Mau ke tempat itu lagi? Tak cukup banyakkah kotoran di tubuhmu? Mau kau tambah hingga sebanyak apa?” Aku dengar nenek berteriak.
“Aku mau pergi, ke tempat yang bisa menerimaku dan Ira. Aku bosan dikatai busuk!” Ibu balas mengeluarkan suara tinggi.
“Memang tubuhmu penuh kotoran. Tubuh Ira juga. Salah sendiri, kau membawa anak haram pulang. Kau mencemari tempat kami yang bersih ini. Lebih baik, kau bersuci, mencuci tubuhmu dan Ira hingga kotoran itu hilang. Bukan malah pergi, dan menambah banyak kotoran itu.”
“Tempat yang bersih?” suara Ibu yang pilu menusuk gendang telingaku.
Aku mengintip dari lubang kunci kamarku. Ibu tampak memandang Nenek dengan sinis.
“Kotor kata Ibu? Tahukah Ibu, di tempatku yang dulu, malah lelaki dari sini yang banyak datang untuk membersamaiku. Mereka menginginkan tubuhku. Dan aku bisa pastikan, Ira adalah anak pak lurah, lelaki yang tadi melempariku dengan batu.”
Ibu tersenyum puas, sementara Nenek, tampak marah. Ia melempar Ibu dengan vas bunga yang berada di sebelahnya.
***
Setelah pertengkaran itu, Ibu membawaku ke tempat yang menurutnya lebih baik, aku tidak akan dikatai bau lagi di sini.
Aku tak heran, sebab di sini, semua tubuh perempuan penuh kotoran dan berbau busuk, tetapi para lelaki bodoh itu tidak ada yang merasa terganggu. Mereka santai saja, memeluk dan mencium tubuh-tubuh kotor itu.
Termasuk aku dan Ibu. Kini kotoran di tubuh kami makin banyak, tetapi tidak ada yang mengejek atau melempari kami dengan batu.
Ah, dan lelaki itu, yang sempat melempari Ibu dengan batu, pak lurah, dia sedang asyik menjelajahi setiap inci tubuh kotorku, tanpa perduli dengan bau yang menguar dan ampas yang berjatuhan dari sana.
***
Rinanda Tesniana-Pembelajar di dunia literasi.