Rindu Kenangan
Oleh : Nuke Soeprijono
Wangi pakaian masih menguar segar di hadapanku. Selesai melipat baju-baju Arsy, aku memasukkan beberapa potong ke dalam tas yang hendak dibawanya. Tak lupa mainan favorit dan buku komik yang baru kemarin aku belikan, ikut kusisipkan pada bagian samping ranselnya. Pagi ini adalah jatah Fadel menghabiskan waktu beberapa hari ke depan bersama bocah manis itu. Ia akan datang menjemput demi melepas rindu dengan putra tercintanya. Sambil menunggu kedatangan sang ayah, Arsy tampak santai rebahan di kursi sofa sambil memegang gawai.
“Arsy, sudah siap kamu, Nak? Mau makan dulu nggak, sebelum ayahmu jemput?”
“Nggak usah, Ma. Palingan nanti aku diajak makan di resto kayak biasanya sama Ayah,” jawab Arsy dengan pandangan mata tetap tertuju pada layar terang berukuran empat inci, yang sedari tadi tak lepas dari genggamannya.
Ada sesuatu yang berdesir halus dalam dadaku mendengar jawaban Arsy. Mungkin karena aku sedikit kecewa dengan jawaban bocah umur sembilan tahun itu. Seolah ia menjawab tanpa beban. Padahal sejak subuh tadi aku sengaja memasak makanan favoritnya, semur ayam yang dicampur dengan potongan kentang. Akan tetapi, cepat-cepat kutepis ego ini. Aku paham, dan aku tidak akan memaksanya. Ya, begitulah Arsy. Dia tetap bersikap biasa, ceria dan santai meskipun keadaan orang tuanya sudah tidak hidup bersama.
Aku dan Fadel bercerai sejak Arsy duduk di kelas satu. Perbedaan pandangan dan tujuan hiduplah yang membuat kami berpisah. Aku yang menginginkan hidup sederhana, rupanya dianggap sebagai pemalas oleh Fadel yang begitu bersemangat mengejar dunia. Tamparan, tonjokan, dan siksaan fisik lainnya kerap dihadiahkan padaku jika ia kalap. Fadel menganggap aku tidak bisa diajak bekerja sama demi mewujudkan ambisinya. Bagaimana aku sanggup bekerja sama? Jika permainan bisnisnya menghalalkan segala cara. Menipu dan menjegal mitra kerja agar proyeknya bisa tembus dan diterima oleh perusahaan yang hendak mengontraknya. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun. Dan puncaknya aku tak tahan ketika malam itu Fadel pulang dalam keadaan mabuk dan lagi-lagi melakukan kekerasan fisik padaku. Meskipun berat, toh hal ini tidak menghalangi kami untuk bercerai secara baik-baik. Biarlah, banyak orang yang mencibirku saat itu. Dianggapnya aku perempuan sok suci dan tidak bersyukur.
Sekarang Fadel telah beristri lagi. Meski belum mempunyai anak dari pernikahannya ini, tetapi mungkin ia sudah bahagia dengan gaya hidupnya sekarang. Sedangkan aku, masih nyaman dengan kesendirian. Sendiri? Ah, tidak juga. Sejatinya aku tidak benar-benar sendiri. Ada Allah yang selalu menjaga dan Arsy yang menemani. Lagi pula kegiatan sehari-hariku mengajar mengaji anak-anak kecil di musala setiap sore. Jadi sebetulnya hidupku “ramai”, bukan? Aku juga lebih nyaman menjalani hidup apa adanya seperti ini. Tanpa dikejar-kejar utang dan tagihan orang-orang yang sudah menitipkan kepercayaan.
Sesaat kemudian terdengar suara klakson mobil dari depan rumah. Ah, itu Fadel. Lelaki yang selama delapan tahun pernah menjadi suamiku itu akhirnya datang.
“Arsy, sudah main game-nya. Ayahmu sudah datang, tuh!” kataku mengingatkan sambil membuka gagang pintu ruang tamu. Arsy masih bergeming sebelum ayahnya masuk ke ruang tengah dan menyapa kami.
“Assalamualaikum,” terdengar suara Fadel dari depan. Ia langsung ke ruang tengah menemui kami. “Halo Arsy, kamu sudah siap, Nak?” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Waalaikumsalam. Sudah dari tadi, dong!” jawab Arsy lalu mencium punggung tangan ayahnya. Terlihat rona wajah Arsy yang semringah, ceria menyambut sang ayah.
“Gimana denganmu, Dilla? Sehat, kan?”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sekilas saja padanya. Ya beginilah keadaanku, Fad … seperti yang kamu lihat.
Penampilan Fadel masih seperti dulu. Perlente dan necis dengan celana jin dan kemeja yang ujung lengannya digulung sedikit. Lelaki 45 tahun itu kemudian duduk menyejajari Arsy di sofa. Beberapa saat ia ikut larut dengan permainan anak semata wayangnya dalam gawai. Sesekali berkomentar lucu tentang game yang dimainkan Arsy sebelum akhirnya mereka berdua berpamitan padaku.
“Ma, aku pergi dulu sama Ayah, ya. Mama baik-baik di rumah sendiri. Aku pergi nggak lama, kok,” pamit Arsy sambil mencium tangan dan kedua pipiku. Aku anggukkan kepala dan mencubit kecil pipinya dengan gemas. Anak itu sering kali berbicara layaknya orang besar. Mungkin karena keadaan keluarga yang tidak utuh, yang memaksa cara berpikir Arsy untuk lebih dewasa dari anak seusianya.
“Iya, Arsy nggak usah khawatir. Sudah sana, selamat bersenang-senang, ya! Jangan lupa telepon Mama,” kataku dengan tawa lebar. Tawa yang semata hanya ingin menunjukkan padanya bahwa aku baik-saja. Juga pada Fadel. Meskipun sejatinya hatiku sedikit perih. Menyadari kenyataan bahwa anakku harus merasakan kebahagiaan secara terpisah. Ah, tapi untuk apa harus ada pikiran seperti itu? Bahkan Arsy saja bisa bersikap dewasa dan biasa saja. Tak ada alasan bagiku untuk bersedih. Toh, saat ini anakku sedang bersama ayah kandungnya sendiri.
Aku kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengantar Fadel dan Arsy hingga depan teras. Lalu melirik ke arah kursi sofa yang mereka duduki tadi. Sesaat aku membayangkan dua orang lelaki berbeda usia itu masih duduk dan bercengkerama di situ. Dari dulu, Fadel memang sangat menyayangi Arsy. Tidak ada yang berubah hingga kini. Beruntung Arsy masih bisa merasakan kasih sayang seorang ayah meskipun dengan cara seperti ini.
Ah, sudahlah, Mira … jangan terlalu terbawa perasaan! Kamu tidak sedang menyesali keadaan, kan? Mereka baik-baik saja, jangan siksa dirimu dengan bayangan semu. Suara dalam hati kecilku berebut saling mengingatkan dan menguatkan. Dengan rasa yang entah, aku mengambil segelas air lalu duduk dan menenangkan diri. Satu hal yang patut aku syukuri, bahwa aku bisa mengikhlaskan dan melupakan segala hal yang dulu begitu menyakitkan. Bisa mengendalikan diri di depan Fadel dan bersikap baik-baik saja di hadapan Arsy.
Beberapa saat, kubuang pandangan ke atas langit-langit ruangan. Sesekali memejamkan mata, mengingat lagi kejadian-kejadian saat bersama putra semata wayangku. Arsy paling senang ketika aku membacakan dongeng sebelum tidur. Arsyi paling bersemangat berangkat ke sekolah ketika aku memasak nasi goreng sosis sebagai bekalnya. Arsyi Fadilla … anak itu memang pintar dan selalu menyenangkan. Sikapnya yang pengertian, sedikit banyak memengaruhi kondisi psikisku agar tetap baik-baik saja.
“Mama, jangan banyak pikiran. Aku nggak pa-pa. Yang penting Mama senang, aku juga akan senang. Jangan banyak khawatir, ya, Ma,” katanya suatu kali saat dia mendapatiku duduk termenung di teras belakang. Saat itu aku hanya bisa tersenyum sambil membelai ikal rambutnya.
Kuhela napas lalu mengusap wajah sambil beristigfar. Aku tak boleh terlalu larut dalam rasa. Kuarahkan pandangan mata pada setumpuk pakaian kotor yang dipakai Arsyi kemarin. Sepertinya aku akan mencuci pakaiannya saja. Namun, lagi-lagi tebersit rasa yang aku sendiri bingung mengejanya. Apakah ini rasa sayang yang terlalu berlebih atau rasa sepi karena ditinggal seorang diri. Tanpa sadar kuciumi beberapa potong kaus berukuran sedang itu. Menghidu bekas keringat Arsyi dan memeluk kaus itu satu per satu. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku mempunyai kebiasaan seperti itu ketika terkenang seseorang atau merindui sesuatu.
Segera kubawa ember berisi pakaian kotor Arsy ke belakang. Setelah memutar tombol mencuci, kutinggalkan mesin itu dan berjalan menuju teras belakang. Melepas pandangan ke arah sepetak rumput sintetis di hadapan, kembali kenangan dalam pikiranku bergerak, bagai rol film dalam kamera. Seolah-olah di sana tampak Arsy sedang bermain bola bersama ayahnya. Mereka saling berkejaran, berebut bola, dan sesekali terdengar teriakan kesal Arsy pada ayahnya yang dianggap curang.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Kali ini kurasa senyumku pahit dan getir. Menyadari bahwa semua kini hanya tinggal kenangan. Kenangan yang tak akan lagi terasa sama meskipun bisa saja terulang kembali. Aku tahu jalan hidup mungkin masih panjang. Meskipun besar juga kemungkinan hidup seseorang akan berakhir secara tiba-tiba. Ah, sepertinya aku hanya rindu dengan kenangan. Bukan … bukan dengan orangnya. Akan tetapi dengan peristiwa yang kita tahu itu tidak akan bisa terulang lagi. (*)
Tgr_23720
Nuke Soeprijono, si alter ego yang sedang belajar menulis.
Editor : Fitri Fatimah