Mukena Bunga Sakura
Oleh: Cici Ramadhani
Seketika perasaan senang dan bahagia berganti kecemasan yang tiada tara.
“Telepon dari siapa?” tanya Bima.
Motor melaju pelan. Jelas dia mendengar percakapan singkat tadi.
“Eh, itu ….” Kata-kataku menggantung karena pikiran sudah tak lagi di raga.
Tak sabar menunggu sampai di kantor, kucoba menelepon kembali nomor Bang Karim, tetapi nomornya sudah tidak aktif.
“Kok enggak aktif, sih?” Rasa kesal dan sedih meresap bersamaan. Segala praduga hinggap di kepala.
“Kenapa, Ra?” Bima masih menunggu penjelasan.
Sepeda motornya masih melaju pelan, sesekali Bima menoleh ke belakang.
“Tadi telepon dari Bang Karim, ngucapin selamat ulang tahun. Tapi … setelah kubilang habis makan sama Abang telepon terputus. Kenapa ya, Bang?” Suaraku kini penuh keputus-asaan.
“Dia marah, kamu jalan sama aku?”
Aku terperanjat, itu adalah salah satu praduga yang hinggap sedari tadi.
“Dia kan cuma abang angkat, aneh kalau dia marah. Aku juga punya adik angkat cewek, ya biasa saja kalau dia jalan sama cowok mana pun.” Terdengar nada kesal Bima.
Aku tak mampu berkata-kata. Karim Amrullah Nasution memang hanya seorang abang angkat bagiku. Namun, kedekatan kami selama dua tahun ini membuat ikatan itu lebih erat di hati dibandingkan hubunganku dengan Rian, pacarku.
Aku mengenalnya dua tahun lalu ketika dia membantu Putra, adikku. Itu kali pertama Putra ke Kota Medan. Putra baru saja tamat SMA dan ingin melanjutkan kuliah. Saat itu, Putra kehilangan ponselnya, mungkin jatuh saat dia ke toilet ketika bus berhenti. Dia pun tidak ingat pasti bagaimana bisa kehilangan ponselnya.
Bang Karim yang saat itu duduk di sebelahnya, menyadari kegelisahan Putra. Sepanjang perjalanan Putra dan Bang Karim berbagi pengalaman. Sesampainya di Medan, Bang Karim mengantarkan Putra ke rumah Pakde Mulyadi.
Setelah itu, aku dan Bang Karim menjadi dekat. Dia pria yang dewasa, tampan, murah hati, dan mapan. Rasa kagum berubah menjadi rasa ingin memiliki. Namun, seiring berjalannya waktu aku mencoba membunuh segala kemungkinan kami bisa bersama. Bagaimana tidak, ketika dia memperlakukanku dengan hangat, sesaat kemudian dia bersikap tak acuh.
Usianya terpaut delapan tahun dariku, tetapi dia seperti anak remaja yang labil. Dalam setahun dia bisa berganti nomor telepon sampai tiga kali. Sejak saat itu aku mulai memahaminya, tak pernah lagi bertanya kenapa dia tiba-tiba tak ada kabar. Kubiarkan saja dia datang dan pergi sesukanya.
Bang Karim berusia 29 tahun, dia bekerja di sebuah Bank BUMN menjabat kepala supervisor. Dia asli Medan, hanya karena pekerjaan dia kini tinggal di Padang Sidempuan, kampung halamanku.
Pernah aku bertanya padanya kenapa dia belum menikah. Waktu itu adalah pertemuan ketiga kami. Aku memintanya menemaniku pergi ke resepsi pernikahan teman ketika kebetulan dia pulang ke Medan. Kami memang jarang bertemu hanya sering berkomunikasi via udara.
Saat itu Bang Karim menjawab, “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya–keislamannya–sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi. Diriwayatkan HR. Bukhari-Muslim. Aku pengennya dapat keempatnya. Hehehehe.”
Aku mulai sadar diri, segera terbangun dari angan yang kuciptakan sendiri. Kenyataannya kedekatan yang terjalin dari intensnya komunikasi tidak menjamin dia menyukaiku. Kenyataan lain adalah aku tidaklah memiliki sekaligus keempat hal yang diucapkannya barusan. Namun, beberapa kali dia memberi pertanyaan menjebakku.
Seperti beberapa bulan lalu, saat sedang berbicara via telepon tiba-tiba dia bertanya, “Ra, kalau kamu dapat suami, tapi dipindahtugaskan kerja ke Papua kamu mau ikut?”
“Ya maulah. Ke mana pun suamiku pergi aku selalu mendampingi,” jawabku mantap.
“Tapi ini jauh, loh, Papua. Kamu bakal jauh dari keluarga dan pastinya tidak seperti Mota Medan yang ramai.”
“Ya enggak apa-apa. Namanya ikut suami, di mana pun pasti menyenangkan.”
“Abang dapat tawaran jadi kepala cabang di sana, cuma belum yakin terima atau tidak.”
“Abang coba kompromi sama keluargalah. Belum tentu mamak abang izinkan.” Hanya itu saran yang bisa kuberi.
Dari percakapan-percakapan kami selama dua tahun ini, aku tahu keluarga sangat mengkhawatirkannya. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Di usianya yang sudah pantas menikah, tetapi dia masih betah melajang, sibuk bekerja sampai kadang makan pun tak teratur.
Ini karena ibunya yang pemilih. Pernah dia memperkenalkan beberapa wanita pada ibunya tapi tidak ada yang cocok. Begitu juga wanita pilihan ibunya tidak pernah ada satu pun yang ‘nyantol’ di hati Bang Karim.
“Ra, sudah sampai, nih.” Suara Bima membuyarkan kenanganku bersama Bang Karim.
“Eh, sudah, ya?” tanyaku gugup. Aku segera turun dari motor. “Terima kasih, ya, Bang, traktirannya.”
“Ya, sama-sama. Udah, kamu jangan mikirin lagi abang angkatmu itu. Aku cabut, ya.” Bima pun melaju dengan motornya.
Sesampai di dalam, aku memberikan KFC di meja tempat Kak Vina duduk.
“Ini, Kak, titipan Bang Bima.”
“Wah, beneran Kakak dibelikan? Padahal tadi cuma bercanda sama Bima. Dia bawa kamu makan saja Kakak sudah senang.” Senyum tersungging di wajah Kak Vina.
“Aku sudah punya pacar, loh, Kak. Dan dia juga sudah.”
“Ya, siapa tahu kalian jodoh. Sepertinya kalian cocok.” Kak Vina memainkan sebelah matanya. Aku tahu pasti ke mana maksud Kak Vina.
Aku hanya menggelengkan kepala.
***
Pertemuan di kantor selesai sampai sore. Jalanan padat, macet di mana-mana. Tadi saja aku dan Kak Vina menunggu lama angkot lewat karena selalu penuh oleh orang-orang yang pulang kerja atau kuliah. Sampai di rumah, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aku memang jarang pulang telat seperti ini. Bapak dan Ibu pun tidak pernah marah, tetapi terkadang rasa segan selalu datang. Bagaimanapun tetap lebih enak tinggal di rumah sendiri walau itu gubuk tua.
Saat di kamar, aku mengambil ponsel dari dalam tas. Saat pertemuan tadi, aku menonaktifkan agar tidak mengganggu acara. Aku berniat menghubungi kembali nomor Bang Karim. Namun, saat baru kunyalakan tiba-tiba telepon berdering.
‘Ayank’. Nama yang tertera di layar untuk Rian. Segera kutekan tombol hijau.
“Halo. Kenapa susah kali, sih, dihubungi? Kenapa ponsel kamu matiin?”
Belum aku mengucapkan salam sudah terdengar suara penuh amarah dari seberang sana.
“Aku kan udah bilang, aku hari ini ada pertemuan di kantor. Ini juga baru nyampe rumah karena macet,” jawabku kesal.
“Beneran kamu di kantor?” Suaranya penuh kecurigaan.
“Terserah mau percaya atau enggak. Udahlah, aku capek. Jangan ngajak berantem.” Kumatikan sambungan karena kesal. Langsung kuubah mode diam karena aku tahu Rian akan terus menghubungiku.
Kupandangi mukena putih yang tergantung di balik pintu kamarku. Itu adalah hadiah ulang tahunku, tahun lalu dari Bang Karim. Entah mengapa aku memintanya memberiku mukena sebagai kado ulang tahun. Dia lalu mengajakku ke Pasar Ikan, sebuah pusat belanja terbesar di Kota Medan. Dia memintaku memilih sendiri mukena yang kumau dan aku jatuh hati pada sebuah mukena berwarna putih dengan sulaman bunga sakura berwarna maroon. Dia juga memintaku memilih satu mukena lagi yang bisa dibawa ke mana pun, yang selalu berada di dalam tas kerjaku.
Mukena berbahan satin warna manggis. Dua benda ini menjadi kenanganku pada Bang Karim. Kali ini dia menghilang lagi tanpa pamit. Akankah dia kembali seperti sebelumnya? Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipiku.(*)
Cici Ramadhani menyukai literasisejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.