Bukan Sepatu Cinderella

Bukan Sepatu Cinderella

Bukan Sepatu Ciderella
Oleh : Cici Ramadhani

“Kapan mulai ikut latihan denganku, Ra?” tanya Bima.

Sudah beberapa hari ini dia mendesak agar aku ikut latihan dengannya. Namun, aku masih mengulur waktu. Satu sisi aku senang karena memiliki lebih banyak waktu bersama dengannya, tapi di sisi lain aku tidak cukup percaya diri bergabung dengan teman-temannya sesama atlet.

“Ya sudah, sekarang saja ikut latihan denganku. Cepat ganti baju, aku tunggu di sini.”

Aku segera mengganti baju kerjaku dengan celana training berwarna biru dongker dan kaos lengan panjang berwarna biru muda. Biru adalah warna kesukaaku, jadi aku memiliki stok baju cukup banyak dengan warna yang sama. Aku menghampiri Bima yang masih duduk di atas sepeda motornya. Aku memang tidak memintanya menunggu di dalam karena tidak ada orang di rumah. Aku mengunci rumah dengan kunci duplikat yang diberi Kak Fitri.

Bima membawaku ke asrama putri. Ia membuka pintu kamar Wita yang ternyata tidak terkunci. “Tunggu di sini,” pintanya.

“Abang mau ke mana?” tanyaku. Aku merasa tidak nyaman ditinggal di kamar Wita seorang diri. Karena aku belum akrab dengannya. Kami hanya sesekali bertemu ketika Bima membawaku ke sini menumpang salat.

“Aku mau beli nasi, di kantin sebelah. Aku sudah minta izin Wita, sebentar lagi dia juga pulang kuliah karena mau latihan juga.”

Karena posisi kami yang saling berhadapan di depan pintu kamar, mengaharuskanku mendongakkan kepala ketika berbicara padanya. “Jangan lama, ya,” pintaku dengan wajah memelas.

“Iya …,” jawabnya sambil tersenyum. “Udah, masuk. Tunggu di dalam aja.” Bima mendorong tubuhku, kemudian menutup pintu. Aku memilih duduk bersandar di depan televisi.

Tidak berapa lama pintu terbuka. Wita masuk bersama Bima. Aku dan Wita hanya bertegur sapa dengan saling melempar senyum. Tangan kanan Bima membawa sepiring nasi ukuran jumbo dengan lauk ayam goreng–kesukaan Bima–dan tangan kirinya membawa bungkusan teh manis dingin. Romantis sekali, kami makan sepiring berdua. Hatiku semakin berbunga-bunga.

“Istirahatlah sebentar di sini, nanti kita ke lapangan jam tiga. Aku ada di kamar sebelah.” Bima pergi membawa piring bekas makan kami berdua.

Ini memang bukan yang pertama kali aku joging di stadion ini. Tapi ini pengalaman pertamaku berolahraga bersama Bima. Aku merasa kikuk, seakan-akan banyak pasang mata memerhatikan kami mengitari lapangan berdua. Bima memberiku semangat untuk terus berlari kecil dengan irama yang stabil. Ini bertujuan agar napasku tidak terengah-engah saat berlari.

Setelah mengitari lapangan bola sebanyak tiga kali, Bima mengajakku bergabung dengan teman-temannya yang lain untuk melakukan pemanasan. Aku hanya menurut, tidak berani membantah Bima sedikit pun. Teman-teman tersenyum penuh arti. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

Setelah pemanasan, kami beristirahat sebentar di pinggir lapangan. Seorang pria paruh baya datang. Beberapa atlet menegurnya, “Coach.”

“Saya pikir, kamu sedang melatih calon polwan,” katanya pada Bima sambil melirik ke arahku.

“Ini teman mengajar saya, Pak,” ucap Bima.

Aku hanya menundukkan kepala seraya tersenyum, sebagai ucapan salam kepada sang pelatih.

***


Sudah sebulan aku ikut latihan bersama Bima. Apa yang Bima dan teman-temannya lakukan, itu pula yang kulakukan. Bahkan, ketika latihan angkat beban. Selama ini aku hanya tahu olahraga lari dan senam saja. Namun, sebagai seorang atlet ternyata semua gerakan latihan otot tubuh dilakukan. Berlari, melompat, loncat, melempar, dan mengangkat beban. Aku merasa berat badanku menjadi lebih ringan. Mungkin beberapa kilogram berhasil kuturunkan. Bagaimana tidak jika olahraga setiap hari rutin dilakukan.

“Ra, besok temani aku beli sepatu, ya,” kata Bima saat kami baru selesai latihan. Akhir minggu adalah jadwal libur latihan. Bagaimanapun tubuh juga perlu beristirahat, bukan?

“Di mana, Bang?” tanyaku.

“Di Sport Station, katanya Nike lagi diskon. Lumayan, buat ganti-ganti latihan,” katanya lagi.

“Aku juga pengen beli, tapi belum gajian,” aku tertawa nyengir. Aku melihat sepatu KW yang kupakai mulai menganga. Harganya saja cuma enam puluh ribu, di pakai setiap hari pasti dia menjerit-jerit minta pensiun.

***

“Ra, kamu pilih juga sepatu untukmu,” kata Bima saat kami memasuki toko.

Seorang karyawan toko menyambut dan menanyakan sepatu apa yang kami cari. Setelah Bima menjawab, sang karyawan kemudian menuntun kami ke arah sepatu yang sedang didiskon.

“Bang, nanti gajian kuganti, ya,” bisikku saat bersebelahan dengan Bima. Walau karyawan itu tidak berada di dekat kami, tapi dia memerhatikan dari jauh. Aku tidak mau ada orang lain mendengar apa yang kukatakan pada Bima.

“Gampang ….” Bima memainkan sebelah matanya.

Kami memerhatikan sepatu-sepatu yang tertata rapi di beberapa rak. Rak ini memiliki tinggi hampir menutupi badanku. Banyak sepatu bermerek yang didiskon dengan harga terjangkau. Kalau Bima sibuk mencari sepatu merek Nike, aku malah sibuk memeriksa harga dari tiap model sepatu yang di pajang. Ya, aku harus membeli sesuai buget yang akan kukeluarkan. Aku yang hanya seorang guru honorer, menerimanya gaji setiap tiga bulan sekali. Harus pandai-pandai mengatur pengeluaran selama tiga bulan ke depan, karena kini tempat tinggal dan makan harus kubayar sendiri.

Aku sudah memilih beberapa model sepatu dengan harga yang sama. Anehnya nomor yang sesuai dengan kakiku sudah tak tersedia. Dengan sabar aku kembali mencari-cari. Saat sibuk memilih, ponsel di saku celanaku bergetar. Tertulis, ‘ayank,’ memanggil. Aku menatap lama layar itu, ada ragu. Entah hati siapa yang ingin kujaga, saat bersama Bima panggilan dari Rian tak pernah kuharapkan. Namun, bagaimanapun Rian masih kekasihku.

“Dari siapa?” tiba-tiba Bima sudah berada di sampingku. Dia ikut memerhatikan nama yang tertera di layar ponselku. “Angkat aja,” katanya kemudian berlalu.

“Halo, assalamu’alaikum,” kataku setelah menekan tombol hijau.

“Waalaikumsalam, Adik lagi apa?” tanya Rian dari seberang.

“Lagi cari sepatu.”

“Kakimu nomor berapa, Ra? Biar kubantu cari,” ucap Bima setengah berbisik.

Aku kaget, Bima tiba-tiba sudah berada di sampingku lagi. Kujauhkan ponsel dari bibirku, “Nomor 38, tapi cari harga yang sekitar dua ratus ribuan, ya, Bang.”

“Halo …,” panggil Rian dari ujung sana.

“Eh, iya maaf, mas.”

“Adik, pergi sama siapa?” Nada suara Rian mulai terdengar kesal.

“Sama … Bang Bima,” kataku terbata. Aku tahu Rian mulai cemburu pada Bima, karena kini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bima. Namun, percuma bila aku berbohong. Mungkin saja Rian sudah mendengar suara Bima tadi.

“Memangnya Adik ada uang beli sepatu?”

“Enggak ada, pinjam uang Bang Bima dulu.”

“Buat apa Adik pinjam uang sama dia. Adik sama saja menjatuhkan harga diri mas, kayak mas enggak bisa beliin Adik aja.” Rian marah. Aku menjauhkan telepon karena suaranya memekakkan telinga.

Bima menarik tanganku, menuntunku duduk di bangku yang tersedia di antara rak sepatu. Bima berjongkok di depanku, membuka kaitan tali high heels-ku. Kemudian mulai memakaikan sepatu yang telah dipilihnya pada kaki kananku. Kembali hatiku berdesir. Aku merasa bak Cinderella saat mencoba sepatu yang dibawa sang pangeran.

“Halo, Dik. Nanti mas usahakan kirim uang buat Adik. Cepat bayarkan sama Bima, mas enggak mau kamu pinjam-meminjam uang dia.” Amarah Rian membuyarkan lamunanku.

“Mas, udahan, ya. Nanti sampai di rumah kutelepon. Assalamu’alaikum.” Kuputuskan sepihak percakapan kami. Aku tidak ingin pangeran di hadapanku ini terlalu lama berjongkok.

“Gimana, pas?” tanya Bima setelah aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

Aku menggerak-gerakkan kelima jariku. “Pas,” kataku mantap.

“Nah, coba dipakai satu lagi terus dibawa jalan.” Bima menyerahkan sepatu sebelah kiri padaku.

Aku memakainya, kemudian mencoba berjalan. “Aduh,” kataku lirih saat melangkahkan kaki sebelah kiri.

“Kenapa?” tanya Bima khawatir.

“Kok, sakit yang sebelah kiri, ya, Bang?” Kucoba menjelaskan dengan kembali duduk.

Bima langsung melepaskan sepatu yang ada di kaki kiriku. “Aneh banget kakimu, Ra. Biasanya kaki sebelah kanan itu yang lebih panjang, makanya orang banyak mencoba sepatu yang sebelah kanan. Tapi kamu punya kaki kiri yang lebih panjang.” Bima menyerahkan sepasang sepatu itu pada karyawan toko. “Nomor 39-nya ada, Bang?” tanya Bima pada karyawan toko.

“Enggak ada, Bang. Yang diskon di rak ini, nomornya enggak ada yang lain, tinggal satu itu aja,” jelasnya.

Aku dan Bima kembali mencari-cari sepatu
berukuran 38 dan 39. Beginilah kalau membeli barang diskon, pasti nomornya sudah tidak lengkap. Harus penuh kesabaran dan ketelitian. Akhirnya, Bima menemukan sepatu putih merek Mizuno dengan nomor 38. Sepatu itu pas di kakiku. “Kalau modelnya aku lebih suka yang tadi, Bang,” kataku kecewa.

“Ya, gimana lagi. Daripada kaki kamu sakit dipaksain pakainya, lebih baik cari yang pas. Ini juga cantik, kok,” katanya meyakinkan.

Walaupun aku bukanlah Cinderella sepeti dalam cerita dongeng, tapi aku memiliki sepatu kenangan bersama Bima. Bima yang mulai bertahta di hatiku. Bak pangeran berkuda putih yang membawaku menyusuri jalanan yang penuh misteri–misteri cinta.(*)

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak jaman SMP. Namun, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi mencoba mengasah hobi lama. Mulai menyampaikan pesan melalui kata.
Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dinginnya hawa pegunungan.
Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembacanya.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply