Kutukan Abadi
Oleh : Fathia Rizkiah
Setiap berjalan di tengah keramaian, kamu selalu menunduk. Topi sudah seperti teman setiamu, ia tak pernah ketinggalan ke mana pun kamu pergi. Seakan meminta bantuan pada penutup kepala itu agar pandanganmu tak langsung menatap—dengan ekor mata—manusia-manusia yang berlalu-lalang di sekitarmu. Kesalahan yang kamu lakukan dua bulan lalu benar-benar membuatmu trauma menatap manusia.
Bruk! Seseorang bertubuh gempal menabrak bahumu. Kamu melirik sekilas, ah yang menabrakmu perempuan. Rambutnya terurai sebahu dengan kedua tangan sibuk mengangkat dua plastik hitam berukuran cukup besar. Kamu menebak, di kedua plastik itu pasti memuat cukup banyak barang.
“Maaf, Dik. Saya buru-buru. Keretanya sudah mau jalan,” ujar perempuan yang menabrakmu. Kamu menebak lagi, ia pasti seumuran dengan ibumu, mudah ditebak dari intonasi suaranya yang berat namun terdengar halus. Kamu mengangguk sebagai jawaban. “Tidak apa-apa.” Meski ibu di hadapanmu tadi belum sempat melihatnya, ia sudah berlari tergesa-gesa menghampiri pintu kereta yang paling dekat dengannya.
Kamu kembali melanjutkan perjalanan, berjalan bersama orang-orang yang hendak keluar dari stasiun. Hari itu kamu ingin berkunjung ke rumah teman, kamu sudah memberi kabar kalau kamu sudah turun dari kereta, dan temanmu sedang dalam perjalanan ingin menjemput. Temanmu bilang, lokasi rumahnya dengan stasiun lumayan jauh, butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke sana, itu bila kendaraannya berjalan lancar tanpa drama jalan raya.
“Terlalu lama,” balasmu di chat. Kamu menawarkan untuk naik kendaraan umum saja, tetapi temanmu melarang. Ia tahu kondisimu, ia takut sesuatu akan memperburuk keadaanmu, bila kamu terus-menerus berkerumun di tengah padatnya manusia.
“Baiklah, baiklah. Tapi usahakan datang sebelum tiga puluh menit. Aku tak mau menyiksa kakiku untuk berdiri menunggu,” balasmu lagi. Sambil menunggu balasan, kamu kembali berjalan. Tanganmu menyelinap ke dalam saku, khawatir bila temanmu menghubungi kamu tidak mendengarnya. Setidaknya dengan terus menggenggam ponsel dalam saku, kamu akan tahu kalau-kalau ponselmu bergetar.
“Iqbal?” ujar seorang perempuan di depanmu. Kamu berhenti, dan kamu masih menunduk. Kamu bisa melihat dua jengkal di depanmu ada sebuah flat shoes berwarna cokelat muda sedang berdiri. Kamu mulai takut dan firasatmu memikirkan hal buruk.
“Kamu Iqbal, kan?” tanyanya lagi. Kamu semakin takut dan tetap menunduk, berharap perempuan di depanmu bukan berbicara padamu, melainkan pada orang yang berjalan di belakangmu. Meski kemungkinannya kecil sekali.
Sebuah tangan menepuk bahumu. “Bal? Kamu Iqbal Ramadhan, kan? Alumni SMA Jakarta 1?”
Kamu kalut bukan main, perempuan di hadapanmu benar-benar mengenalimu! Kamu pasrah dan hampir menyerah—untuk terus menunduk—tetapi kamu bersyukur, sebelum matamu menatap perempuan itu sebuah suara menyelamatkanmu.
“Zein? Sudah lama menunggu? Maaf ya aku lama, siang ini jalanan sangat macet.”
Tyas! Seseorang yang sejak tadi sangat kamu tunggu akhirnya datang.
Sambil menarik pergelangan tanganmu Tyas sedikit berbasa-basi pada perempuan di depanmu. “Duluan ya, Mbak.”
Samar-samar kamu mendengar perempuan yang menegurmu bergumam pelan, “Ya ampun aku salah orang? Pantas dipanggil nggak nengok-nengok.”
Setelah menjauh, kamu dan Tyas tertawa terbahak-bahak.
“Zein nama siapa, tuh?” tanyamu.
“Zein Malik, pas banget tadi aku lagi dengerin lagunya,” ujar Tyas sambil menunjukkan ponselnya yang sedang memutar musik Barat.
Kamu tertawa lagi. “Seharusnya Zayn bukan Zein. Any way, makasih ya, Yas.”
Tyas berjinjit untuk menggelayutkan tangannya di bahumu. “Santai saja. Jadi gimana? Kamu ngalamin hal serupa kayak aku dulu?”
***
Kamu sudah duduk di sofa ruang tamu rumah Tyas. Orangtuanya sedang pergi ke luar kota, di rumah hanya ada Tyas dan adiknya. Tyas menjatuhkan diri di sofa tunggal, sambil membuka stoples kue kacang ia bertanya, “Jadi sekarang kamu bisa lihat apa saja?”
Kamu mendengkus. “Hampir semua hal.”
“Contohnya?” tanya Tyas. Sahabatmu ini mulai sibuk dengan kue kacangnya.
“Semua hal yang menyenangkan dan menyedihkan, termasuk pernikahan dan kematian.”
Tyas terkejut, mulutnya yang sedang mengunyah kue kacang sedikit terbuka. Kamu membuang muka, menghindari pemandangan menjijikan.
“Serius kamu bisa lihat hal seperti itu?”
Kamu mengangguk tipis.
“Kok bisa? Katanya kamu cuma bisa lihat nasib seseorang dalam kurun waktu seharian?”
Kamu mengedikkan bahu. “Itu awalnya, semakin lama kutukannya semakin parah. Setiap menatap mata manusia aku jadi tahu bagaimana nasib mereka ke depannya. Semakin sering menatap mata manusia, semakin banyak nasib-nasib yang terekam dan tersimpan di memori kepalaku. Semua ini membuatku gila!”
Tyas menelan kue dalam mulutnya. “Dari awal aku sudah curiga, kutukanmu ini lebih parah dari kutukan yang kudapatkan. Memangnya kesalahan apa yang kamu lakukan sampai kamu terkena kutukan separah ini? Jangan bilang, kesalahan kita sama?”
Kamu menggeleng. “Aku tak sekejam itu, memacari manusia berdarah realm of magic lalu berselingkuh dengan manusia biasa yang penampilannya lebih menawan.”
Wajah Tyas memerah, ia berdeham dan kembali melahap dua kue kacang sekaligus. Kamu tertawa, temanmu itu tersindir.
“Aku membuka buku kesayangan Jane, dan ia marah besar.”
“Jane? Pacarmu?”
Kamu menggeleng. “Kami hanya dekat.”
“Oh, lalu? Buku apa yang kamu buka?”
“Semacam buku diari, tapi kau tahu kan buku diari ‘mereka’ berbeda.”
Tyas menggeleng. “Aku belum pernah lihat buku diari mereka.”
“Itu sangat unik, apa pun yang kau tulis di sana, semuanya akan timbul seperti film.”
Tyas membulatkan bibirnya. “Buku mereka bisa begitu? Lalu apa yang kamu lihat dari buku diari Jane?”
“Aku membuka dari halaman awal, itu adalah hari pertamanya masuk asrama, di sana ia sedang menangis karena sedih harus berpisah dengan keluarga. Di halaman selanjutnya, ia senang karena teman-temannya tak seburuk yang ia kira. Mereka semua menerimanya dengan baik. Karena kukira isi buku diarinya hanya seputar tentang perasaannya di asrama, aku membuka ke pertengahan halaman. Kau tahu apa isinya?”
“Apa?” tanya Tyas penasaran.
“Ia bilang ia mencintaiku. Ia menulis namanya dan namaku dengan sangat besar.”
“Lalu? Jane menangkapmu sedang membuka bagian itu?”
Kamu mengangguk. “Ia marah besar. Ia memblokir kehidupan kami, dan juga mengutukku.”
“Lalu bagaimana dengan kalian berdua?”
“Sudah kubilang, ia memblokir kehidupanku, jadi aku sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengannya.”
“Jadi bagaimana? Kau ada solusi?” Kamu bertanya.
Tyas menggeleng. “Kutukan mereka sangat kuat, terlebih kalau mereka marah besar, kutukan itu akan abadi.”
“Apa tidak ada cara untuk menghilangkan kutukannya?”
Tyas menggeleng lagi. “Ramuan terampuh sekalipun tidak akan bisa melunturkannya.”
“Berarti … itu juga yang sedang kau alami?” tanyamu hati-hati. Kamu takut menyinggung perasaan Tyas.
Tyas mengangguk. “Dion marah besar saat aku menduakannya, ia mengutukku jomlo seumur hidup. Kecuali aku meninggal, kutukan itu akan luntur dengan sendirinya.”
Kamu terdiam sejenak. “Ide bagus. Apa aku harus meninggal saja agar semua kutukan ini hilang?” (*)
Tangerang, 17 Juli 2020
Fathia Rizkiah, pencinta kucing oren yang tinggal di Kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar, mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram @fath_vhat.
Editor: Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata