Perempuan dengan Pijar Kembang Api di Dadanya

Perempuan dengan Pijar Kembang Api di Dadanya

Perempuan dengan Pijar Kembang Api di Dadanya

Penulis: Dhilaziya

 

Ramadan sudah berlalu. Bulan istimewa kali ini dijalani dengan begitu berbeda. Tanpa dentum petasan, tanpa beduk yang ditabuh bertalu-talu, bahkan nyaris tanpa gaung teriakan membangunkan sahur. Sunyi sekali, kecuali di hati perempuan yang sedang duduk di sebelahku. Hati perempuan ini ingar bingar, seakan lagu-lagu perayaan dinyanyikan setiap ia bangun tidur. Di balik masa pandemi yang menyuguhkan sepi, jiwanya bersuka cita. Ada peristiwa yang membuatnya seolah-olah punya alasan meletupkan kembang api setiap hari.

Namanya Juriyah. Perempuan dengan gurat-gurat halus di wajah dan kurasa dia tidak pernah berupaya menyamarkannya. Kulitnya sedikit legam, rambut sering terkucir sembarang. Pendidikan yang tak seberapa dan tempaan hidup membuat gaya bicaranya lugas dan apa adanya. Dia tinggal di belakang rumahku. Rumah yang ditinggalinya adalah rumah yang dibangun dari perasan keringatnya dengan menjadi pembantu rumah tangga di kota besar sejak berumur sebelas tahun. Ibarat monumen, rumah yang dia tempati adalah kebanggaan dan harga diri baginya. Bersama ibunya yang juga menjadi pembantu di rumah yang sama, dahulu mereka memilih tak menuruti kesenangan hanya agar bisa memiliki hunian. Lima tahun setelah tak lagi menjadi pesuruh dan kembali ke kampung, ibunya meninggal. Juriyah masih pengantin baru waktu itu, sekitar tujuh purnama selepas ijab kabul.

“Saya bersyukur ada si corona ini, Bu. Gara-gara corona, tahun ini jadi beda. Ramadhan ini jadi bulan puasa terbaik sepanjang hidup saya,” ucapnya sambil tersenyum. Kakinya yang selonjor digoyang-goyangkan, mirip anak gadis yang baru saja jatuh cinta.

Tentu saja aku heran dengan kalimat Juriyah. Aku sampai berjengit mendengarnya berkata begitu. Keterlaluan sekali dia. Nyaris seluruh dunia kelimpungan menghadapi serangan virus yang tak kuketahui wujudnya ini, banyak korban meninggal yang terus disiarkan setiap hari. Namun, dia seenaknya saja berkata: senang, ada corona.

Memang, setahuku keluarganya mendapat bantuan dari dana desa, berwujud uang dan sembako. Akan tetapi, kurasa itu kelaziman saja. Toh, sebelum publik digegerkan oleh corona, keluarganya memang terdata menerima bantuan apa pun yang ditujukan kepada rakyat miskin. Karena begitulah adanya mereka, melarat! Apakah karena mendapat bantuan lebih banyak dari biasanya, membuatnya berpikir corona adalah berkah baginya? Seperti banyaknya guyonan tak lazim yang banyak beredar sekarang, samakah? Naif sekali Juriyah jika demikian. Setahuku juga, mereka pernah dibuat amat kerepotan oleh pandemi ini.

Suami Juriyah, Kiswanto, adalah seorang kuli bangunan. Lelaki berbadan liat yang berasal dari daerah berbeda, datang sebagai pangeran pujaan yang meminang saat usia Juriyah kurang dua angka dari empat puluh. Pekerjaannya melayani tukang batu, mendominasi bagian yang paling perlu banyak tenaga dan kontraksi otot tubuh. Mengangkat material berat, mengayak pasir, membuat adonan semen, misalnya. Jika profesi kuli sedang tak ia lakoni, menjadi pesuruh siapa saja ia mau, demi memegang uang setiap hari, asal di dapur ada yang ditanak, asal gugur kewajiban sebagai penanggung jawab nafkah keluarga.

Bulan lalu Kiswanto sempat bekerja di daerah Jatibening, Bekasi. Bersama sembilan rekannya, delapan pekerja bangunan dan seorang perempuan yang didapuk sebagai juru masak, mendapat borongan membangun rumah milik anak seorang tetangga di sini. Hal itu sudah biasa dilakoni dan tidak akan meninggalkan cerita di luar kebiasaan, jika saja tidak ada seorang kuli yang mati.

Kampung kami geger waktu itu. Entah bagaimana awalnya, yang jelas kuli yang meninggal itu disebut-sebut terinfeksi corona. Lebih buruk lagi, hal itu terjadi pada masa-masa awal pandemi merambah pusat ibu kota. Meski diagnosa terakhir menyebutkan laki-laki itu meninggal karena penyakit ginjal dan jantung yang memang dideritanya, kabar yang sampai di kampung kami tak begitu adanya. Semua mata memandang iba kepada Juriyah dan satu anak lelakinya yang beranjak remaja, seolah-olah vonis “sebentar lagi suami dan ayahmu menyusul mati” sudah tak bisa ditawar lagi.

Hal yang lebih membuat miris ialah reaksi dari kampung lain. Ponsel dan segala kekuatan magis internet membuat informasi perihal yang terjadi pada Kiswanto dan rombongannya, menyebar cepat malam itu juga. Entah bagaimana mulanya, telah beredar informasi bahwa warga kampung di sepanjang rute menuju kampung kami sudah bersiaga menghadang kedatangan Kiswanto dan teman-temannya. Dalam chat yang tersebar luas di banyak WAG, tertulis nama anggota rombongan Kiswanto, jenis mobil yang hendak dipakai, bahkan perkiraan keberangkatan dari Bekasi, serta estimasi mereka sampai di batas kota. Padahal, mereka berencana untuk pulang kampung saja tidak!

Mungkin sebenarnya mereka sempat ingin kembali ke kampung, kematian teman kerja bukan hal yang mudah. Namun, pandemi membuat Dinas Kesehatan setempat dan warga di sekitar Kiswanto bekerja, gegas mengambil tindakan. Mereka diisolasi, dipantau ketat agar tak sampai melewati pagar halaman walaupun satu jengkal, juga wajib menjalani pemeriksaan—untuk memastikan mereka tidak terpapar. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali makan, tidur, dan berolahraga, kata Juriyah mengulang cerita suaminya. Empat belas hari yang menjemukan dan penuh kecemasan, sebelum semua mendapatkan surat keterangan sehat yang mengizinkan mereka pulang ke kampung halaman.

Empat belas hari berikutnya, Kiswanto dan kawan-kawan kembali dikurung, bedanya kali ini di rumah sendiri. Petinggi kampung dan Muspika ketat mengawasi. Kampung terasa mencekam. Seluruh warga menaikkan level kewaspadaan. Masker dan hand sanitizer dibagikan percuma kepada semua warga. Kampung kami sunyi, semua berdiam dalam rumah, ketakutan. Seakan-akan aroma kematian menguar dan menusuk setiap hidung.

Di hari ketujuh masa isolasi, Ramadan datang.

“Ini untuk pertama kalinya suami saya puasa, Bu.”

Kaca-kaca di mata Juriyah hampir pecah saat dia menutulkan ujung bergo ke matanya. Helaan napas yang terdengar setelah itu, kurasa adalah upayanya agar dia tak lanjut menangis. Bibirnya gemetar saat dia memilih menggigitnya. Dia berjuang keras menahan isak.

Memang bukan hal aneh di kampungku, jika lelaki-lelaki yang bekerja mengadu tenaga jarang menjalankan ibadah satu ini, meski tidak semua begitu. Adalah jamak jika di siang hari, warung kopi tetap tak sepi pembeli. Mereka berdalih, ada keringanan untuk tidak berpuasa bagi mereka yang bekerja berat. Rata-rata pria di kampungku bekerja sebagai kuli bangunan jika tak punya sawah untuk digarap, entah sebagai pemilik atau buruh. Pegawai pemerintah atau karyawan swasta jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, termasuk aku.

“Ibu tidak tahu rasanya, menjawab pertanyaan anak-anak: mengapa bapaknya tidak puasa, sedangkan saya memaksa mereka untuk melakukannya. Ibu tidak tahu rasanya jadi saya, waktu anak-anak menatap dengan wajah kepingin ketika bapaknya makan siang, saat istirahat kerja. Ibu tidak tahu rasanya, melihat leher anak saya ikut berdeguk melihat bapaknya minum, saat kerongkongan sudah lengket menjelang ashar. Rasanya sakit sekali, Bu. Tapi saya bisa apa? Selain mengelus dada, meminta Tuhan menguatkan anak-anak saya, dan memaafkan ayah mereka.”

Kali ini dia bicara sambil menebah dadanya seolah-olah menunjukkan kepadaku di mana yang terasa begitu sakit. Kali ini dia gagal mencegah air matanya mengalir dan tidak repot-repot segera menyusutnya. Mata yang dipenuhi genangan air itu menatapku, dan menularkan tangisnya.

Ada tiga anak Juriyah dan Kiswanto. Dua yang besar sudah pergi merantau. Tinggallah mereka dengan anak terkecil yang baru masuk SMP tahun kemarin. Setahuku, anak-anak mereka penurut dan tak banyak polah. Kata Juriyah, yang paling berat adalah ketika harus berbantah kata dengan anak keduanya. Anak lelaki yang ketika beranjak remaja dan Juriyah kukuh menyuruhnya tetap berpuasa itu menolak, dengan alasan bapaknya. Membantah saat Juriyah berhujjah beratnya pekerjaan Kiswanto. Kata anak keduanya, bapak seorang temannya tetap berpuasa padahal melakukan pekerjaan yang sama dengan Kiswanto.

“Saya sampai menangis memintanya tetap berpuasa, Bu. Saya mengiba agar dia mengasihani saya, ibunya. Baru dia diam dan setuju. Teman-temannya juga mulai membangkang waktu itu. Apalagi yang keadaannya sama seperti saya.”

Aku mengerti tentu saja. Pengaruh teman sepermainan memang luar biasa, aku sepakat dengannya. Kusodorkan segelas air yang belum juga disentuhnya sedari tadi. Aku ingin dia berhenti menangis. Kami duduk berdekatan di teras rumahku, dan memeluknya akan membuat kami jadi tontonan orang yang lewat. 

Juriyah datang pagi ini untuk membantu menjemur padi, dia yang menawarkan diri. Kami sama-sama mengerti, upah gabah untuknya sangat dinanti. Juriyah membantu mencukupi kebutuhan keluarga dengan menjadi buruh tani dan buruh apa saja. Di saat musim tanam dan musim panen, nyaris perempuan yang tidak tamat sekolah dasar ini tak pernah ada di rumah, juga saat musim matun. Matun adalah aktivitas membersihkan rumput dan hama lain dari sela-sela rumpun padi. Juriyah dan rombongannya, beberapa wanita dengan profesi yang sama, berpindah dari satu sawah ke sawah lain, dari satu tuan sawah ke tuan sawah lain. Jika tak ada pekerjaan di sawah, maka Juriyah akan menawarkan tenaganya di ladang, atau jika tak ada juga yang membutuhkan tenaganya, dia akan menerima pekerjaan menyetrika atau mencuci perkakas masak di kedai milik tetangga.

Mungkin karena tak mengerjakan apa-apa, mungkin karena harus diam di rumah, mungkin juga karena malu tak bisa berdalih kerja berat sehingga Kiswanto mau berpuasa tahun ini. Juriyah tak pernah menyuruh, meminta, atau bertanya kepada suaminya. Perempuan di sampingku ini terbiasa diam dan patuh. Dia hanya merasakan selaksa aliran air dingin di dalam dadanya ketika suaminya ikut bangun untuk sahur dan berkata akan berpuasa keesokan harinya. Juriyah melanjutkan ceritanya kepadaku setelah menghabiskan setengah isi gelas.

“Aku ikut senang, Yu.”

“Ya, Bu. Saya bersyukur sekali. Kata anak saya, mungkin bapaknya takut mati.”

Aku terperenyak. Takut mati. Siapa yang tidak? Terutama jika mengingat bekal begitu tipis. Apalagi bagi yang pernah merasakan malaikat maut seolah-olah sudah berdiri di depannya, meluruskannya dalam satu barisan, hendak mencabut nyawa bergiliran dengan teman-temannya. Jika pun itu alasan Kiswanto, siapa bisa bilang itu keliru? Bukankah perkara paling pasti dalam kehidupan memang hanya kematian? Jadi apa salahnya menjadikan itu alasan melakukan sesuatu?

Wajah Juriyah berbinar ketika menceritakan bagaimana anak bungsunya berceloteh kepada kedua kakaknya lewat ponsel. Anak itu memamerkan menu sahur dan semringahnya wajah Kiswanto tatkala berbuka. Ucapan-ucapan syukur dan kebahagiaan dari anaknya yang jauh di perantauan, juga dukungan atas perubahan yang terjadi pada ayah mereka, meluncur berkejaran dari bibir Juriyah. Ada sedikit kesedihan karena tak bisa benar-benar bersama di waktu yang sungguh luar biasa. Juriyah sedikit tertawa geli ketika menyebut suaminya seperti bocah kecil yang kerap bertanya, kapan beduk maghrib tiba.

“Bu, doakan saya umur panjang. Anak-anak dan bapaknya juga. Saya kepingin sekali bisa sahur dan buka bareng tahun depan. Doakan juga, biar kalo misalnya corona udah nggak ada, suami saya nggak balik kayak dulu.”

Tentu saja aku mengaminkan doa Juriyah. Kutambahkan doa agar mereka semua sehat, dan rezeki mereka melimpah. Kebahagiaan memang selayaknya dibagi dan dinikmati bersama. Utamanya dengan orang-orang terdekat. Dan, keluarga adalah yang pertama diingat, biasanya. Jika ini cara-Nya menyentuh hati Kiswanto, menunjukkan jalan ke arah yang lebih baik, mungkin memang benar, Juriyah selayaknya bersyukur pernah begitu dekat dengan corona.

Selesai.

16062020.

 

Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Dyah Diputri

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply