Sutiyah
Oleh: Medina Alexandria
Pagi ini Sutiyah terbangun dengan kepala berdenyut, tak begitu nyeri tapi cukup membuat perempuan setengah baya itu mendesis-desis lirih. Sambil memijit-mijit tengkuk, dia beringsut hati-hati dari tempat tidur, tak ingin empat orang lain yang masih terlelap di atas pembaringan bambu itu terjaga. Diambilnya obat pereda nyeri yang kemarin sore dia selipkan di sela-sela dinding barak yang terbuat dari anyaman bambu, kemudian menelannya begitu saja tanpa air minum.
Sutiyah sudah terbiasa dengan penyakit yang tiap bulan tak pernah absen menyambangi, menetap kadang sehari, dua hari, bahkan lebih hingga perempuan itu terpaksa mengusirnya dengan menenggak dua obat sakit kepala sekaligus.
Sebenarnya, Sutiyah tak abai akan penyakitnya. Pernah dia memeriksakan diri ke puskesmas, seorang dokter berkulit putih dan berwajah tampan melayani Sutiyah dengan ramah, memeriksa tekanan darah, meraba denyut nadi, kemudian mendengarkan detak jantungnya melalui stetoskop. Laki-laki berjas putih itu kemudian menuliskan resep dan membekalinya beberapa nasihat sebelum pulang.
“Ibu, terkena darah tinggi. Nggak boleh bekerja terlalu berat, ya, Bu, perbanyak istirahat, makannya harus dijaga, agar tekanan darahnya tidak tambah naik. Kontrol ke sini tiap bulan kalau tak ada keluhan. Paham, nggih?” Sutiyah manggut-manggut.
Sejak saat itu Sutiyah tak sudi menginjakkan kaki ke puskesmas. Dia merasa dokter tampan itu berlebihan mengenai keluhannya. ‘Dokter, kok cerewet. terus suka nakut-nakuti, apa-apa nggak boleh,’ gerutunya dalam hati.
“Masih belum sembuh, Mak?”
Sutiyah menoleh ke asal suara, Ana keponakannya sudah bangun pun juga suaminya, mereka duduk di tepi pembaringan. Suami Ana terlihat menguap lebar sambil meregangkan badan. Tidur pada bilah-bilah bambu yang ditutup hanya dengan selembar karpet membuat otot-ototnya sedikit nyeri. Anak lelaki mereka masih meringkuk pulas di samping Lulu cucu semata wayang Sutiyah. Bocah perempuan yang dua bulan lagi genap berusia dua tahun itu bergelung dalam selimut dengan kostum lengkap mulai kerudung sampai kaus kaki.
Pagi ini suhu udara lumayan dingin, seperti pagi-pagi lain bulan Agustus, di dataran berketinggian 1040 mdpl–tempat Sutiyah dan puluhan penduduk kampungnya merantau demi mengais rezeki sebagai pemetik kopi musiman–jarum termometer biasa bergerak di bawah sepuluh derajat Celsius pada malam hari hingga matahari meninggi. Dua minggu menghuni barak, belum membuat mereka terbiasa dengan udara ekstrem perkebunan kopi arabika.
“Sebentar lagi juga sembuh, An,” jawabnya singkat.
“Gak usah kerja dulu, Mak! Biar nggak tambah parah.”
Alih-alih menanggapi, Sutiyah mengangkat Lulu ke dalam gendongan. Sejenak bocah itu merengek lalu kembali meringkuk nyaman dalam dekapan sang nenek.
“Ayo berangkat,” pungkasnya setelah meletakkan keranjang bambu kecil–tempat menampung petikan biji-biji kopi–di depan perut kemudian mengikatnya dengan seutas kain yang disimpul di balik pinggang .
Perempuan yang telah lama ditinggal mati suaminya itu tak mungkin libur sekarang. Dia telah berhitung, jika hari ini bisa mendapat minimal lima puluh kilo gram biji kopi, maka upah yang akan diterima selama dua minggu bekerja akan cukup untuk membelikan hadiah bagi cucu tersayangnya. Sebuah sepeda dorong beroda tiga seperti yang sering Sutiyah lihat dalam tayangan iklan di televisi tetangga.
“An, besok gajian, kan? Kalau kamu ke kota, Mak nitip sepeda dorong buat Lulu, ya?” katanya di tengah perjalanan menuju tempat apel pagi karyawan.
“Em, jadi beli yang sejutaan itu, Mak?” Sutiyah tersenyum lalu mengangguk mantap, dibelainya bocah perempuan yang masih pulas dalam gedongan itu.
Lulu adalah dunia Sutiyah. Dia tak punya siapa-siapa lagi selain bocah malang yang tak pernah melihat wajah ibunya, Riyana.
Mengingat Riyana dan apa yang telah dilalui selalu membuat hati Sutiyah teremas dalam amarah juga penyesalan. Penyesalan atas keputusan menyerahkan putrinya pada seorang bajingan bernama Isgiyanto alias Edo.
***
Sebelas bulan sebelum Lulu lahir, Riyana jatuh cinta pada seorang kuli proyek pembangunan Sekolah Dasar di kampung mereka. Pria berkulit legam dengan sorot mata yang selalu membuat hati Sutiyah gundah akan kebahagiaan putrinya kelak. Namun, kekhawatiran seorang ibu akan anak perempuan berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung berjodoh membuat Sutiyah mengingkari firasat buruk yang menghantui pikirannya.
Sutiyah menerima lamaran keluarga Edo, pesta pernikahan pun dihelat–secara sederhana–tak lama setelahnya. Kedua mempelai terlihat sangat bahagia, sementara Sutiyah tak henti-henti melangitkan doa. Putri kesayangannya akan pergi tak lama lagi, memenuhi kodrat sebagai pelayan suami.
Pasangan suami istri itu merantau delapan puluh kilo meter ke arah timur, di mana Edo mengadu nasib sebagai tukang tagih pada sebuah bank harian.
Lima bulan tiada kabar. Sutiyah tercengang mendapati seorang perempuan berdiri di depan pintu rumah, dia menelusurkan pandangan mulai dari rambut yang kusam dan terkesan lama tak disisir, kulit wajah yang dipenuhi flek, tulang pipi yang menonjol, juga sorot mata yang mencerminkan kehampaan pun keputusasaan. Daster batik setinggi lutut menggantung longgar di bahu ringkihnya. Mata rabun Sutiyah tak butuh waktu lama untuk mengenali perempuan lusuh yang pipinya mulai basah itu. Riyana menghambur masuk lalu menjatuhkan diri di dada sang ibu.
“Maaak …,” ucap Riyana tercekat.
Air mata Riyana tumpah di dada sang ibu yang bergemuruh. Anak beranak itu saling mendekap erat.
Riyana yang tengah berbadan dua telah ditinggalkan, tanpa pesan, tanpa pertengkaran, pun tanpa sepenggal kata pamit. Dia melewati beberapa hari dalam kebingungan sebelum akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman. Pada ibunya yang belum lama dia tinggalkan.
“Maafkan, Emak, Nduk,” bisiknya lirih.
Putrinya telah kembali, tapi keadaan tak akan pernah sama lagi. Cahaya di mata Riyana telah meredup begitu pun senyum yang selalu menghiasi wajah manisnya kini telah sirna, berganti nestapa lantaran cintanya pada sang suami yang tidak berperasaan.
Hingga pada bulan kesembilan kehamilan, Sutiyah menemukan putri semata wayangnya terkapar bersimbah darah juga tak bernyawa di depan tungku dapur. Seorang bayi perempuan mungil merintih lemah di atas kedua pahanya.
***
Dua karung biji kopi hasil kelincahan tangannya berhasil Sutiyah kumpulkan. Jari-jemarinya terus bergerak di sela-sela rimbun daun, memetik buah seukuran tasbih, berwarna merah gelap. Perempuan itu tersenyum puas, dia tak menggubris kepalanya yang semakin lama semakin berdentam.
Di tempat penimbangan, pengeras suara telah dihidupkan, pertanda bahwa panen hari itu akan segera diakhiri. Suara musik dangdut koplo mengiringi proses penimbangan dan sortasi biji kopi. Sutiyah bergegas, menaikkan satu karung kopi ke atas kepalanya. Sejenak perempuan itu mendesis dan beberapa detik kemudian berjalan cepat-cepat menuju tempat penimbangan, di sana dia melihat Lulu sedang berjoget bersama anak lelaki Ana. Selama memetik, anak-anak buruh biasanya di biarkan bermain di area penimbangan.
“Nenek …” Lulu melambai-lambaikan tangan mungilnya.
“Tunggu di sana! Nenek sebentar lagi selesai,” teriak Sutiyah seraya bergegas menuju sisa karung yang belum ditimbang.
Kembali dia menaikkan karung ke atas kepala dengan bantuan kedua lengan, kepalanya semakin berdenyut, urat-urat di pelipis Sutiyah terlihat bertonjolan. Perempuan itu mengatupkan kedua rahang demi menahan nyeri, kemudian berjalan ke tempat di mana musik koplo masih terus berkumandang.
Sutiyah mengerjap-ngerjapkan kedua mata, kian dekat dengan tempat penimbangan, pandangannya semakin kabur. Dan pada puncak kekuatannya, perempuan yang akan menerima gaji pertama esok hari itu meraung keras. Karung di atas kepalanya jatuh berdebam menyentuh tanah, menerbangkan debu-debu musim kemarau. Sutiyah tumbang menimpa karung terakhirnya.
Tak jauh dari tempatnya terbaring, sebelum pandangannya menggelap, Sutiyah melihat Lulu masih terus menari riang.(*)
Medina Alexandria
Bidan yang suka menulis