Tante Irian
Oleh : Ning Kurniati
Kamu menunggu saat itu, saat dia yang disebut ayahmu sebagai saudaranya dari Irian akan datang. Kamu mengira-ngira rupa perempuan itu, yang menurut orang-orang kulitnya putih, parasnya cantik, dan tubuhnya tinggi. Sangat berbeda dengan ayahmu yang berkulit cokelat, tidak bisa dikatakan ganteng—tapi kamu tidak tega juga menyebutnya jelek—dan pendek.
Sebab ingin membuktikan perbedaan itu, kian hari kamu kian penasaran dengan orang itu dan juga oleh-oleh yang akan dibawanya. Bahkan, iseng-iseng kamu berdoa semoga perjalanannya dimudahkan dan sampai dengan selamat ke rumah kalian. Menyadari itu, kamu merasa aneh, mendoakan orang yang bahkan sosoknya belum pernah kamu lihat.
“Hari ini, in sya Allah, tantemu akan datang.”
“Oh, ya … yeay, apa dia akan bawa oleh-oleh, Yah?”
“Mungkin, tapi jangan banyak berharap, ya!”
“Kenapa? Kalau Mama pergi, pasti pulangnya bawa oleh-oleh. Dia kan dari jauh, pasti bawa banyak oleh-oleh.”
Ayahmu tidak menanggapi. Malah dia mengambil gelas kopinya, menyesapnya sampai tandas, dan meninggalkanmu ke dapur. Kamu pun cemberut, seperti biasa ketika merasa tidak diindahkan.
***
Rumah sudah ramai disesaki kerabat dan para tetangga, ketika kamu pulang dari bermain-main. Ada berpasang-pasang sandal di ujung tangga, riuh rendah suara orang yang tertawa-tawa dari dalam rumah. Mungkin tante itu sudah datang, tetapi tidak ada orang yang bisa kamu tanyai. Semua orang, agaknya mewajibkan diri berkumpul di dalam rumah.
Tanpa salam, kamu memasuki rumah dengan mata yang mencari-cari perempuan yang ciri-cirinya seperti yang telah kamu dengar selama ini. Putih-cantik-tinggi. Ketemu, perempuan itu tengah duduk di antara ayahmu dan sepupunya—bibimu yang juga memiliki perawakan tubuh yang tidak berbeda dengan kamu dan ayahmu. Begitu kontras sehingga terlihat aneh sekali disebut keluarga.
Tante itu sangat cantik, layaknya bunga yang tidak akan membuat bosan orang yang memandangnya. Matanya sipit. Kulit wajahnya tidak hanya putih tapi juga kelihatannya halus. Merah, warna gincu yang dipakainya. Ketika tersenyum, dia seperti perempuan di dalam televisi. Mulutmu jadi setengah terbuka. Matamu seolah tak bisa berpindah. Kamu begitu takjub, begitu senang, tetapi lama kelamaan di sisi lain kamu merasa aneh.
Namun, apa pentingnya perbedaan itu. Kamu pergi mencari-cari mamamu. Mungkin dia di dapur tengah sibuk membuat teh atau kopi untuk tamu. Ke sana kamu mencari.
“Mama!”
“Hmm.”
“Mana makanannya?”
“Makanan apa?”
“Ya, oleh-oleh yang dibawa Tante Irian.”
“Namanya bukan Tante Irian. Tante Sasa, begitu kamu harus memanggilnya.”
“Mana?”
“Kamu lapar? Itu masih ada nasi di meja, sisa tantemu. Ikan juga masih ada. Sayurnya yang sudah habis.”
“Bukan lapar karena mau makan nasi. Aku mau … sudah deh, aku cari sendiri.”
Kamu mencari sendiri oleh-oleh makanan yang kamu harapkan. Kamu edarkan pandangan ke semua tempat di dapur, tidak ada, cuma ada sisa pisang goreng dan sukun goreng yang sama dengan yang dimakan oleh orang-orang. Di meja, seperti yang dikatakan mamamu, ada nasi dan ikan. Lalu, kamu ke ruang tengah, di sana di depan televisi, teronggok koper berwarna hitam dan tas besar berwarna cokelat.
Kamu melihati barang itu. Lama melihatinya, kamu mendekat, duduk bercangkung mencoba membaui tas itu. Tidak ada bau makanan. Mungkin memang tidak bisa dibaui, kamu lalu menusuk-nusuknya menggunakan jari telunjuk, menunggu bunyi kresek pembungkus makanan atau paling tidak gula-gula. Namun sayang, baru setengah jalan, mamamu datang. Dia menarik tanganmu, membawamu ke dapur, dan menghadapkanmu dengan sepiring pisang goreng.
Kamu mendongak, melihatinya dengan tatapan marah dan berucap, “Aku cuma cari oleh-oleh.”
“Kenapa kamu cari oleh-oleh? Pisang ini enak. Ini matang langsung dari pohonnya. Tadi siang baru ditebang.”
“Oleh-oleh lebih enak, apalagi Tante Iri—“
“Tante Sasa.”
“Tante Sasa dari Irian, makanannya pasti beda. Siapa tahu dia bawa burung cendrawasih goreng atau burungnya di-lawara1, atau gula-gula, ata—“
“Kamu tahu Irian di mana?”
“Tidak tahu, kata Ayah ada burung cendrawasih di sana. Banyak.”
“Irian itu Papua. Itu letaknya di timur, kita di tengah antara timur dan barat. Kamu tahu di barat ada apa?”
“Pulau Jawa.”
“Di sana, tempat cerita di televisi itu dibuat. Di sana tempat yang banyak makanannya, banyak barang yang bagus-bagus, pokoknya lebih bagus daripada tempat kita ini. Kamu nonton itu, ‘kan.”
“Terus hubungannya dengan Tante Sasa, apa?”
“Hmm, mungkin di sana di tempat Tante Sasa, tidak banyak gula-gula yang bisa dibeli.”
“Tapi kan banyak penjual di jalan. Tasnya juga bagus, masa tidak ada oleh-oleh!”
“Maaf, ya, Tante tidak bawa oleh-oleh makanan,” ucap orang yang kamu bicarakan. Ketika kamu berbalik, dia berdiri menjulang sambil tersenyum. Senyuman yang membuatmu dan mamamu jadi tidak nyaman sebab ketahuan baru saja membicarakan orangnya.
Dia kemudian mengambil posisi duduk lesehan seperti kamu dan mamamu. Dia menarik tangan kirimu yang membuatmu kaget, tetapi lantas diam ketika dia memasang gelang tangan di sana. Warnanya kuning emas. Mungkin itu bukan emas, lalu kamu bertanya,
“Kira-kira berapa hari dipakai sampai warnanya berubah jadi putih atau hitam?”
“Tidak akan berubah.”
“Ooh, Tante tidak bawa makanan-makanan … satu pun?” (*)
19 Juli 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.
Catatan :
1Lawara : olahan makanan dengan cara dicampur kelapa parut, digarami dan diberi cuka.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata