Mengapa Isi Dada Ayah Bercahaya?

Mengapa Isi Dada Ayah Bercahaya?

Kenapa Isi Dada Ayah Bercahaya?

Oleh : Dyah Diputri


Suatu ketika di bulan Maret, hanya selisih beberapa hari setelah liburan akhir di sekolahku, mendadak orang-orang kehilangan telinga. Di sepanjang jalan menuju rumah, mereka tak saling menyapa. Mereka hanya punya mata, tetapi seolah-olah tidak bisa melihat selain ke hadapan.

Aku bertanya kepada Ibu, “Kenapa mereka bisa kehilangan telinga, Bu?”

Ibu tidak menjawab. Dia sibuk memotong sayur, lalu mencucinya di bawah guyuran air lebih lama dari biasanya. Saat keluargaku berkumpul di meja makan, barulah kusadari kalau semua penghuni rumah sudah tak bertelinga.

Hari-hari berubah cepat setelah itu. Sebuah pengumuman resmi dari pemerintah memerintahkan semua orang untuk berdiam di dalam rumah. Sekolah diliburkan, pabrik-pabrik tak diizinkan beroperasi, dan pembatas memblokade jalan sana-sini. Kemudian, aku dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa suara orang-orang menjadi lebih lirih dari biasanya.

Ayah memandangi pantulan wajahnya di cermin. Dia meraba-raba mulut yang lubangnya semakin kecil saja. Lubang itu hanya cukup untuk satu suapan sendok kecil. Ya, sendok bubur bayi yang biasa digunakan untuk bayi usia delapan bulan. Apa hal itu menakutkan? Kurasa tidak, sebab hampir semua orang mengalami hal yang sama. Lagi, makanan yang berhasil dimasak oleh Ibu tak sebanyak dan semewah biasanya.

Aku, dengan suara yang semakin kecil bertanya kepada Ayah, “Sampai kapan aku libur sekolah?”

“Entahlah, Nak. Ayah juga tidak tahu.” Ayah menjawab tak kalah lirih.

Aku mendesah. Namun, tiba-tiba merasa senang. Setelah beberapa hari tak ada orang yang bisa saling mendengar, kini Ayah bisa menjawab pertanyaanku.

Iseng, aku bertanya lagi, “Hei, Yah. Kau bisa mendengar suaraku? Aku juga bisa mendengar suaramu. Padahal, kita sudah tidak memiliki telinga, bukan?”

Ayah duduk berjongkok di hadapanku. Kemudian dia membuka kemeja. Sebuah garis memanjang tampak di belahan dadanya. Ayah membuka celah tersembunyi yang ada di garis tersebut.

Aku tercengang, melihat isi dada Ayah yang mengeluarkan sinar.

“Di sini kita juga memiliki telinga. Tak hanya itu, ada mata, mulut, dan rasa.”

“Apa aku juga punya?” tanyaku penasaran.

Ayah mengangguk, kemudian dibukanya kaus yang menempel di badanku. Dia mencari-cari suatu garis yang mirip dengan miliknya.

“Aneh, Jun. Kenapa punyamu belum bersinar?” Ayah tampak heran, sebab isi dadaku tidak bersinar.

Ya, isi dadaku menghitam. Aku sendiri juga tidak paham kenapa itu bisa terjadi.

“Apa kau telah melakukan sesuatu?”

Aku menggeleng dengan perasaan takut. Sialnya, Ayah menangkap sorot kegelisahan itu.

“Katakan pada Ayah. Kenapa?”

Aku menunduk, kemudian menangis sesenggukan. “Sudah beberapa kali Ibu memintaku pergi ke ladang orang untuk mengambil sayur dan umbi,” kataku, malu.

Ayah terperangah. Bibirnya yang kering merapalkan sesuatu, sehingga isi dadanya semakin bersinar dan bersinar.

“Kau mencuri, Jun. Kau tidak boleh melakukan itu.”

“Tapi, ibu bilang kita tidak bisa makan hari ini.” Aku tergugu. Sementara Ayah mendengkus, dia bilang dia bersedih karena makanan yang masuk ke perutnya—sehabis uang gaji terakhirnya—adalah makanan haram.

“Yang memberimu rasa tidak akan membiarkanmu kelaparan, Jun. Jangan turuti lagi ibumu, atau kau akan kehilangan mata sepertinya.”

Aku termenung, mengingat bahwa sudah lima hari ini Ibu kehilangan mata, berangsur-angsur setelah telinga dan dua tangannya. Dia hanya punya bibir yang semakin lebar, yang terdengar kencang saat memaki-maki Ayah. Sementara orang-orang sudah tidak bisa lagi pergi ke mana-mana, Ibu malah memerintahku berburu di ladang tetangga.

“Apa aku masih bersinar, Ayah?”

“Mungkin, jika saja kau mau menahan lapar dan terus menahan.”

“Hanya itu?” Tentu saja aku bisa. Itu sama seperti berpuasa, dan aku sudah belajar berpuasa sejak tahun lalu.

“Ada lagi syaratnya,” ujar Ayah.

Ayah mengajakku ke kamar mandi. Dia mengeluarkan sesuatu dalam dadanya, lantas mencucinya di bawah guyuran air keran cukup lama. Setelahnya, dikembalikan lagi ke posisi semula.

“Ikuti Ayah, Jun!”

Sedikit canggung, kuikuti satu per satu gerakan yang Ayah contohkan. Sesuatu yang ada di dalam dadaku awalnya berubah kelabu, lalu semakin lama kubasuh, maka muncul sedikit cahaya darinya. Aku tertawa-tawa riang, meski sebenarnya untuk tertawa pun butuh tenaga. Seharian ini perutku belum terisi apa-apa. Mengenaskan, bukan?

“Semakin sering kau basuh, maka noda hitamnya akan cepat hilang. Sama seperti saat kau mencuci baju.”

“Apa Ayah melakukan ini selama masih bekerja di pabrik?” tanyaku.

Ayah menjawab tidak. Itu karena dulu isi dalam dada Ayah juga hitam sepertiku. Ayah terlalu banyak makan dan menghamburkan uang sesuka hatinya. Tak heran, aku dan Ibu mengikuti jejaknya. Sayangnya, saat Ayah menemukan cara untuk membuat isi dalam dadanya bersinar, Ibu telanjur mengunci rapat garis di dadanya.

“Berkali-kali ibumu kunasihati, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah peringatan. Seperti dua sisi koin. Kita pernah ada di atas, dan sekarang kita ada di bawah. Tak ada yang bisa kita lakukan selain pasrah, Jun. Berdoa saja, semoga keadaan ini cepat berlalu.”

Ah, ya. Aku juga mendengar kalimat serupa dari orang-orang. Mereka bicara tentang kesabaran dengan mulut yang susah terbuka, sedangkan sebelumnya mereka berteriak lantang meminta sesuatu disegerakan.

“Sudah, Yah,” ujarku.

Kupikir ini sudah selesai, nyatanya Ayah masih menggiringku kembali ke kamar. Dia duduk di hamparan tikar dan merapal kalimat-kalimat ajaib. Aku pun ikut duduk di sampingnya. Secarik kertas bertuliskan kata-kata ajaib diberikan Ayah padaku.

“Bacalah dengan kesungguhan dalam hatimu, Jun.”

“Kalian tidak pernah mengajariku membaca ini. Aku tidak mengerti.”

“Baca saja sebisamu atau dengarkan saja. Nanti, lama-lama kau bisa mengikuti.”

“Tapi, aku mulai lapar.”

“Jangan ikuti hawa nafsumu! Bersabarlah!”

Ayah kembali merapal kalimat ajaib, lalu isi dalam dadanya bersinar terang. Nyalanya menyilaukan.

Aku ingin seperti Ayah. Namun, tiba-tiba Ibu memanggil dari arah dapur.

“Jun, Jun! Carikan makanan untukku! Siapa lagi yang memberiku makan kalau bukan kau?”

Aku berhenti mengikuti Ayah, karena sesuatu di dalam dadaku seakan-akan hendak menyembul untuk menemui Ibu. Warna yang semula memutih dan bercahaya, menjadi kelabu lagi.

“Duduklah, Jun. Jangan ikuti ibumu. Orang yang mati karena kelaparan, jauh lebih mulia dari mereka yang kenyang karena harta yang haram.”

Sinar-sinar di dada Ayah semakin benderang, sedangkan aku terang redup terang redup. Sebuah rasa yang ada dalam hatiku menuntunku untuk pergi. Pergi dari Ayah, pergi sebelum teriakan Ibu terdengar lebih kencang.

“Jangan pergi, Jun.” Ayah kembali memohon.

“Aku bisa menahan lapar, Ayah. Tapi tidak bisa membiarkan ibuku kelaparan.”

Aku pergi meninggalkan mereka, lalu mengais-ngais sesuatu yang barangkali bisa mengganjal isi perut kami. Aku tidak peduli pada sirene mobil yang berputar-putar di desa, yang menggentarkan nyali orang-orang untuk keluar rumah. Aku tidak peduli pada sesuatu yang kata orang-orang bisa membuat kita mati sia-sia. Aku tidak peduli kalau makanan yang kusuapkan ke mulut Ibu yang semakin lebar adalah hasil mencuri. Aku juga tidak peduli kalau isi dada Ayah semakin bercahaya, sedang milikku semakin menghitam.

Aku hanya peduli pada satu hal: manusia tidak bisa menyerah untuk menunggu kematian. (*)

Malang, 14 Juli 2020.


Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

FB : Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com

Editor : Erlyna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply