Suatu Hari di Tepi Pantai
Oleh : Vianda Alshafaq
Kamu bilang hidup ini selalu tentang mimpi. Impian yang harus dicapai, katamu. Sementara bagiku, mimpi adalah bunga tidur yang kerap menghantuiku, beserta setan-setan sesal yang membisikiku untuk tidak bermimpi lagi.
Kamu ingat, kan, betapa kecewanya aku ketika terjungkal dari tangga yang kugunakan untuk mencapai impian kita? Hari itu, kamu memelukku—yang bahkan sudah luruh dan mencium tanah, saking lemas dan kecewanya—dengan erat. Kamu bilang kepadaku bahwa semuanya akan baik-baik saja, masih banyak mimpi yang bisa kukejar dan kuraih.
Tapi, tetap saja, hujan yang pagi itu membasahi tanah, berpindah ke mataku yang entah sudah berbentuk apa, mungkin sudah tidak layak disebut mata. Merahnya keterlaluan, ditambah bengkak yang menghalangiku melihat dengan jelas.
“Kamu bisa menghadapinya. Angin akan membawa kecewa ini bersamanya,” ucapmu hari itu. Sementara aku masih mencengkeram kerah bajumu dengan kuat dan membasahi dadamu dengan air mata. Hari itu adalah kepiluan yang masih meradang di hatiku hingga hari ini.
Kubiarkan hari itu berlalu dengan tangis yang tak kunjung usai. Masih dalam pelukanmu, kubiarkan semua kepedihan itu luruh bersama isak yang keluar dari mulutku.
“Semua akan baik-baik saja, Sayang. Tenanglah,” ujarmu menenangkanku. Tapi, setenang apa pun kalimat yang kamu keluarkan hari itu, tidak bisa menghapus perih di ulu hatiku yang teramat sangat.
***
“Hai, Sayang. Siap untuk sore ini?” ujarmu dengan senyum manis yang selalu membuat bebungaan mekar di hatiku.
“Harus siap, ‘kan?”
Kamu mengangguk, dan kembali tersenyum. Ah, kamu akan membuatku diabetes kalau sering-sering tersenyum semanis itu.
Kamu tahu, ketika kamu tersenyum seperti itu, aku berharap bahwa aku akan selamanya menatap senyummu itu. Selamanya, sampai mataku sendiri yang tak mau terbuka meski aku mau melihatnya lagi.
Hari ini, kamu mengajakku ke pantai. Ah, pantai dengan senja yang indah, semoga. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku bahagia. Membawaku ke alam terbuka adalah caramu membuatku melupakan dunia yang selalu berbuat semaunya, selalu menyesakkan dada, dan selalu mengacaukan semua mimpi yang pernah kurangkai dalam malam-malam yang remang.
Kamu menautkan tangan kirimu dengan tangan kananku. Padahal kamu sedang menyetir, tapi kamu bilang tidak apa karena kamu membawa mobilnya dengan pelan. Sesekali kamu mencium tanganku. Kamu memang selalu begini. Selalu bersikap manis dan membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung karena menjadi pendampingmu.
“Mas, kita masih lama sampainya?”
Meskipun kamu sudah sering mengajakku ke pantai yang akan kita kunjungi sore ini, meski tak sesering ke toko buku, aku masih tak tahu arahnya ke mana. Ya, kamu pasti sudah tahu, aku ini memang sangat payah dalam mengingat jalan.
“Tidak lama lagi, Sayang. Sabar sebentar, ya.” Lagi-lagi kamu tersenyum manis. Senyummu itu, semoga hanya aku yang melihatnya.
Seperti katamu, tidak lama lagi kita akan sampai. Dan, kita sudah sampai. Laut yang membentang biru dengan hamparan pasir yang tak kalah luas, menyambut kita dengan hangat. Ombak berdebur dengan keras seolah-olah menyenandungkan lagu sambutan untuk kedatangan kita. Dan, batu-batu yang tersusun di sana hanya bungkam, menyimak lagu sambutan dari ombak. Sementara angin pantai memeluk kita dengan kesejukannya yang menenangkan. Kamu tahu betul, semua ini adalah hal paling menyenangkan dalam hidupku—selain memilikimu dalam hidupku.
“Mau duduk di kedai itu apa di batu saja?” tanyamu sembari menunjuk dua tempat itu secara bergantian.
“Di batu saja bagaimana?”
Aku hanya candu bertanya karena aku tahu apa pun yang aku putuskan, pasti kamu akan setuju.
“Seperti biasa, kamu selalu memilih batu,” ujarmu sembari mengacak rambutku yang separuh bagiannya sudah diterbangkan angin.
Aku hanya tersenyum dan menarik tanganmu dari kepalaku. Aku menggenggam jari-jarimu yang jauh lebih besar dari jariku, dan menariknya hingga kamu terpaksa mengikuti langkahku menuju batu. Ah, apa kamu terpaksa? Tapi rasanya tidak, kamu selalu berkata padaku bahwa aku bisa melakukan apa pun asal aku bahagia dan tidak menyalahi aturan.
Kita duduk di batu itu, hanya berdua. Pengunjung lain? Entahlah, mereka tidak mau menduduki batu itu. Bagus sebenarnya, sehingga mereka tak perlu menyaksikan apa yang kita lakukan.
Aku menyandarkan kepalaku ke bahumu. Sampai saat ini, dan selamanya, bahumu adalah sandaran paling nyaman—selain bahu Ayah. Kamu mengelus tangan kananku yang masih bertaut dengan tangan kirimu.
“Sudah tidak sedih lagi, ‘kan?”
Aku meresapi betul pertanyaanmu itu. Apa aku tidak sedih lagi perihal mimpi kemarin yang sudah hancur? Apa aku sudah kembali bahagia?
Aku tidak yakin, sungguh. Karena di sini, di hatiku, masih terasa sekali nyerinya. Tapi aku tidak boleh egois, ‘kan? Kamu juga sedih dan kecewa, aku tahu itu. Tapi kamu menyembunyikannya di balik senyuman manis dan pelukan hangatmu.
“Apa aku boleh tetap bersedih?” tanyaku kepadamu dengan menatap matamu yang teduh.
“Tidak.”
Matamu tegas sekali mengatakan bahwa kamu tidak berbohong, bahwa kamu tidak ingin aku bersedih lagi.
“Tapi, impian kita ….”
Belum selesai aku bicara, kamu meletakkan jari telunjukmu di bibirku, memintaku untuk bungkam.
“Kita bisa mengadopsinya dari panti asuhan.”
“Tapi, Mas, tetap saja bukan buah hati kita yang sesungguhnya.”
“Memang apa salahnya? Kamu hanya tidak melahirkannya, tapi akan membesarkannya layaknya seorang ibu. Kamu yang akan merawatnya, memberinya kasih sayang, mengajarkannya tentang kehidupan. Jadi, apa salahnya?”
Kenapa kamu bisa setenang dan setegar itu? Padahal aku sangat tahu kalau ini semua adalah mimpi kita. Tidak, bukan hanya kita. Tapi kita dan dua keluarga besar yang sudah ikut menunggu selama dua tahun.
Aku menyembunyikan kepalaku di dadamu, tempat paling hangat yang pernah ada. Aku bahkan tidak peduli pada pengunjung pantai hari itu. Barangkali mereka sudah mengutuk kita karena bermesraan di tempat umum seperti ini. Tapi, sungguh, aku tidak peduli.
“Jadi, lupakan saja yang kemarin, ya?” pintamu dengan lembut, membuatku tak tega untuk menolaknya.
“Sayang, mau membuat mimpi baru?”
Aku mengernyit, tidak paham dengan mimpi yang kamu maksud.
Kamu benar-benar lelaki yang peka. Hanya dengan ekspresi seperti itu, kamu tahu kalau aku tidak mengerti.
Kamu mengajakku ke mobil. Katamu, ada sesuatu yang ingin kamu berikan.
“Lakukanlah ini lagi. Kejar mimpi yang sudah kamu tinggalkan sejak pernikahan kita dua tahun lalu.”
Kamu memberiku sebuah buku kosong dengan sampul bergambar sunset yang indah. Dan, sebuah pena. Aku hanya bisa tersenyum dan lantas memelukmu seraya berterima kasih.[*]
Vianda Alshafaq, seorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata