Si Penjual Mimpi
Oleh: KarnaJaya Tarigan
AWAL MULA IA MENAWARKAN MIMPI
Ia datang di sore itu dengan senyumnya yang khas seperti biasa, dan dengan tanpa banyak basa-basi langsung menodongku, segelas kopi dan sebungkus rokok sebelum ia menaruh pantatnya di kursi. Setahun lebih ia menghilang entah ke mana, lalu sekonyong-konyong muncul dan membual seperti seorang politikus: “Aku akan memberikan sesuatu yang berharga untukmu. Sesuatu yang-barangkali suatu hari-bisa diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal.”
Aku berpikir, mungkin itu sesuatu yang bernilai mahal seperti barang antik, atau sesuatu yang langka sebab dibuat terbatas dan lama-kelamaan harganya akan terus melambung tinggi.
“Tidak. Saya tidak menjual itu … yang saya jual tidak berwujud, melainkan hanya di awang-awang; di dalam pikiran. Tidak bisa disentuh.”
Oh-la-Ia, kok ia langsung bisa menebak jalan pikiranku!
“Dan ini kuberikan untukmu gratis,” ia menawarkan kebaikan hatinya, atau mencoba meyakinkan?
“Apa itu?” Aku sangat penasaran.
“Sekarang aku menjual mimpi dan nanti kau akan jadi brokernya. Suatu hari nanti kau akan tahu, bahwa mimpi bisa menjadi komoditas yang paling berharga di dunia,” ia menjelaskan dengan setengah berbisik, seakan percakapan kami sebuah rahasia! Itu sungguh sangat berlawanan dengan gaya berbicara seorang pedagang yang sebenarnya, yang biasanya selalu berusaha mati-matian meyakinkan pembelinya.
***
Gadis itu melempar senyumnya yang manis dari kejauhan. Jantungku langsung berdebar-debar melihatnya. Ini kesempatan yang sudah lama aku tunggu, menjumpainya setelah sangat lama tak bersua. Ia masih seperti dulu dengan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Hanya saja seiring dengan bertambahnya usia, ia malah semakin menawan dengan kedewasaannya.
Lalu ia langsung menyapa dengan suaranya yang lembut dan santun, ciri khas seorang perempuan Jawa. Ia masih terlihat perempuan yang sama seperti kali pertama aku mengenalnya saat kami masih di bangku sekolah menengah pertama.
Kami berbincang-bincang hangat setelah melewati beberapa menit yang canggung . Namun kami akhirnya berhasil melewati tembok rasa malu dan gugup. Dua orang yang dahulunya pemalu dan cuma bisa mencuri pandang meski saling menyukai, sekarang telah menjadi dua orang dewasa yang mudah akrab dan tahu caranya membuang kekakuan lidah dan bibir. Bahkan kami juga mampu melempar pertanyaan-pertanyaan jebakan sehingga jawaban tersebut mampu membuka isi hati masing-masing.
Kami terpaksa harus berterus-terang dan tidak dapat lagi menyembunyikan sesuatu yang tersimpan jauh di dalam lubuk hati kami, meskipun pernyataan itu aku tahu sangat terlambat dan seharusnya diucapkan 20 tahun lalu ….
Lalu kami berjalan di bawah sebuah pohon besar yang sangat rindang di sebuah kebun raya. Kami tidak lagi mencuri-curi pandang lagi seperti dulu. Kami mulai berani menatap tanpa mengalihkan pandangan, tanpa kata-kata, tanpa ucapan. Seolah-olah mendalami isi hati masing-masing.
Dan beberapa detik kemudian, mata kami berhenti pada satu titik, tidak untuk mencari tahu atau melihat isyarat hati. Kami telah menemukan sesuatu yang hanya bisa dirasakan melalui degupan jantung. Kami berpelukan sangat erat dan tak mau melewatkan kesempatan ini. Seakan-akan kami tahu bahwa kesempatan ini memang telah lama kami tunggu. Pelukan yang begitu hangat, begitu dalam, begitu berkesan dan … begitu memabukkan.
**
Bunyi alarm yang menjerit nyaring membangunkan tidurku yang nyenyak di pagi ini. Astaga, ini hanya sebuah mimpi … tetapi mengapa begitu nyata dan aku terbuai di dalamnya? Aku tiba-tiba menjadi seorang lelaki yang mencintai masa lalu, dan bahkan ingin memutar waktu kembali.
Aku tahu ini bukan mimpi yang buruk, tetapi aku tahu semua ini adalah hal yang mustahil bila terjadi benar-benar. Waktu telah lama berlalu dan meninggalkan kisah-kisah indah di masa lalu dan semua tidaklah akan pernah sama, kecuali:
Aku masih mencintai perempuan ini, dalam bayang-bayang cinta pertama ….
**
Esok harinya ia datang sambil tersenyum dan menanyakan mimpiku semalam. Ia lalu bercerita dan semua yang dikatakannya adalah benar dan persis sama:
Mulai dari urutan adegan kami bertemu, wajah dan tubuh dan suara lembut perempuan itu, bahkan setiap ucapan yang kami katakan. Ia tahu setiap detailnya.
Aku tercengang dan tak percaya akan keajaiban ini.(K)
KarnaJaya Tarigan. Seorang penulis pemula.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.