Kenanga(n)
Oleh : Imas Hanifah N
Mobilnya ringsek. Aku diam saja, terpaku. Serupa kebanyakan orang di jalan itu, hampir semuanya hanya terdiam. Mereka juga mungkin kaget. Beberapa yang sigap langsung menelpon ambulans. Beberapa lagi merekam. Ah, dasar budak milenial. Tak pelak, aku mulai mencari celah untuk memasuki kerumunan.
Kira-kira siapakah orang malang yang mengalami kecelakaan di pagi sesibuk ini?
“Dia masih hidup!”
“Ayok, bantu!”
Suara-suara itu menuai sorak-sorai. Semua orang tiba-tiba menjelma pahlawan. Mereka terus mengusahakan perempuan yang terjepit di antara setir dan jok itu dengan usaha yang cukup keras. Sedang aku? Aku tidak tahu harus berkata apa ketika tahu perempuan malang itu ternyata adalah … Kenanga.
***
Dua tahun yang lalu ….
“Hidup itu gak cuma pake cinta. Mesti ada biaya.”
Aku menelan ludah ketika ayah Kenanga merapalkan kalimat demi kalimat yang kuduga akan berakhir dengan penolakan. Kenanga hanya diam. Berkali-kali dia meyakinkanku tentang perangai ayahnya itu.
“Saya sudah bekerja, Pak.”
Jawabanku memancing hening yang cukup lama mengudara. Hanya sesekali terdengar seruput kopi dari ayah kekasihku itu.
“Ya, itu terserah kamu saja. Kami ini, kan keluarga yang cukup ternama. Kalau kamu serius sama Kenanga, kamu harus punya titel, gelar, biar gak malu sama teman dan kolega keluarga kami.”
Aku diam saja. Seperti nyamuk yang baru saja ditepuk. Mati.
“Pah, tapi Mas Rama ini laki-laki baik. Belom ada yang berani ke rumah, ngobrol sama Papah selain Mas Rama.”
Ayah Kenanga berdeham. Seolah memberi isyarat agar Kenanga tak ikut campur.
“Sudah, lebih baik Nak Rama ini pulang saja.”
Aku menelan ludah. Rasa malu jelas menyelimuti. Kenanga, menatapmu saja mungkin adalah kesalahan, mencintaimu adalah sesuatu yang diharamkan, terhalang oleh kasta dan harta. Macam sinetron saja, pikirku.
Setelah pertemuan itu, Kenanga menangis terus. Aku tak berani menemuinya lagi. Sudah cukup harga diri ini diinjak-injak.
Ibu dan saudara-saudara menghiburku. Mereka bilang, “Obat hati yang sakit itu, hati yang baru. Kita punya banyak perawan di kampung. Tinggal pilih saja.”
Aku hanya tersenyum tipis mendengar kalimat tersebut. Kemudian kembali ke kamar dan berdiam diri.
“Ibu mungkin akan menjodohkanmu nanti,” bisik adikku dari balik pintu. Aku segera menenggelamkan diri ke dalam selimut.
***
Jadi, di sinilah aku sekarang. Menatap gadis bernama Kenanga yang terbaring lemah dengan selang infus dan luka lebam yang membuat wajah cantiknya seketika sirna.
Barangkali setelah ini aku akan menyesal, karena telah mengaku mengenal gadis ini di depan orang-orang yang panik tadi. Seharusnya, aku pura-pura bukan siapa-siapanya. Karena kenyataannya aku memang sudah bukan siapa-siapa baginya.
Aku berniat menelpon seseorang dari ponsel Kenanga. Mungkin, ayahnya yang galak itu atau ibunya yang sosialita.
Namun, pikiranku mendadak buntu. Ketika tiga jam telah berlalu, dan Kenanga mulai membuka matanya, aku gugup dan gagap. Tidak tahu harus melakukan apa atau bicara apa.
Dia menatapku lama. Aku tersenyum ragu-ragu.
“Aku akan panggil dokter.”
Saat hendak berbalik, tangan Kenanga meraih tanganku. Aku terpaku.
“Ada apa? Sebentar, aku panggilkan dokter.”
“Aku ….”
Kenanga kesulitan bicara. Aku mendekat.
“Ada apa?” bisikku pelan.
“Tuhan mengabulkan … doaku.”
Aku tidak mengerti. Kenanga menangis sambil tersenyum.
Kulepas perlahan tangannya dan kembali ke luar kamar demi mencari dokter. Pikiranku seketika kacau. Apa maksud Kenanga? Apa ia pernah berharap kecelakaan? Lalu bertemu kembali denganku? Ya, bisa saja. Akan tetapi, percuma. Jika memang demikian, aku dan Kenanga tak akan pernah bisa bersama. Selain karena tak disetujui ayah Kenanga yang galak, tapi karena keadaanku juga sekarang sudah berbeda.
***
“Ayah dan ibu sudah meninggal, Mas.”
Kalimat Kenanga tak tahu harus kutanggapi bagaimana. Sungguh, yang dapat kulakukan hanyalah mengelus bahunya saja.
“Mereka meninggalkan aku, Mas. Aku sendirian. Mas tau, ‘kan. Abangku sibuk. Jadi, aku selalu sendirian.”
“Yang sabar, Kenanga,” ucapku. Meski sebenarnya agak canggung terus menemaninya di rumah sakit, sementara kakaknya itu tak diberitahu.
“Kenanga, kita harus beritahu Abangmu.”
Kenanga menggeleng. Perempuan itu berusaha menyembunyikan tangisnya. Aku betul-betul bimbang.
“Lalu, sekarang bagaimana? Aku tidak bisa menemanimu terus.”
Kenanga memalingkan wajah. “Gak apa-apa, aku sewa suster pribadi saja.”
Saat aku hendak pergi, Kenanga kembali berujar.
“Memangnya, kamu tidak mau temani aku? Tidak suka bersamaku? Kamu sudah benci?”
Bukan, aku tidak benci. Hanya saja, keadaan sudah berbeda sekarang.
“Mas?”
“Maafkan aku, tapi ….”
“Tapi apa?”
“Kamu istirahat saja. Aku ke depan dulu.”
“Aku ganggu, ya? Ganggu kerjaan kamu? Ganggu aktivitas kamu?” tanyanya cemas.
“Nah, itu. Kamu sudah tau, tapi masih nanya, hehe.”
Aku memasang wajah mengejek. Kenanga langsung cemberut, tapi tak lama. Wajahnya segera menampilkan senyum.
“Oke, tapi nanti balik lagi, ya.”
Aku mengangguk. Kemudian kututup pintu dengan pelan. Segera mengambil langkah cepat. Ponselku sudah dari tadi menampilkan notifikasi telpon. Beberapa hari ini memang sengaja kuset ke mode hening.
“Halo, Bu.”
“Kamu ke mana aja? Ibu cemas, tau. Punya hape bagus tapi susah dihubungi.”
“Maaf, Bu. Ada yang harus diurus.”
“Duh, ibu juga sama adik-adikmu sibuk di sini. Cepat ambil cuti dan pulang.”
“Jangan terlalu mewah, Bu. Sederhana saja.”
“Iya, tapi kan tetap saja. Perawan sama bujang. Harus ada rame-ramenya lah. Gak bisa kalo biasa-biasa saja. Minimal ada dangdutan. Ibu punya tabungan, kok. Tinggal kamunya saja yang harus siap.”
Aku menarik napas panjang. Ini jadi cukup pelik sekarang.
“Bu, maaf aku tutup dulu, ya.”
“Iya, pokoknya segera pulang.”
Aku menutup telpon tanpa menjawab lagi. Ah, ibu … jika saja ibu tahu aku kembali dipertemukan dengan Kenanga, entah bagaimana tanggapanmu.
Sembari berjalan di koridor rumah sakit, hendak kembali ke kamar Kenanga, aku memikirkan banyak hal. Ibu, pernikahan di depan mata, harapan adik-adikku, usaha untuk move on dua tahun lamanya, serta kenangan-kenangan yang mati-matian kulupakan. Tidak, tidak mungkin semuanya harus lenyap begitu saja.
Harus ada yang berubah, karena memang semuanya sudah tak lagi sama. Tidak boleh ada lagi kenangan tentang Kenanga. Berakhir, semua sudah lama berakhir.
Kebahagiaan ibu, saudara-saudaraku, dan mungkin aku sendiri, meskipun tak begitu yakin, akan segera dimulai. Ya, Kenanga hanyalah sekelebat bayangan yang akan kembali hilang. Aku harus meyakini itu. Jangan sampai mengecewakan siapapun.
Aku bergegas membuka pintu. Diam-diam aku sudah mengirim pesan kepada kakaknya Kenanga. Aku harus segera melepas tanggung jawab.
“Kenanga?” Aku terkejut ketika perempuan itu melepas infusannya.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku lagi. Jantungku berdegup cepat tatkala melihat darah segar mengalir dari tangan Kenanga.
“Bilang sama dokter, biar aku disuntik mati saja! Aku ini mau mati!”
Aku memeluk Kenanga erat. Perempuan ini sudah berubah. Dia tidak seceria dulu. Dia adalah bola kesedihan yang terus membesar setiap detiknya. Aku baru menyadari itu. Di sela isak tangisnya, aku menyadari banyak hal.
Bukan hanya aku yang terluka. Kenanga juga. Bahkan setelah orang tuanya tiada, mungkin lukanya jadi lebih besar.
Semua keraguan yang kumiliki langsung sirna di detik Kenanga menangis di pelukanku. Semuanya hilang sudah.
Karena atas nama cinta, seseorang seringkali memilih keputusan sebejat ini, bukan? Aku yakin, banyak yang mengalaminya.
***
“Bu, batalkan saja pernikahannya.”
“Apa, Ram? Kamu gila? Kenapa? Cepat pulang! Jangan becanda kamu!” (*)
2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.