Junior Camp
Oleh : Ina Agustin
Aku seorang mahasiswi semester enam di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Serang. Selain aktif kuliah, aku pun aktif di organisasi ekstra kampus.
Berhati-hati dalam memilih pergaulan adalah prinsipku. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya kujatuhkan pilihan pada salah satu organisasi ekstra kampus dengan logo gambar tangan kanan menggenggam dunia.
Pendaftaran, pengaderan, dan pelatihan telah kulalui hingga resmi menjadi kader organisasi tersebut. Kegiatan sudah di depan mata. Aku diamanahkan menjadi panitia sebagai perwakilan kampus, bertugas membimbing mahasiswi baru dalam kegiatan Junior Camp. Beberapa teman perempuan dan laki-laki juga membantu.
“Gimana Fan, sudah siap jadi panita Junior Camp?” tanya Rani.
“Siap!”
*
Hari yang ditunggu tiba. Selesai mengepak keperluan kemping, tiba-tiba gawaiku berbunyi.
Assalamualaikum. Fani, tolong infokan ke teman-teman hari ini jam 09.00 sampai ba’da ashar kita ada kuliah ya!, pesan Dosen Media.
What? Mata kuliah beliau kan hari Senin dan Rabu.
Wa’alaikumussalam. Kalau boleh tahu, kenapa mendadak sekali, Pak?
Maaf, bapak baru dapat kabar bahwa adik kandung yang di Jogja meninggal. Jadi kuliahnya dimajukan dan dipadatkan hari ini biar bisa pulang ke Jogja ba’da ashar nanti.
Innalilahi wa innailaihi Raji’un.
Kukirim SMS satu per satu kepada teman sekelas.
Aku terdiam sejenak. Bagaimana ini? Teman-teman pasti sudah menunggu. Pagi ini jadwal keberangkatan mahasiswa baru kemping di Gunung Karang.
Aku menemui Rani, Aqila, Farah, dan Hana sedang duduk di halte kampus.
“Fani, kok kamu enggak bawa tas ransel?” tanya Hana.
“Maaf teman-teman, In Syaa Allah saya akan menyusul ke lokasi kemping, sendiri.”
“Lho, kenapa Fan?” Aqila mengernyitkan dahi.
Kujelaskan panjang lebar.
“Oh begitu rupanya. Ya sudah tak apa-apa.”
“Eh terus kamu mau pakai kendaraan apa ke sana?” Farah penasaran.
“Sepeda motor andalanku lah!”
“Yakin, Fan?”
“Yakin!”
Kuliah selesai. Aku kembali ke kosan untuk mandi dan mengambil perlengkapan kemping.
Bismillah, aku berangkat menuju Desa Kadu Engang, Gunung Karang-Pandeglang Banten.
Tiba di Masjid Agung Pandeglang, kulirik jam yang melingkari pergelangan tangan, menunjukan pukul lima. Itu artinya masih ada waktu sekitar satu jam untuk sampai di lokasi kemping.
Aku menengadah, menatap senja yang mulai menghiasi langit. Rasa resah menghantui kalbu, berharap sampai di lokasi sebelum magrib. Kulajukan motor tanpa menghiraukan pemandangan sekitar, hingga sampailah di sebuah pertigaan. Belok kanan, belok kiri atau lurus ya?
Kenapa tidak ada petunjuk arah? Padahal waktu survei jelas-jelas ada petunjuk arahnya. Kompas pun tiba-tiba eror.
Apa yang harus kulakukan?
Suara jangkrik, katak, dan burung hantu yang saling bersahutan, ditambah lagi angin yang bertiup dingin menghiasi petualanganku.
Kuhamparkan pandangan ke sekitar, tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya melintas.
“Pak!” panggilku padanya. “Punten, numpang naros, jalan ka Desa Kadu Engang, palih mana?” (Maaf, numpang tanya, jalan ke desa Kadu Engang sebelah mana?)
“Belok katuhu, lurus teras belok ka kenca,” jawabnya.” (Belok kanan, lurus terus belok kiri).
Aku melihat ke arah belokan yang ditunjuk oleh bapak itu sambil bertanya, “Kira-kira berapa jam lagi perjalanan ke sana ya, Pak?”
Tak ada jawaban.
Saat aku menoleh, bapak itu sudah tidak ada. Lebih tepatnya hilang, entah kemana. Ah, rasanya tidak mungkin dia pergi secepat itu. Kalaupun pergi, seharusnya terdengar suara langkah kakinya.
Bulu kudukku meremang.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahu sebelah kanan. Tercium aroma parfum yang pernah sangat akrab dengan hidungku.
Deg!
Tanpa pikir panjang, langsung kuengkol sepeda motor dan melaju dengan cepat. Namun, beberapa menit kemudian tiba-tiba motor mogok di sebuah sudut pohon yang menjulang tinggi. Daunnya sangat rimbun. Batangnya terlihat kokoh sekali. Sepertinya pohon ini sudah berumur ratusan tahun. Entahlah pohon apa namanya. Lalu kucoba menelepon Rani, Aqila, Farah dan Hana, akan tetapi tak satu pun berhasil. Tidak ada sinyal sama sekali.
Aku menghela napas perlahan, berusaha mengatur irama jantung yang berdegup seperti genderang perang. Saat hendak memasukkan gawai ke dalam saku, tiba-tiba seekor kadal besar mendekat.
“Audzu bikalimatillahi taammati Min Syarri Maa Kholaq.”
Kemudian hewan itu lari terbirit-birit.
Langit mulai gelap, waktu magrib tiba. Aku sedang libur salat.
Kemudian gawai berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Hana. Yes!
“Halo, Fani?” suara Hana di ujung telepon sana.
“Halo Hana? Han, tolong! Aku tersesat!”
“Halo, Hana? Hana? Hanaaa!”
Ah, lagi-lagi sinyal tidak bersahabat.
Kilatan cahaya, suara petir menggelegar, disusul hujan turun dengan derasnya, membuatku semakin resah dan gelisah. Hawa dingin menusuk ke dalam tulang.
Dengan tertatih, kulanjutkan kembali perjalanan menuju lokasi kemping. Lagi, kuengkol motor beberapa kali, akhirnya raungan suara mesin terdengar lantang.
Lima belas menit kemudian, sampailah di sebuah tanjakan yang sangat terjal dan licin, lalu kukurangi persneling motor. Namun, motor malah berhenti di tengah-tengah tanjakan, hampir saja terpeleset ke dalam jurang yang menganga, seolah sedang menunggu mangsa.
Kukurangi lagi persneling motor dan menggasnya lebih kencang, akhirnya bisa melewati tanjakan itu.
Sampai lagi di belokan. Belok kiri atau kanan ya? Kucoba belok kanan, menyusuri jalan setapak membelah kegelapan malam. Sudah setengah jam perjalanan, masih belum terlihat tanda-tanda lokasi kemping. Aku hanya berputar-putar di situ saja. Baju pun sudah basah kuyup, bercampur antara hujan dan keringat.
Kemudian lamat-lamat terdengar lolongan serigala, membuat nyaliku ciut. Suara itu terdengar semakin jelas. Pada saat yang sama, terlihat sosok laki-laki yang sempat kutanya tadi sore. Namun, dia menatapku dengan aura kebencian. Aku melaju dengan panik, lalu ….
Bruk!
Kepalaku pusing, pandangan gelap, badan terasa sangat lemas.
*
Kubuka mata perlahan, ternyata sudah berada di dalam tenda panitia.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Fan,” tutur Hana.
Kemudian beberapa panitia perempuan lainnya menghampiriku.
“Makasih ya sudah bantu!”
“Bantu apa?” tanya Hana heran.
“Bukankah kalian yang membawaku ke sini?”
“Bukan, Fani. Semalam saudara kembarmu yang bantu,” jawab Hana.
Aku menautkan alis.
“Saudara kembarmu kuat sekali ya! Dia yang gotong kamu sampai sini,” jelas Aqila.
“Saudara kembar?”
“Iya, dia bilang saudara kembarmu. Kamu sih enggak pernah cerita tentang dia,” cetus Farah.
Aku memang punya saudara kembar, tetapi dia sudah meninggal sekitar empat tahun yang lalu. (*)
Ina Agustin, seorang ibu dari tiga anak laki-laki. Setelah sepuluh tahun berprofesi sebagai guru, kini aktivitas sehari-hari saya sebagai IRT dan mengajar less di rumah. Hobi membaca, menulis, dan membuat camilan/kudapan. Moto : “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti”!
Editor : Reza Agustin
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata