Malam Ketika Aku Dibuang
Oleh : Fathia Rizkiah
Malam itu, aku terkurung dalam ruang yang sangat gelap dan pengap. Sering kali tubuhku berguncang hebat, entah karena apa. Mungkin di luar sedang terjadi gempa?
“Meong,” ujarku sambil menggaruk dinding ruangan. Aku terkejut, dinding ini sangat tebal dan kasar, pantas saja udara di dalam sini sangat pengap.
Aku kembali mengeong sambil menggaruk dinding ruang yang kasar. Dua kali menggaruk, berhelai-helai serat rami melilit di kuku kaki depanku. Ah tak apa, yang penting rasa penasaranku tentang apa yang sedang terjadi di luar sana menghilang. Mungkin dengan bersuara, seseorang yang menggenggam kuasa atas ruang gelap ini—yang kuyakini itu adalah majikanku—memberi sedikit celah untukku agar bisa mengintip.
Tetapi ekspektasiku meleset jauh, majikanku tidak membukakan pintu ruangan sedikit pun, ia justru menggertakku dengan galak, “Hush, diam!”
Tak lama majikanku mengomel, “Buruan, kek! Kucingnya udah nggak betah, nih! Bisa-bisa dicakar gue.”
Suara lain yang tidak asing di telingaku menjawab, “Iya, iya.”
Aku terkesiap, apakah tadi suara majikanku? Majikan yang tidak pernah mengomel barang sedikit pun. Bahkan di saat kotoran anak-anakku berceceran di mana-mana, ia justru tertawa sambil menggelengkan kepala. Tetapi, kenapa sikapnya sangat cepat berubah? Apakah selama di dalam ruang gelap ini tubuhku terlalu berat hingga menyulut amarahnya?
Guncangan yang sejak tadi kurasakan tiba-tiba berhenti. Sebelum cahaya redup yang berasal dari lampu di pinggir jalan memenuhi ruangan, terdengar suara gesekan antara kedua dinding ruangan. Beberapa kali kudengar majikanku mengomel karena kesusahan. Aku menengadah, menanti apa yang sedang mereka perbuat.
“Udah, lepas,” ujar suara yang sungguh tidak asing di telingaku. Sialnya, aku tidak mengingat wajahnya! Karena seingatku beberapa minggu terakhir pemilik suara ini tidak menetap di rumah. Ia pergi membawa ransel besar.
Tidak lama, aku merasa ruang ini bergerak-gerak lagi. Bukan berguncang, tetapi melayang. Kemudian miring hingga tubuhku meluncur ke tanah.
“Meong?” tanyaku. Lagi-lagi ini tidak seperti biasa, majikanku sama sekali tidak menjawab, ia justru terlihat terburu-buru dengan menepuk bahu seorang pria berhelm di depannya. Seperti sebuah isyarat, pria itu mengangguk kemudian kendaraan beroda dua yang mereka tumpangi melesat pergi meninggalkanku sendiri.
Aku terdiam, mencerna kejadian pahit malam itu. Aku … dibuang? Lalu, di mana anak-anakku? Apa aku baru saja dipisahkan dengan kelima anakku? Tidak, tidak mungkin. Majikanku tidak akan tega melakukan itu. Anak-anakku pasti ikut denganku, iya, kan? Pasti anak-anakku dilepas di sekitar sini juga.
“Meong!” Aku mengeong kencang agar anak-anakku dapat mendengar kemudian mereka datang bersama-sama. Mereka pasti ketakutan karena di sini tidak seterang di tempat biasanya.
“Meong!” ulangku sekali lagi dengan lebih kencang. Sekarang mereka pasti sedang mencari jalan agar bisa menuju ke tempatku. Apa sebaiknya aku jemput? Kasihan kalau mereka salah arah, bisa-bisa mereka malah tersesat.
“Meong!” Aku berjalan menghampiri tempat yang sejak tadi sudah menarik perhatianku, tempat gelap di dalam gang.
Sangat gelap dan lembap. Sama sekali tidak ada pencahayaan dalam gang sempit ini. Semakin masuk, tiba-tiba aku merinding, apa di tempat gelap seperti ini ada yang memata-mataiku secara diam-diam? Apa setelah ini mereka akan menyerangku seperti mereka menyerang kucing-kucing betina liar lainnya? Dulu kejadian seperti ini sering aku lihat dari balik dinding kaca lantai dua, saat aku masih tinggal bersama majikan dan kelima anakku. Kucing jantan dengan tampang “laparnya” mengejar kucing betina tanpa ampun. Tidak peduli kucing betina yang terus berusaha menghindar sambil menangis. Apa kejadian itu akan terjadi padaku malam ini?
Setetes air mendarat tepat di atas kepalaku. Aku terkejut bukan main, aku melompat seraya mengeong. Tanpa kusadari suaraku mengundang geraman dari sudut gang, sudut yang sangat gelap. Aku panik! Secepat mungkin aku berbalik badan dan meninggalkan gang ini. Namun, sebuah suara mencegah langkahku.
“Kalau kau berani meninggalkan gang, aku akan menghabisimu dan kau akan mati malam ini juga.” Keempat kakiku bergetar, kedua mataku terpejam erat. Ketakutanku meningkat saat aku memahami apa yang ia bicarakan. Tidak salah lagi, ia adalah kucing. Hanya hewan yang sejenis yang memahami bahasa satu sama lain. Sementara itu, langkah kaki di ujung sana terdengar semakin mendekat.
“Dan kupastikan kau tak akan memiliki kesempatan untuk menyapa anak-anakmu lagi.”
“Perkenalkan, aku Izzy. Penguasa gang ini,” ujarnya, tiba-tiba ia sudah di sampingku. Aku terkejut, ia betina?
“Siapa namamu?” Ia berjalan kembali dan berdiri di depanku. Mata kuningnya menyala terang.
“Da-Daisy.”
Izzy kembali mendekatiku, ia berputar mengelilingi tubuhku yang gemetaran. “Kau kucing peliharaan, ya? Baumu masih khas.”
Aku mengangguk pelan.
“Lalu, kenapa kucing peliharaan bisa ada di tempat seperti ini? Apa majikanmu tidak mencarimu?”
Aku menunduk, Izzy kembali berujar, “Atau kau sengaja dibuang?”
“Ya, begitulah.”
Izzy mengangguk. “Nasib kita sama.”
Aku terkejut. “Kau kucing peliharaan juga?”
“Iya, dua tahun lalu.”
Kulihat, mata kuningnya berubah sayu. Aku penasaran, apa Izzy ingin bercerita? Sepertinya banyak sekali luka yang dipendam.
Izzy menatapku, aku tersenyum hangat. “Boleh aku bercerita, Daisy?”
Aku mengangguk.
“Terima kasih. Sebenarnya, aku rindu majikanku. Satu-satunya manusia yang sangat menyayangiku. Sayangnya, ia sudah meninggal dua tahun lalu.”
“Aku turut berduka, Izzy.”
“Terima kasih. Sepeninggalannya, tidak ada lagi yang menyayangiku dan anak-anakku. Semua manusia yang tinggal di rumah besar itu sama sekali tidak memedulikan kehidupan kami. Kami dibiarkan kelaparan, bila meminta makan kami diusir dan ditendang, kami selalu disalahkan bila sesuatu terjadi di rumah. Sampai akhirnya orang tua itu memasukkan kami ke dalam kotak, dan sampailah aku di tempat ini. Bergabung dengan kucing-kucing liar yang lain.”
Aku merinding. “La-lalu, ke mana anak-anakmu?”
Izzy tersenyum getir. “Mereka tewas dimakan kucing-kucing lapar.”
“Ba-bagaimana bisa?”
“Anak-anakku tak memiliki kuku, karena dulu majikanku sangat tidak suka kuku kami panjang. Katanya, takut merusak interior rumah. Saat anak-anakku diserang, mereka tidak bisa melawan hingga tewas.”
“Kau tidak membela mereka?”
Izzy menggeleng. “Tidak mudah, Daisy. Aku melindungi anak yang satu, anak yang lain diserang dengan sadis, belum lagi selama mencoba melindungi anak-anak, tubuhku dicakar dan digigit, hingga rasanya tubuhku remuk. Kau beruntung, Daisy. Hanya kau yang dienyahkan, anak-anakmu tidak. Setidaknya anak-anakmu tetap hidup dan bahagia meski mereka harus melupakanmu selamanya.”
Sebuah pintu di depan kami terbuka. Izzy mendorong tubuhku agar menjauh.
“Pus, pus, Nenek ada sisa makanan nih, dimakan ya,” ujar seorang wanita berambut putih dan bertongkat. Kemudian wanita tua itu menuangkan seluruh sisa makanan ke tanah sambil menatap ke atas.
“Ini nenek majikanku, ia buta. Karena aku belum sempat berterima kasih, jadi aku mencari keluarganya yang membutuhkan teman. Aroma tubuh mereka sama, sehingga aku dengan mudah mengenali seluruh keluarga besarnya,” ujar Izzy. Setelah itu Izzy menghampiri kaki nenek dan menggelayutkan tubuhnya di sana.
“Meong.” (*)
Tangerang, 10 Juli 2020
Fathia Rizkiah pecinta kucing oranye yang tinggal di Kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram : @fath_vhat.
Editor: Tri Wahyu Utami