Disposto

Disposto

Disposto[*]

Oleh : R Herlina Sari (RHS)

 

Suasana ruang makan pagi itu begitu mencekam. Selera makan Dina mendadak menghilang seiring ucapan mamanya yang terdengar di telinga. Padahal, menu sarapan kala itu begitu menggugah seleranya. Menu makanan kesukaannya, ditambah jeruk hangat menjadi teman santapan pagi itu.

“Mama mau menikah lagi.” Perkataan singkat dari mamanya membuat suasana hati gadis itu kacau.

Menajamkan pendengaran, Dina berharap apa yang ia dengar itu salah.

“Tapi, Ma—”

“Ini sudah menjadi keputusan Mama. Boleh tidak boleh. Setuju tidak setuju, Mama akan tetap menikah.”

Jika Mama sudah bertitah ataupun berkehendak, Dina tak bisa menolak ataupun membantah. Namun, siapa lelaki yang akan menjadi ayah tirinya itu? Selama ini ia tak pernah mengetahui mamanya dekat dengan seorang lelaki mana pun.

Dina segera berangkat, melupakan sarapan hari itu. Ruas Jalan Sudirman tampak padat pada pagi itu. Mendung mulai menggelayut mesra, menandakan akan segera turun hujan. Memang, akhir-akhir ini hujan turun tak mengenal waktu. Dengan suasana seperti itu, Dina berharap ia dapat segera tiba di kantor sebelum hujan turun, terlebih setelah makan paginya berakhir tidak menyenangkan. Bunyi klakson bersahut-sahutan mengiringi hatinya yang keruh semakin mengeruh.

“Ah sial, aku terlambat lagi hari ini. Bos pasti marah besar.” Dina mengutuk diri sendiri.

Perdebatan dengan mamanya benar-benar membuat suasana paginya jatuh. Mood-nya hancur, ditambah dengan deadline kerjaan yang menumpuk. Lengkap sudah penderitaannya hari itu. Dina merasa hari itu adalah hari yang paling sial. Terlihat dari wajahnya yang tertekuk, tanpa senyuman seperti biasa.

Baru saja Dina duduk dan menyalakan komputer di mejanya, bunyi telepon terdengar nyaring.

“Ha—”

“Dina! Segera temui saya di ruangan.”

Belum sempat mengucap kata, sebuah perintah terdengar. Gadis berjilbab hitam itu segera menuju ruangan Pak Rio, pimpinan tempat ia bekerja. Tak mau terkena makian atau menjadi sasaran kemarahan.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Dina, laporan yang saya suruh kemarin mana?” Pak Rio bertanya dengan nada yang tak enak didengar, tidak seperti Pak Rio yang selalu ramah dan santun. Hari itu ia berubah ketus dan menakutkan.

“Be-belum selesai, Pak,” jawab Dina dengan gemetar. Menghadapi Pak Rio yang seperti sekarang, tak semudah membalik telapak tangan. Ada kesalahan sedikit saja, emosinya akan semakin meninggi.

“Selesaikan sekarang! Sebelum makan siang sudah harus ada di meja saya!” perintah Pak Rio.

Dina segera berlalu, kembali ke ruangannya. Mengerjakan tugas Pak Rio dengan penuh teliti dan hati-hati. Suara ketukan keyboard terdengar. Terkadang, bunyi tuts-tuts kalkulator menemani suasana pagi itu. Deretan angka dan rumus matematika terpampang di layar monitornya.

Jarum jam terasa berjalan cepat. Sebelum jam sebelas siang, laporan yang diminta Pak Rio selesai. Segera, Dina mengantar ke ruangan bosnya dengan tepat waktu.

Saat sedang membersihkan meja kantor dan bersiap untuk makan siang, Dina mendapat sebuah pesan dari Angga—kekasihnya.

Din, temui abang sore ini di kedai Kopi Jiwo.

Ok.

Jam istirahat, Dina bergegas ke kantin. Perdebatan dengan sang Mama membuatnya tak membawa bekal. Perutnya berbunyi seiring rasa lapar yang tak terhingga.

Dina menoleh ke arah jam, sudah pukul 16.45. Waktu terasa datang begitu cepat. Dina mengendurkan bahunya, hampir delapan jam berjibaku dengan laporan dan menghadap layar monitor, membuat lehernya terasa kaku. Ia berdiri dan berjalan-jalan sebentar, sambil melemaskan otot leher dan pinggang.

Sepulang kerja, gadis itu segera memacu motor kesayangannya, menuju ke tempat janjian. Selang tiga puluh menit kemudian, Dina sampai ke tempat tujuan. Angga sudah duduk manis di pojok kedai dekat dengan jendela saat perempuan berhijab itu memasuki kedai.

“Sudah lama, Bang?” Dina menyapanya.

“Belum, baru aja sampai. Aku sudah pesenin segelas jeruk hangat. Seperti biasa, kan?” tanya Angga padanya. Angga sudah begitu hafal akan kesukaan Dina.

“Ada apa, Bang? Tumben minta ketemuan sore hari?”

“Aku hanya rindu.”

“Kita baru saja bertemu tadi pagi, Bang.”

“Namanya rindu kan tak pernah tahu kapan dan bagaimana ia datang,” sahut Angga sambil sesekali menyesap kopi yang terlihat sudah mulai dingin. Asap yang tak lagi mengepul menandakan lelaki itu sudah cukup lama duduk berdiam di sana.

Tak lama kemudian, pramusaji membawa pesanan untuk Dina.

“Tidak mungkin bukan, Abang menyuruhku datang ke sini tanpa alasan yang pasti.” Dina berkata seolah tahu apa yang membuat lelaki di depannya mengajak bertemu.

“Kamu tahu aku banget, Din. Memang ada sesuatu yang mau Abang bicarakan.” Angga berbicara sambil sesekali menghela napas. Sorot matanya memandang jauh ke depan. Seperti ada sebuah beban berat yang sedang bergelayut di bahunya.

“Apa yang mau Abang bicarakan?”

“Ini tentang hubungan kita.” Angga terdiam setelah mengucapkan kata.

“Ada apa dengan hubungan kita, Bang? Bukankah selama ini kita baik-baik saja?”

“Maaf, tapi Abang tak bisa membantah perintah Ibu. Kamu tahu ibuku tak merestui, Din. Kita harus mengakhiri hubungan ini sekarang,”

“Bukannya dulu Abang pernah bilang, mau memperjuangkan kita?” Dina berkata sambil berkaca-kaca.

“Abang sudah berusaha, tapi Ibu menolaknya. Ibu sudah mengatur semua untuk Abang.” 

“Abang lagi bercanda kan? Jadi ini alasan Abang tadi pagi marah-marah di kantor?” Dina masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Din, maafin Abang. Abang hanya ingin memberi ini,” jelasnya sambil menyodorkan sebuah kertas berwarna pink, warna kesukaan Dina.

Dina terbelalak, air mata jatuh begitu saja, mendapati apa yang ada di depan mata. Kekasih hati yang selama dua tahun selalu menemaninya, tanpa ada alasan pasti memberikan sebuah surat undangan pernikahan, dengan nama mempelai wanita yang berbeda.

Sekali lagi, harapan Dina pupus bersama duka yang berkepanjangan. Dina berpikir perbedaan usia yang hanya dua puluh tahun tak mampu menjadi penghalang. Nyatanya, cinta saja tidak cukup. Perbedaan usia ternyata memang memegang peranan penting.

Dina sudah memikirkannya jauh hari, yang menjadi penyesalannya, mengapa terjadi secepat ini. Saat hatinya belum siap untuk jatuh dan terluka.

Tanpa ada perkataan balasan, Dina beranjak. Mencari tempat sepi untuk menenangkan sedikit luka hati. Dina duduk di taman, menangis dalam diam sambil membaca surat undangan pernikahan. Tertera nama Rio Anggara dan Andini Saputri. Teka-teki yang selalu menjadi pertanyaannya hari ini terjawab sudah. Mamanya tidak boleh tahu, kalau Dina mencintai calon ayah tiri sekaligus bos di kantornya itu. Biarlah semua ia pendam sendiri, asal Mama bisa bahagia bersama Angga.

Dina memutuskan pulang ke rumah, ditemani rintik air hujan yang mampu menyamarkan tangisnya. Senja hari itu berlalu bersama kepingan hati yang patah. Berharap luka hati bisa luruh bersama derasnya hujan yang mengguyur bumi. (*)

Surabaya, 14 April 2020

 

Catatan kaki :

[*} (bahasa Italia) rela.

 

RHS. Cecan dari Surabaya. Sering tersesat hingga tak tahu arah jalan pulang. Menulis baginya hanya sekadar untuk menjaga kewarasan, dari ganasnya aksara buta yang nantinya membentuk sebuah cerita. Tentang kita yang masih terbilang rahasia. Iya, rahasia sesuai singkatan dari namanya. Apakah kamu percaya? Sok pantengin aja wall FB-nya; dijamin akan terpesona dari seribu arah mata angin. Hingga akhirnya tergila-gila.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply