Asa yang Tersisa (Bagian 2)
Oleh : Ika Mulyani
Sudah dua minggu–terhitung sejak Bima mengajukan lamarannya–Fitri tidak lagi ‘bekerja’. Dia lebih banyak mengurung diri di rumah.
Berkurangnya kesibukan, membuat Fitri jadi sering teringat pada paman dan bibinya. Sejak mereka tahu Fitri menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam dunia prostitusi–bersamaan dengan kehamilan Fitri yang semakin membesar–wanita itu diminta untuk pergi dari rumah.
Betapa Fitri merindukan paman dan bibinya itu. Merekalah yang merawat Fitri sejak kedua orang tuanya wafat terkena wabah, saat Fitri masih berusia sepuluh tahun.
Fitri sudah lelah dengan semuanya. Dia sudah ingin sekali bertaubat. Apalagi sudah berkali-kali Suci mencoba untuk bunuh diri. Putrinya itu tidak kuat lagi menghadapi cemoohan dan gunjingan tentang pekerjaan ibunya. Gadis itu pun sudah ditinggalkan pula oleh Yusi sahabat dekatnya.
Beruntung saat percobaan bunuh dirinya yang terakhir, Kevin berhasil menyelamatkan Suci. Dokter muda itu–yang tidak sengaja melihat Suci hendak meloncat dari tebing–bahkan dengan senang hati menemani Suci selama menjalani proses penyembuhan.
“Suci sudah seperti adikku sendiri, Tante. Mamiku dulu pernah keguguran. Katanya bayinya perempuan. Kalau dia ada, mungkin seumuran sama Suci,” ucap Kevin.
Ajakan Bima untuk menikah sungguh menyejukkan hati Fitri. Janji masa depan yang lebih baik seakan terpampang indah. Bukan soal materi, tetapi kenyamanan dan kejelasan status sosial yang lebih dijadikan pertimbangan oleh Fitri. Dia yakin, jika Bima menceraikan istrinya dan menikahi Fitri, maka posisi Bima di perusahaan milik mertuanya itu akan terancam. Kemungkinan besar pria itu akan terdepak. Kelimpahan materi takkan lagi dimiliki oleh Bima. Fitri sama sekali tidak memedulikan hal itu.
Akan tetapi, keengganan Suci untuk menerima Bima dan kemarahannya akan rencana pernikahan Fitri sungguh merisaukan hati wanita itu. Suci bersikeras untuk mencari keberadaan Satya. Lelaki brengsek yang menjadi penyebab kehancuran hidup Fitri.
“Kita coba saja cari bapaknya Suci, Tante. Selama ini, kan, Suci stres karena selalu disebut anak haram, tidak punya Bapak. Siapa tahu, kalo bapaknya ketemu, Suci bisa ceria lagi.”
Ucapan Kevin selalu mengusik pikiran Fitri. Bayangan wajah Satya saat pertama kali menggagahinya dulu, akhir-akhir ini jadi sering muncul, karena namanya acap kali disebut.
“Tante, maaf, siapa nama papanya Suci?” tanya Kevin saat wacana tentang pria di masa lalu itu mulai muncul.
Fitri tidak segera menjawab. Kevin tidak memaksa dan sabar menanti. Pemuda itu agaknya tahu, pertanyaannya mengusik kenangan lama yang tidak menyenangkan.
“Namanya … Satya,” ucap Fitri setelah sekian lama hening. “Cuma itu yang Tante tahu.”
Mendengar nama itu, Kevin sedikit tersentak, tetapi dia lalu menggelengkan kepala–seolah mengusir sesuatu yang terlintas di pikirannya.
Fitri menggeleng saat Kevin bertanya lebih lanjut mengenai Satya.
“Tante sama sekali tidak tahu, dia tinggal di mana, kerjanya apa. Tetapi yang pasti, dia punya uang banyak. Tante juga yakin, dia waktu itu sudah nikah, karena di jarinya ada cincin kawin.”
Terbayang lagi di benak Fitri saat Satya menghubunginya lagi, beberapa hari setelah merenggut keperawanannya.
“Aku udah bayar si Guntur dua ratus juta. Kamu milikku. Tunggu aku di hotel yang kemarin kita pake! Kalo sampe kamu mangkir, awas!”
Fitri tetap bergidik bila membayangkan saat-saat itu, meskipun kemudian dia kini telah terbiasa menghadapi tatapan liar para lelaki hidung belang. Tatapan serupa mata serigala kelaparan, yang bertemu dengan domba berdaging tebal.
***
Keterbatasan informasi membuat gerak pencarian mereka akan sosok Satya berjalan sangat lambat. Apalagi peristiwa itu sudah lama sekali berlalu, hampir lima belas tahun silam.
Namun, Kevin tak pernah berhenti menyemangati Fitri dan Suci.
“Insyaa Allah pasti ada jalan,” ucap pemuda itu optimis. “Saya punya kenalan orang yang bisa sketsa wajah. Kita temuin dia, yuk! Tante masih inget mukanya, ‘kan?”
Fitri meringis. Membayangkan wajah Satya saja sudah sesak, apalagi harus menggambarkan secara visual. Namun, melihat tatap penuh harap dari Suci, Fitri lantas mengangguk.
Mereka bertiga lalu menemui orang yang dimaksud. Tidak lama kemudian, tergambarlah sketsa wajah seorang laki-laki dengan rambut lebat agak ikal, berhidung sedikit mancung, bermata coklat, tulang rahang tegas, dan ada tahi lalat di pipi.
Kevin terlihat sedikit terkejut setelah sketsa itu jadi.
“Kenapa, Bang? Kok, muka Abang kayak pucet gitu?” tanya Suci dengan polos. “Abang Kevin sakit?”
Kevin tersenyum dan menggeleng seraya menyahut, “Abang enggak apa-apa, Dek.”
Pemuda itu mengusap wajahnya dengan kasar dan menghela napas panjang. Hasil sketsa itu benar-benar mengejutkan baginya. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh seseorang. Dia pun lantas mengajak Fitri dan Suci pulang.
Setelah menurunkan Fitri dan Suci, Kevin langsung berpamitan, tanpa singgah seperti biasanya.
“Maaf, saya harus ke rumah sakit. Gambarnya saya bawa, ya?”
Fitri mengiyakan.
“Hati-hati, Bang!” seru Suci.
Kevin melajukan kendaraannya dengan kencang. Bukan ke rumah sakit seperti yang dikatakannya, tetapi pulang ke rumah ayahnya.
***
Rumah putih besar bergaya victoria itu tampak sepi. Kevin memasukinya sambil berseru memanggil Jefri–ayahnya.
“Papi di sini, Kev!” Jefri menyahut dari balkon di lantai atas. “Ada apa?” tanya laki-laki itu seraya menuruni tangga besar di tengah ruangan.
Kevin menunggu hingga Jefri sampai di hadapannya.
“Mami di mana, Pi?” Kevin bertanya sambil mengedarkan pandangan.
“Lagi pergi arisan katanya. Kenapa? Tumben kamu nanya-nanya.”
Kevin lantas mengajak papinya duduk di sofa.
“Muka kamu kusut banget! Ada masalah di rumah sakit?”
Kevin menggeleng.
“Oh, ya, gimana kabar pasien kamu itu? Siapa namanya? Suci?” tanya Jefri lagi.
“Alhamdulilah sudah baikan. Tetapi dia masih belum ketemu sama bapaknya. Masih ngotot nyariin.”
Jefri mengangguk-angguk. Hening, sekian menit tak ada yang bersuara.
Kevin menghela napas sebelum bertanya dengan hati-hati, “Pi, Papi punya sodara kembar, enggak?”
“Hah? Kembar? Enggak, lah! Kalo pun ada, pasti kamu tahu, dong. Kamu kenapa, sih, hari ini? Aneh banget kelihatannya.”
Kevin kemudian menyodorkan kertas berisi sketsa wajah yang sedari tadi dibawanya.
“Tetapi kenapa orang ini mirip banget sama Papi, ya?”
Jefri menerima kertas itu dan memperhatikan dengan seksama.
“Siapa yang ngegambar? Si Arif? Masak, sih, mirip Papi?”
Laki-laki itu menyebut nama salah satu rekan putranya yang diketahuinya memang pandai menggambar. Tebakannya tepat, Ariflah yang membuat sketsa itu.
“Tahi lalatnya itu, lo, Pi. Lihat, deh! Sama, kan?” Kevin berucap sambil mencermati mimik muka papinya.
“Hmh … iya, sih. Kenapa, sih, Kev? Iseng amat temen kamu nyeketsa muka Papi.” Jefri mengembalikan kertas itu dan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan mata terpejam.
Kevin merasa tubuhnya lemas. Dia ikut menyandarkan tubuh ke sofa. Berbagai emosi memenuhi hatinya. Sedih, marah, kecewa, dan sedikit rasa lega terselip juga di sana.
“Mamanya Suci bilang, itu … gambar bapaknya Suci, Pi.” Kevin berkata lirih.
Jefri terlonjak dari sandarannya. Mata lelaki itu terbeliak dan Kevin mengangguk.
“Papi kenal perempuan ini?” tanya Kevin sambil menunjukkan fotonya bersama Fitri dan Suci di ponsel.
Jefri meraih ponsel itu, dan wajahnya memucat. Perubahan itu tidak luput dari perhatian Kevin.
“Fitri,” desis ayah Kevin, alias Satya, yang memiliki nama lengkap Jefri Satya Wibawa.
***
Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.
Editor: Erlyna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.