Air Mata Zahira (Episode 3)
Oleh : Zalfa Jaudah Jabro
Selepas makan pagi, Zahira beserta ketiga buah hatinya pergi mengunjungi makam Samudra. Langkah kaki Zahira terasa berat ketika pandangannya mengarah pada nisan bertuliskan “Samudra”. Tidak pernah terbesit dalam bayang jika kini dirinya akan berjalan menuju tempat di mana Samudra tinggal untuk selamanya. Kanth, Ethan, dan Zahara sama sekali tidak berniat membuka mulut. Semuanya terhanyut dalam pikiran masing-masing. Bahkan, tiada air mata lagi yang menetes. Semua terasa hampa, seolah takdir buruk benar-benar mengubah segalanya.
Kepergian Samudra sangat berpengaruh besar karena sikap manis yang selalu ia lakukan urung hilang dari ingatan. Samudra selalu mampu menguatkan Zahira. Karena itu, di saat raganya sudah tidak lagi bernyawa, bagaimana mungkin Zahira dapat kuat menjalani kehidupan tanpa kehadiran Samudra di sisinya?
Kini, Zahira harus berusaha berdamai dengan keadaan yang begitu menyiksa. Jika bukan karena buah hati yang sangat membutuhkannya, Zahira tidak akan bisa menghadapi semua. Merekalah satu-satunya alasan Zahira untuk tetap melanjutkan hidup tanpa Samudra.
“Ayah ….” Zahara berlari cepat menghampiri makam ayahnya. Tubuh kecil Zahara gemetar hebat seraya mengusap batu nisan perlahan.
“Bunda … Ethan nggak kuat, Ethan kangen sama ayah,” rengek Ethan, kedua bola matanya berlinang.
Zahira menunduk seraya memegang kedua pipi buah hatinya. “Ethan pasti kuat, Nak.”
“Ayah pasti kedinginan, Bunda!” seru Zahara memecah keheningan antara Zahira dan Ethan.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir manis Zahira. Ia hanya mampu melihat ketiga buah hatinya terus merengek pilu.
Terkadang, Zahira merasa gagal untuk dapat membuat ketiga buah hatinya tersenyum. Seharusnya ia mampu menghibur mereka sampai mereka merelakan kejadian menyakitkan ini. Namun, jiwa Zahira sendiri pun sudah sangat jelas terluka parah. Ia merasakan pedih yang sangat menyiksa.
“Ayah, Ahla datang … Ahla kangen banget sama Ayah, Ahla sedih Ayah pergi.”
“Ethan juga, Ayah … Ethan mau main sama Ayah lagi, tapi kata Bunda, Ayah nggak bisa nemenin kita. Ethan juga takut Ayah kedinginan di sini.”
“Adik kecil kita butuh Ayah.” Perkataan yang Kanth lontarkan secara tiba-tiba, membuat Zahira tertegun, menyadari sesuatu.
Selama kepergian Samudra, Zahira hanya mengurung diri. Ia mampu bangkit karena ketiga buah hatinya. Namun, Zahira sadar bahwa ia bahkan belum sempat untuk sekadar memeluk keempat bayi kembarnya.
“Kalau Ethan punya tiga permintaan yang bisa terjadi, Ethan cuman mau satu. Ethan mau … Ayah kembali.”
Air mata Zahira menetes begitu saja. Sesak kembali menjalari setiap bagian tubuh wanita yang belum lama kehilangan sosok yang ia cinta itu. Zahira berusaha tegar, tetapi semua tidak semudah apa yang ia bayangkan. Kepergian Samudra bukanlah perkata kecil. Lelaki itu meninggalkan Zahira tanpa sedikit pun memberi firasat. Bahkan, ketika Zahira menatap kedua bola mata Samudra sebelum kejadian buruk itu datang, Zahira tidak mampu menemukan suatu hal buruk di dalam mata Samudra.
“Kanth mau pulang aja, Bunda.” Kedua bola mata Kanth berlinang air mata. Tampak jelas bahwa ia terus berusaha menahan rasa sakit.
“Kanth say—”
“Nggak kuat, Bunda … Kanth nggak mau ngajak Ayah ngobrol. Sebanyak apapun Kanth berbicara, Ayah nggak akan bisa balas ucapan Kanth.”
Hati Zahira lebam tidak tersisa kala mendengar perkataan yang Kanth lontarkan. Perkataan pria kecilnya selalu membuat Zahira sadar. Bukan baru satu kali Zahira ini merasakan bahwa perkataan jujur Kanth yang menusuk hati, meskipun semua benar adanya. Samudra tidak akan membalas celotehan ketiga buah hatinya seperti dulu. Padahal, ialah satu-satunya sosok yang sangat sabar menghadapi ketiganya.
Samudra tidak pernah menyuruh Kanth, Ethan, dan Zahara untuk berhenti berbicara meski raganya sedang sangat lelah. Bagi Samudra, anak ialah hal yang paling berharga selain Zahira. Samudra tidak pernah menyakiti atau bahkan membuat ketiga buah hatinya terluka. Ia selalu bersikap lembut, menjadikan keluarga kecilnya sebagai seorang putri dan pangeran kerajaan, tetapi di saat bersamaan mampu membuat ketiga buah hatinya tanggap mendengarkan apa yang ia katakan.
Jika semesta tidak mengambil Samudra dari Zahira, Zahira tentu tidak akan mungkin terus dihampiri kepahitan macam ini. Zahira tidak akan pernah merasakan hancurnya ditinggalkan sosok yang dicinta. Begitu pula dengan Kanth, Ethan, Zahara, beserta keempat adik kecil mereka. Jika Samudra masih diberikan kesempatan untuk bernapas, mereka tidak akan kehilangan cinta pertama yang akan selalu menemani hari-hari mereka hingga tumbuh dewasa nanti.
“Kita pulang, yuk,” ujar Zahira pelan, berharap Ethan dan Zahara mengangguk cepat.
“Ahla nggak mau, Ahla mau ngobrol sama Ayah.” Zahara membalas seraya memberikan sorot mata sarat kesedihan.
“Ahla, kalau Ahla mau ngobrol, sama Kak Kanth aja, ya. Ayah nggak akan jawab ucapan Ahla, Ayah cuman bisa diam, tapi Ayah tetap nerasakannya.” Kanth menggenggam jemari Zahara seraya mengelusnya pelan.
“Tapi, Kak Kanth—”
“Gimana kalau kita merelakan Ayah?” tanya Kanth seraya memaksakan senyum.
“Merelakan gimana?” tanya Ethan ikut penasaran.
“Ya … merelakan. Kanth kasihan sama Bunda, Kanth nggak mau lihat Bunda nangis kalau kita inget sama Ayah.”
Ethan dan Zahara mengangguk cepat ketika mendengar ucapan yang Kanth lontarkan. Sementara Zahira, ia hanya diam seraya menatap ketiga buah hatinya.
“Ayo, kita pulang, Sayang,” ujar Zahira mengulangi perkataannya.
Kanth, Ethan, dan Zahara ikut tersenyum. Mereka mengikuti perkataan Zahira untuk kembali pulang. Tidak perlu waktu yang begitu lama untuk berada di tempat yang sangat menyakitkan. Jauh di lubuk hati, Zahira pun merasakan rasa sakit yang begitu menyayat.
Sesampainya di rumah, Zahira berjalan menuju kamar bayi yang telah dipersiapkan sejak lama bersama sosok yang ia cinta. Baginya, kehadiran bayi kecil ialah suatu hal yang harus dipersiapkan dengan sempurna. Terutama, ketika ia mengetahui bahwa bayi yang dikandungnya kembar, kebahagiaan terus menghampirinya.
“Ma ….” Perkataan Zahira membuat Mama mengalihkan pandangan ke arahnya seraya tersenyum senang.
Pandangan Zahira menyapu bersih ruangan, sebuah kamar yang begitu megah dengan empat ranjang besar yang ditempati oleh keempat bayi kembarnya. Semua benda yang ada di dalam kamar ditata oleh Zahira dan juga Samudra. Teringat ketika dahulu, Zahira sangat menginginkan untuk cepat-cepat menata ruangan tersebut. Namun, mengapa waktu sangat cepat berlalu, hingga kini, kenangan itu ikut pergi bersama sosok yang ia cintai?
“Masuk, Ra,” ujar Mama memecahkan lamunan Zahira.
“Maaf, Ma,” balas Zahira seraya menggendong salah satu bayi mungil miliknya.
“Mama tahu kalau kamu itu wanita yang kuat, Ra. Dari kecil, Zahira selalu kuat menghadapi semuanya. Kamu harus merelakan Samudra agar suami kamu bisa tersenyum di atas sana.”
“Gimana dengan keempat bayi Hira, Ma? Apa yang akan Hira sampaikan jika keempat bayi Hira bertanya tentang ayah mereka?”
Mama menggeleng cepat. “Mama yakin mereka pasti mengerti. Terutama, kamu memiliki Kanth, Ethan, dan Zahara, Sayang.”
“Mereka masih terlalu kecil, Ma. Samudra meninggalkan kami begitu cepat.”
“Ra, jangan jadikan kehilangan itu untuk membuat kamu selalu terpuruk. Mama yakin, kamu pasti bisa menghadapi semuanya.”
“Iya, Ma … Zahira akan berusaha untuk bangkit. Namun, Zahira membutuhkan waktu seribu tahun lagi, Ma. Samudra sangat berharga.”
“Tidak, Nak. Mama yakin kamu bisa.”
Zahira menghela napas berat. “Tolong tinggalkan Zahira bersama bayi-bayi ini, Ma. Zahira butuh waktu.”
“Iya, sayamg. Mama mengerti.” Mama tersenyum seraya berjalan keluar kamar.
Kini, Zahira hanya sendiri, menatap keempat bayi kembarnya sendu. Ia membayangkan bagaimana jika bayi-bayi kecil ini tidak mengerti situasi yang terjadi? Bayi-bayi tidak bersalah ini harus merasakan kehilangan ayah sejak kecil, padahal mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang Samudra. Bagaimana mungkin Zahira tega melihatnya?
“Maaf, Sayang … Bunda akan berusaha untuk menjaga dan membimbing kalian, Bunda akan selalu menemani tumbuh kembang kalian. Ayah sudah pergi, tetapi cintanya tetap ada di hati, Nak. Nanti, kalian pasti akan bertanya-tanya siapa dan bagaimana Ayah kalian. Namun, satu hal yang akan Bunda beri tahu nanti, Ayah kalian ialah ayah yang sangat hebat.”
Air mata Zahira perlahan kembali menetes. Ia merasa sesak atas apa yang baru saja ia ucapkan. Zahira mengecup satu per satu buah hatinya dengan penuh cinta. Teringat ketika kehamilannya dulu, Zahira menjadi seorang ratu yang selalu dijaga dengan sangat baik oleh suaminya. Namun memang, setiap momen tidak akan abadi, semua akan menjadi kenangan, entah itu kenangan manis maupun pahit. Sama seperti Zahira yang kini merasakan kenangan pahit yang sungguh menyiksa.
Mimpi buruk yang tidak pernah Zahira alami sebelumnya, ternyata dapat menjadi kenyataan yang begitu menyiksa. Semasa hidup Samudra, Zahira tidak pernah merasakan terluka. Namun memang, hidup tidak selamanya berjalan manis. Kehilangan sosok yang dicinta menjadi luka yang teramat besar. Luka tersebut membuatnya hampir saja menyerah dengan keadaan, tetapi Zahira terus berusaha menghadapi semuanya.
“Mas … aku yakin, di sana kau sedang tersenyum melihatku. Namun, aku benar-benar terluka. Tanpamu, aku nggak akan bisa menghadapi semuanya sendirian.”
Salah satu bayi kecil Zahira menangis terisak-isak, entah karena perkataan yang baru saja Zahira lontarkan atau mungkin karena ia merasakan sesak yang juga sama. Dengan cepat, Zahira menggendong bayi tersebut untuk menenangkannya. Tampak jelas raut wajah Zahira berubah, ia sakit kala mengingat bahwa dahulu, hanya Samudralah yang mampu menenangkan keempat bayi kecil ini dengan satu kali pelukan.
Cinta yang Samudra miliki terlalu besar. Ia tidak pernah sekali pun melakukan sesuatu yang membuat Zahira kesal.
Seketika, pikiran Zahira melayang jauh ke masa di mana ia bersama lelaki yang dicinta.
“Mas nggak akan pernah ninggalin kamu, Sayang. Mas akan selalu jagain Kanth, Ethan, Zahira, dan keempat bayi kembar kita. Nggak ada yang perlu kamu takutin, cinta Mas akan selalu ada di hati kalian semua.”
“Kamu itu—”
“Manis?” Mas Samudra mengucap cepat seraya mencubit pelan pinggang Zahira.
“Mas …,” rengek Zahira sebal.
“Nggak lama lagi, semua anak kita pasti cepat dewasa. Hanya tersisa kita di rumah ini, Sayang. Mas mau menghabiskan waktu bersama denganmu. Hanya berdua, Mas tidak mengizinkan siapa pun masuk untuk mengganggu kebahagiaan kita.”
“Kalau orang tua kita mau datang, gimana, Mas?”
“Kita usir! Hahaha ….” Tawa Saudara terdengar sangat lepas, ia mengacak-ngacak pucuk kepala Zahira dengan penuh cinta.
“Mas, ih. Aku serius tau …!”
“Mas becanda, Sayang. Pokoknya, Mas mau menghabiskan waktu bersama kamu selamanya. Mas mau, hingga semesta memisahkan, Mas mau menemani kamu untuk melihat tumbuh kembang semua buah hati kita. Kamu bagaikan mutiara, Sayang. Mas bahagia bisa milikin kamu. Satu-satunya sosok yang mampu membuat Mas jatuh cinta.”
Senyum Zahira terlihat mengembang. Ucapan sederhana yang keluar dari bibir Samudra terdengar sangat menenangkan. Namun, semua hanyalah kenangan. Samudra telah pergi menghadap Sang Pencipta, tidak akan ada lagi senyum manis yang dapat menenangkan perasaan Zahira. Sekarang, semua telah kelam. Samudra benar-benar pergi meninggalkan sesak. (*)
Bersambung ….
Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada hari jumat, 03 Oktober 2003. Zalfa sangat menyukai awan, mendung, dan dia. Jika ingin mengetahui tentangnya, bisa melalui email zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook @Zalfa Jaudah J.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata